1 Satu

Mata Jihan tidak sedetik pun berpaling dari wajah ibunya yang terlelap dengan tenang. Bibir pucat itu tak mampu menutupi kecantikan ibunya, Jihan tersenyum mengingat kecantikan itu turun pada dirinya.

"Mama tetap jadi wanita paling cantik di mata Jihan." Gumam Jihan pelan.

Jihan meraih tangan ibunya dengan sangat hati-hati, bagaikan sebuah kaca yang mudah pecah. Dia mencium tangan sang ibu dengan lembut setelah itu menaruh kembali tangannya diatas ranjang. Jihan mengusap pelan tangan sang ibu yang tak lagi sehangat dulu.

"Mama sembuh ya? Jihan disini butuh mama." Ucap Jihan pada ibu nya yang terlelap dengan suara bergetar. Kali ini pertahanan Jihan runtuh. Ia tak mampu menahan bendungan air matanya. Bulir-bulir air mata bercucuran di pipi mulus nya, dia menggigit bibirnya berusaha meredam suara tangisannya.

Tubuh gadis itu bergetar, dia menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. "Setelah mama sembuh, Jihan bakal ajak mama pergi dari sini—" Masih dengan terisak gadis itu berusaha berbicara. "—kita bakal tinggalin semuanya, Jihan janji bakal cari uang yang banyak."

Jihan masih terisak dengan kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Ketika merasakan sentuhan lembut di lengannya, dengan cepat Jihan menghapus air matanya. Dia menatap ibunya yang kini memandang Jihan dengan tatapan khawatir.

"Jihan ganggu tidur mama ya?" Dia terkekeh pelan. "Maaf ya, mama jadi kebangun karena Jihan." Ucap Jihan.

Tangan lemah Dinda (Ibu Jihan) masih mengusap lengan Jihan. "Kamu kenapa nak?" Tanya Dinda yang khawatir dengan anaknya.

Jihan meraih tangan ibunya dan menggenggam nya, gadis itu menggeleng pelan. "Jihan tadi jatuh di luar, sakitnya sih gak seberapa cuma malunya itu lho ma." Ujar Jihan yang berbohong sambil tertawa berusaha meyakinkan. "Mana tadi ada gebetan Jihan, mama kebayangkan betapa malunya Jihan?" Lanjut Jihan.

Jihan memuji dirinya yang pintar mencari alasan di keadaan seperti ini, alasannya cukup bagus bukan? atau mungkin tidak. Jihan hanya tidak ingin ibu nya terlalu memikirkan kesedihannya, sekarang yang paling terpenting adalah kesembuhan sang ibunda.

Dinda mengangguk mendengar alasan Jihan sambil tertawa. "Jadi inget awal ketemu papa kamu." Dinda berusaha mendudukkan tubuhnya yang dibantu oleh Jihan. "Dulu papa kamu itu anaknya caper banget sama mama." Ujar Dinda bercerita.

Jihan mendengarkan, dengan pandangan tertarik. "Terus?" Gadis itu merapihkan selimut ibunya yang turun.

"Dimana ada mama, disana pasti ada papa." Dinda tersenyum mengingat masa mudanya. "Tapi dulu mama gak sadar sama keberadaan papa kamu, sampe kejadian dimana papa kamu jatoh di depan mama." Ujar Dinda sambil tertawa.

Dinda menepuk pundak Jihan. "Sumpah ya Han, kalo disana ada kamu pasti kamu udah ngakak banget." Jihan ikut tertawa. "Papa kamu jatuh nya gak keren banget deh, mama yang ngeliat aja malu apalagi papa kamu yang jatoh gitu." Dinda tertawa lepas. Kejadian itu benar-benar mengguncang perutnya. Dinda tidak berbohong bahwa dia yang merasa malu melihat Andra (Papa Jihan) terjatuh.

Pasalnya Andra terjatuh di depan gerbang sekolah yang jalannya sangat becek. Andra terjatuh dengan tidak elitenya dan berakhir dengan tubuh yang kotor.

Jihan menyuapkan potongan apel pada ibu nya. "Kok papa bisa jatuh?" Tanya Jihan yang terlihat antusias.

Dinda menelan kunyahan terakhir nya. "Papa kamu didorong-dorong sama temennya eh malah kebablasan sampe jatoh." Jawab Dinda sambil kembali mengunyah potongan apel.

Jihan tersenyum sendu melihat ibunya yang kembali bercerita tentang masa mudanya dengan antusias. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu terlihat seperti tanpa beban. Dia tidak pernah mau menunjukkan kesedihan ataupun kesakitan nya didepan Jihan, dan Jihan benci hal itu. Dia ingin menjadi tempat berbagi dengan ibunya. Dia ingin menjadi berguna bagi ibunya.

Sedangkan, bagi Dinda pantang dirinya menunjukkan kesedihan didepan anak semata wayangnya ini.

Jihan menggeleng berusaha menghilangkan kesedihannya. Kini didepan nya ibu nya sedang tertawa lepas dan Jihan tidak ingin senyuman itu luntur karena dirinya yang terlalu cengeng. Yang Jihan harapkan kini hanya kesembuhan sang ibu semata.

--------------

Gaun putih membalut tubuh ramping Jihan. Rambut panjangnya yang tergerai rapih, dan sedikit riasan yang terkesan natural membuat penampilan Jihan terlihat begitu anggun. Namun, riasan itu tetap tidak menutupi raut wajah Jihan yang sedari tadi merasa tegang.

Dia berkali-kali menghela nafas, berusaha menenangkan kegelisahan dan emosinya. Bukanlah hal yang mudah baginya untuk melakukan hal ini, dan dia yakin jika orang lain di posisinya pasti merasakan hal yang sama.

Terdengar suara orang dan langkah kaki, Jihan yakin itu mereka. Lantas dia berdiri dari duduknya, dia menunduk berusaha merapikan gaun nya yang sedikit terlipat. Tepat setelah mendongak dia bertatapan dengan Ayah nya, Cakra. Senyuman langsung muncul di pipi Jihan, mati-matian dia berusaha agar senyum nya tak luntur melihat siapa yang datang bersama ayahnya.

"Papa." Panggil Jihan lembut.

Cakra tersenyum, dia mengkode Jihan dengan tangannya untuk mendekat. Dengan pelan dia melangkah mendekati ayahnya, mata tajamnya tak terlepas dari dua orang asing yang berdiri kaku disebelah ayahnya.

Setelah sampai didepan ayahnya, Cakra langsung memeluk erat Jihan. Jihan menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan sikap melankolis nya yang muncul. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan didepan dua orang asing yang akan sering bertemu dengannya.

Cakra melepaskan pelukannya. "Kamu lama banget dirumah Oma, emang gak kangen sama Papa apa?" Tanya Cakra yang memang merindukan gadis kecilnya itu.

Jihan terkekeh. "Kangen dong, makanya ini Jihan pulang." Balas Jihan.

Memang semenjak pernikahan Cakra, Jihan lebih memilih untuk tinggal bersama Omanya. Di rasanya dia butuh waktu untuk menyendiri, menenangkan hati dan pikirannya. Mendapatkan kabar pernikahan sang ayah ketika ibunya sedang berjuang di rumah sakit bukanlah hal yang biasa. Ditambah dengan berbagai dukungan orang lain terhadap pernikahan ayahnya membuat Jihan benar-benar merasa sendiri.

Mereka bilang dengan pernikahan ini ayahnya akan bahagia. Jihan bukan tidak ingin melihat ayahnya bahagia, namun menerima kenyataan bahwa ayahnya menikah lagi dengan wanita lain tidak lah semudah yang mereka katakan.

Jihan tidak bisa membayangkan posisi ibunya yang berjuang mati-matian melawan penyakitnya namun mendapat kabar suaminya menikah lagi, benar-benar menyakitkan.

Cakra merangkul pundak Jihan. "Sapa dulu sana mama baru kamu." Suruh Cakra pada anaknya.

Jihan tak bergerak seinci pun dari posisinya, dia hanya melirik wanita itu yang bersebelahan dengan pria yang mungkin anaknya. "Siang tante." Sapa nya singkat sambil tersenyum sedikit terpaksa.

Dengan cepat gadis itu mengalihkan pandangannya ke pada Cakra. Dia takut, dia takut jika terlalu lama memandang wanita itu akan memancing emosi Jihan dan melakukan hal-hal yang pastinya tidak akan disukai oleh ayahnya.

"Kok panggil tante sayang? panggil mama aja biar lebih akrab." Sahut Aulia, dengan senyuman yang tidak luntur sedari tadi.

"Iya." Jawab Jihan singkat tanpa menoleh.

"Nah itu cowok yang disebelah kamu bakal jadi abang kamu, namanya Dion. Dia bakal satu sekolah sama kamu." Ujar Cakra membuat Jihan melirik pria yang dimaksud ayahnya.

Datar, mereka berdua bertatapan dengan wajah datar mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat tersenyum ataupun menyapa satu sama lain, baik Jihan maupun Dion.

"Kamu gak akan kesepian lagi." Ucapan tulus dan sentuhan lembut di kepalanya membuat Jihan kembali menatap ayahnya.

Yah, semoga saja.

avataravatar
Next chapter