webnovel

bab 2: Broken home

 

Suara shutter kamera yang terdengar bising saling bersahutan di ruangan yang tidak terlalu luas itu. Di dalamnya ada beberapa orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Blitz kamera terkadang menyala membuat beberapa orang yang tidak terbiasa melihatnya harus memejamkan mata karena silau yang berlebihan.

 

"Oke, pose terakhir!" seru seorang pria yang tengah memegang kamera itu, di depannya ada seorang perempuan bertubuh tinggi dengan wajah cantiknya, juga pakaiannya yang mewah itu tengah berpose.

 

Yap, pemotretan. Kali ini di sebuah ruangan itu sedang dilakukan pemotretan, dan perempuan yang menjadi modelnya sekarang adalah Maura. Edlerea Maura.

 

Di depan sana, dengan rambut panjangnya yang diurai, Maura berdiri sambil menunjukkan pose-pose terbaiknya untuk dipotret oleh sang fotografer. Long dress kini menjadi pakaian Maura, bahu hingga punggungnya terekspos, dan gaun yang menjuntai hingga mata kaki, namun terdapat belahan di samping kanan hingga paha, membuat Maura benar-benar terlihat dewasa di umurnya yang masih belia.

 

"Oke, nice! Selesai." Semua orang bertepuk tangan sambil mengucapkan terima kasih sebagai tanda formalitas saja.

 

"Gimana tadi gue, Bri? Oke gak?" tanya Maura menghampiri Brian, fotografer yang sudah ia kenal lama dan sudah berpuluh-puluh kali menjadi fotografer yang selalu memotret dirinya.

 

Brian mengangguk, dia menunjukkan beberapa hasil fotonya tadi. "Oke, makin ke sini pose lo makin oke, makin hot," jawab Brian dengan suara kecil di akhir kalimatnya.

 

Maura berdecak sebal, ia sudah biasa mendapatkan kata-kata seperti itu dari Brian, mengingat mereka sudah kenal lama. "Ya udah, semua udah selesai waktunya gue pulang," celetuk Maura lalu berlalu memanggil asisten pribadinya yang selalu mendampingi Maura saat bekerja.

 

"Net, baju gue bawa ke dalam, gue mau ganti baju," suruh Maura pada Neti yang sedari tadi duduk di kursi yang tidak jauh darinya, kemudian dia memasuki sebuah ruangan kecil yang tidak lain adalah tempat para model mengganti pakaiannya.

 

Setelah itu, Maura keluar dengan pakaian yang lebih santai lagi. Rok mini di atas paha, juga tangtop putih dibalut dengan jaket crop, memang dewasa sekali pakaiannya ini. "Mau langsung pulang non?" tanya Neti yang sudah siap dengan semua tas dan isinya adalah perlengkapan saat Maura pemotretan.

 

Maura yang sedang berkaca di kamera handphone mahal miliknya hanya mengangguk, lalu dengan santai dia keluar dari ruangan tersebut. Ia tidak terlalu khawatir akan masalah honor, karena di dalam sana ada managernya.

 

"Lo bawa mobil Net, gue capek, mau tidur," ujar Maura saat mereka sudah sampai di mobil, dan perintah Maura itu hanya bisa diangguki oleh Neti.

 

Maura pun masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi samping kemudi, disusul oleh Neti yang duduk di kemudi. "Nyokap ada telepon lo gak hari ini?" celetuk Maura yang sudah bersiap untuk tidur.

 

Neti yang sedang menyetir menoleh, dia diam tidak bisa menjawab pertanyaan dari nonanya itu. Karena dia takut jika pertanyaannya ini akan membuat Maura malah sedih. "Net," panggil Maura lagi.

 

Melihat keterdiaman asistennya, Maura mengerti. Tahu akan jawaban yang tidak ingin diucapkan oleh Neti. "Gak ada yah?" tanya Maura tersenyum tipis, mendengarnya Neti hanya mengangguk pelan.

 

Maura terkekeh kecil, dia memperbaiki letak duduknya dan kini duduk menghadap jendela. "Sesibuk apa sih mereka, sampai anaknya yang belum pulang di jam malam kayak gini mereka gak khawatirin," gumam Maura yang sebenarnya dalam lubuk hatinya merasa sedih karena diacuhkan oleh orang tuanya.

 

Hubungan Maura dengan kedua orang tuanya memang bisa dikatakan tidak sedekat orang lain. Tidak ada keharmonisan di dalamnya. Mamanya Maura adalah seorang perempuan karier di usianya yang sudah menginjak hampir 40 tahun, dan ayahnya adalah seorang pengusaha. Meskipun keduanya berbeda kantor.

 

Mereka akan menanyakan kabar Maura sesekali, tentang pekerjaan Maura, dan juga pendidikan Maura. Tidak pernah sekalipun mereka menanyakan kabar dari Maura. Hal itulah yang membuat Maura kecewa pada kedua orang tuanya.

 

Tidak terasa perjalanan sudah hampir sampai, Maura yang tadinya berniat tidur di perjalanan mengurungkan niatnya karena terlalu memikirkan kedua orang tuanya itu.

 

Gadis cantik itu mengambil tas dan juga jaketnya, dan segera membuka pintu mobil. "Thanks, langsung masukin aja mobilnya. Gue duluan," pamitnya pada Neti sebelum akhirnya keluar dan mobil pun tertutup kembali.

 

 

***

 

Maura memasuki rumah yang sangat besar itu, lalu melangkahkan kakinya menuju dapur. Untuk sekedar mengisi perutnya yang sudah sedari tadi lapar itu dengan sebuah roti. "Sepi banget rumah," gumam Maura mengedarkan pandangannya ke seluruh isi rumahnya yang memang sepi dan gelap.

 

Maura mengambil satu kotak susu lalu menusuknya dengan sedotan dan ia langsung meminumnya, tidak lupa juga mengambil sebuah roti dan memakannya juga. "Apa jangan-jangan mama sama papa belum pulang juga?"

 

Maura menghela nafas dengan tatapan matanya yang memancarkan kesedihan, bagaimana pun juga, sekeras apa pun dirinya di luaran sana. Maura tetaplah Maura, gadis yang baru menginjak umur belasan, namun masalah yang menerpanya sudah banyak sekali. Dan salah satunya adalah kasih sayang orang tuanya yang tidak pernah ia dapat.

 

Merasa perutnya sudah cukup terisi, Maura pun kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ditaikinya satu persatu anak tangga yang cukup banyak itu.

 

Hingga akhirnya langkah Maura berhenti di depan pintu kamar yang berwarna merah muda dan itu adalah kamarnya, tangannya hendak memutar kenop pintu, namun suara bising dari kamar di sebelahnya mengurungkan niat Maura.

 

Brak!

 

"Jaga bicara kamu, Resti!" Jantung Maura mendadak berdetak kencang mendengar bentakan keras itu. Maura tahu, itu adalah suara ayahnya. Marvel, dan nama Resti yang disebutkan tadi adalah nama ibunya.

 

"Kamu ini harusnya tahu tugas kamu apa, kamu itu ibu rumah tangga! Harusnya kamu diam di rumah!"

 

Lagi, terdengar suara teriakan dari dalam kamar sana. Dan Maura semakin bingung, tidak biasanya dia mendengar pertengkaran sehebat ini, apalagi di malam hari. Meskipun jarang melihat kedua orang tuanya bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi Maura tidak pernah melihat pertengkaran mereka.

 

"Gak usah mengalihkan pembicaraan mas, aku tanya sama kamu. Kamu beneran selingkuh 'kan sama sekretaris kamu itu? Iya 'kan?" Kini, suara seorang perempuan terdengar, dan Maura yakini itu adalah suara mamanya.

 

 

Hal yang membuat Maura kembali dan bertambah kaget adalah mengetahui fakta jika ayahnya berselingkuh. Apa itu benar?

 

"Saya tidak pernah selingkuh, saya selalu profesional. Kamu jangan menuduh seperti itu, lihat karena kesibukan kamu, kamu sampai gak pernah ngurusin anak kita," teriak Marvel lagi.

 

Maura memejamkan matanya, tanpa sadar setetes air mata jatuh. Dia membekap mulutnya dengan tangan menahan isakan tangis yang keluar.

 

"Kamu juga sibuk mas, jangan nyalahin aku aja," balas Resti. Dan entah lagi perkataan apa yang diucapkan oleh kedua orang tuanya di dalam, karena Maura malah menutup telinganya.

 

Ceklek!

 

Pintu kamar kedua orang tua Maura terbuka, dan ternyata Resti yang keluar dari sana. "Loh, nak?" Resti cukup terkejut dengan keberadaan anak semata wayangnya di depan kamar. "Apa Maura dengerin pertengkaran kita tadi?" ujarnya dalam hati.

 

Maura tersenyum tipis, mengusap pipinya yang basah. "Hebat ya kalian," ucap Maura, yang membuat Resti mengernyitkan dahinya.

 

Marvel yang berada di dalam kamar menengok saat mendengar suara lain, dan itu adalah suara putrinya. Dengan segera ia keluar dari kamar, dan terkejut juga saat melihat anaknya. "Maura?" gumamnya yang juga kaget dengan keberadaan Maura.

 

Maura tersenyum tipis pada kedua orang tuanya itu, namun matanya tidak bisa berbohong. Tatapan sendu ia perlihatkan, membuat Marvel dan Resti merasa bersalah. "Kalian benar-benar hebat, gak pernah ketemu, tapi sekalinya ketemu, bertengkar."

 

Marvel menggelengkan kepalanya, hendak memeluk sang putri, namun Maura menggeleng dan mundur pertanda tak mau dipeluk. "Kalian pernah ngerasa punya anak gak sih?" tanya Maura.

 

Belum sempat kedua orang tuanya menjawab, Maura sudah kembali berbicara. "Gak yah? Kalian pasti ngerasa gak punya anak, kalian tanyain kabar aku aja gak pernah."

 

Marvel melotot, tidak percaya dengan ucapan anaknya. "Jaga bicara kamu! Jangan pernah berpikir seperti itu!" bentak Marvel yang semakin membuat Maura benci dengan ayahnya itu.

 

Sadar akan ulahnya barusan, Marvel gelagapan merasa bersalah. Dia maju, memeluk anaknya. "Maaf sayang–"

 

Brak!

 

Dan semuanya terlambat, karena Maura langsung pergi dan masuk ke dalam kamarnya dengan pintu yang dibanting menimbulkan suara keras.

 

***

 

To be continued

 

Next chapter