webnovel

Kado Terindah

[DEAR DIARY]

[28-jan

Tahun ini Jeffrey dan aku berulang tahun yang ke tujuh belas. Bulan dan tanggalnya bahkan sama seperti hari ulang tahunku. Sebagai seseorang yang sangat menyukainya aku sangat berharap di ulang tahunnya itu dia akan mengundangku dan aku bahkan sudah menyiapkan kado sepesial untuknya.]

*

[11-feb

Tiga hari lagi hari ulang tahun kami. Semua anak perempuan di sekolah bahkan sudah membanjiri mejanya dengan coklat dan kue-kue lezat. Ya ampun, seperti hari valentine saja. Tapi, sebenarnya itu adalah pemandangan biasa untuk seorang yang terkenal di sekolah. Dan memang ulang tahunnya adalah 14 februari.

Aku juga sudah tidak sabar untuk memberikannya kado spesialku! Kuharap tahun ini dia mengundangku!]

*

[13-feb

H-1 ulang tahun Jeffrey dan aku diundang! Astaga apakah aku bermimpi?!

Dan tebak? Hanya orang-orang terdekatlah yang biasanya dia undang. Apakah sekarang Jeffrey sudah menganggapku dekat dengannya? Apa dia sudah tahu aku menyukainya?]

*

[14-feb

Ya Tuhan! Apa aku tak salah lihat!

Jeffrey apa yang dia lakukan?! Dia berselingkuh dariku! Dia bahkan mencium gadis bodoh itu di depan semua orang! Padahal seharusnya dia tahu aku menyukainya lebih dulu!

Kalau aku tak bisa memilikimu, siapapun tak dapat memilikimu juga! Seharusnya kau tahu itu, JEFFREY!]

*

Sudah pukul 11 malam dan seharusnya aku sudah datang ke ulang tahun Jeffrey 4 jam lalu.

Kini umurku sama dengannya. Aku tak tahu harus mengatakannya bagaimana. Tapi, hatiku benar-benar terluka saat ini bahkan untuk melihat wajahnya saja aku tak bisa. Namun, aku harus memberikan kado ini untuknya. Setidaknya mungkin ini adalah kado terakhir yang akan kuberikan padanya.

Pukul 11 lebih 30 aku sudah sampai di depan pintu rumahnya. Suasanya terlalu sepi untuk rumah yang mengadakan pesta ulang tahun. Bahkan lampu dalam rumahnya padam.

Mungkin aku sudah terlambat. Haruskah aku meninggalkan kadonya di depan pintu?

Tapi, aku ingin melihat wajahnya untuk terakhir kali. Aku ingin memberanikan diri. Aku ingin menggungkapkan perasaanku ....

Dengan ragu aku memencet tombol bel rumahnya.

Satu kali.

Dua kali.

Belum ada jawaban.

Jemariku bergerak untuk menyentuhnya untuk ke tiga kali, saat pintu terayun terbuka, seseorang tiba-tiba keluar dari dalam rumah. Aku tak sempat mundur ketika kedua tangan itu meraih kakiku dan mencengkeramnya dengan kencang. Membuatku menjatuhkan kadoku.

"Tolong aku! Kumohon tolong aku!"

Aku menunduk dengan kaget ketika melihat baju berwarna peachnya berlumuran warna merah. Bahkan seluruh tubuhnya. Dia terlihat sangat berantakan. Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi.

Wajah berlumur darah itu mendongak menatapku dengan memohon, tersirat sebuah ketakutan-bukan, melainkan sebuah teror di sana.

"Kumohon bawa aku pergi!"

Dan di balik rambutnya yang berantakan kukenali wajahnya sebagai Chloe. Satu-satunya perempuan yang telah merebut Jeffrey dariku.

"Untuk seseorang yang seharusnya menjadi ratu pesta kau datang terlambat, Sayang."

Aku terhenyak. Dari dalam rumah, sesosok siluet bergerak mendekat. Siluet itu berbentuk kekar dengan tinggi hampir tiga meter sebelum akhirnya perlahan mendekat dan memunculkan sosok Jeffrey yang berdiri anggun di hadapanku dengan shirtless. Aku tak mungkin salah lihat saat melihat irisnya yang hitam pekat.

"Kau membuatku terlalu lama menunggu. Aku, kan, bosan." Senyumnya tersungging, matanya melirik sosok Chloe yang masih berada di bawah kakiku.

Dan entah mengapa alarm bawah sadarku mengingatkanku untuk segera pergi dari pemuda ini. Tapi, tubuhku menghianati pikiranku. Karena aku masih menyaksikan kegerian itu tanpa bergerak sedikitpun dari tempatku.

"Ah! Kau sudah bertemu Chloe rupanya."

"A-apa yang sedang terjadi?" Aku bahkan tidak hanya melihat Chloe. Di sana --di kegelapan ruangan rumah Jeffrey-- tersinari cahaya dari luar pintu ini, tubuh-tubuh tergeletak di lantai begitu saja. Cairan merah gelap itu tergenang bagai air limbah.

"MATI KAU, MONSTER!"

Aku kembali terhenyak saat Chloe berteriak penuh kebencian. Mengayunkan sebuah pisau ke arah Jeffrey. Jeffrey mundur selangkah dan pisau itu menancap di punggung kaki telanjang milik pemuda itu.

Jeffrey berdecak dan dengan gampangnya menarik benda itu, membuangnya ke balik punggungnya. Usaha Chloe yang berusaha menyeret tubuhnya menjauhi pemuda itu nyatanya sia-sia. Setidaknya setelah apa yang telah di lakukan pada Jeffrey.

"Kalau kau tak bisa memilikiku, siapapun tak dapat memilikiku juga. Bukankah itu yang kau katakan?" Jeffrey berjalan mendekat, menginjak kaki Chloe dengan kakinya yang berdarah hingga terdengar bunyi tulang patah di sana. Membuat perempuan malang itu berteriak kesakitan.

"KAKIKUUUU!" pekiknya berkepanjangan, mencengkeram pada kedua kakinya yang remuk.

Jeffrey menunduk, bukan untuk membantunya berdiri melainkan untuk meraih leher Chloe dengan satu tangannya hingga membuat tubuh perempuan itu tak menyentuh tanah. Menghentikan teriakan Chloe dan menggantikannya menjadi suara cekikan dan sesak nafas.

Dia berusaha mencakar, memukul dan balik ingin mencekik Jeffrey. Namun, kekuatannya sama sekali tak sebanding dengan pemuda itu. Kakinya kejang dan Jeffrey bahkan terlihat sangat menikmati bagaimana wajah memerah putus asa itu.

Lalu semuanya terlihat sangat cepat ketika jemari tangan Jeffrey yang lain menerobos dadanya, membuat Chloe tersekat dengan mata melotot ngeri. Bahkan ketika Jeffrey menariknya kembali untuk membawa sebongkah daging, membuatnya tersedak darahnya sendiri dan hening.

Tak ada lagi perlawanan, mata itu telah kosong saat Jeffrey menjatuhkannya di hadapanku.

Aku terjatuh terduduk, walau seharusnya aku berlari sejauh mungkin. Kakiku bahkan tak mampu menopang berat badanku sendiri.

Jeffrey melangkahinya, menghiraukan tubuh tak bernyawa Chloe dan duduk di hadapanku bertopang dagu seperti anak kecil polos yang baru saja melakukan kenakalan. Memandangku seakan aku telah melakukan perbuatan konyol padanya.

Dia meraih wajahku dengan tangannya yang berlumur darah, mengusap air mataku dengan ibu jarinya. "Bukankah kau hanya menginginkanku? Aku bahkan tak sabar membuka kado spesial yang akan kau berikan."

Dia menyodorkan onggokan daging itu padaku. "Terima ini. Ini adalah kadoku."

Aku mematung.

Dia memiringkan sedikit kepalanya. "Hm? Kau tak suka?"

Aku tak bisa bernafas.

Dia meraih tanganku meletakkan jantung itu dengan santai pada genggamanku.

Tak memperdulikan tubuhku yang bergetar, dia memelukku erat. Lalu membisikan sesuatu di telingaku dengan lembut, "Selamat ulang tahun. Sekarang kau harus memberikan kadomu, ya?"