1 Rayuan Dhani

Rayuan Dhani

Abel merindukan Dani, pria dewasa yang hampir tiga bulan ini meninggalkannya karena urusan pekerjaan. Perutnya yang lapar tidak bisa membuat gadis itu beranjak dari kelas. Murid XI MIPA 3 itu bahkan tidak memedulikan Lia yang sedari tadi merengek mengajak ke kantin. 

Dia tetap memejamkan mata sambil menyandarkan pipi di meja, tidak mendengarkan celotehan berisik para sahabatnya. 

Drrt!

Getaran handphone dari dalam tas membuat kelopak mata gadis berparas cantik dengan penampilan yang nyaris sempurna itu terbuka. Senyum samar muncul di sudut bibir Abel, begitu melihat nama seorang cowok di layar utama handphonenya. 

Dia lantas mendekatkan handphone ke telinga, menerima telepon dari sang kekasih.

"Serius? Di mana?" sahut Abel tiba-tiba, membuat Lia menyipitkan mata karena penasaran akan percakapan Abel dan orang itu. 

"Tunggu, gue ke sana," lanjutnya seraya menyimpan handphone dan bergegas beranjak dari tempat duduk. 

"Eh … Bel, tunggu. Abel!" teriak Lia. Dia sampai meninggalkan tasnya di kelas. 

Namun, sesampainya di aula, Lia terpaksa berbelok dan bersembunyi di balik tembok pemisah ruangan aula dengan ruang guru tersebut. Bibirnya membulat sempurna begitu melihat sang sahabat berpelukan dengan pria dewasa di depan aula. 

Bukan sepasang mata Lia saja yang melihat, melainkan beberapa murid SMA kebetulan melintas di sekitar aula. 

"Kapan kamu sampai di Jakarta?" tanya Abel seraya bergelayutan manja di lengan pria kekar berambut rapi itu. 

"Barusan aja, belum ke rumah tapi langsung kesini," jawabnya dengan suara serak. 

"K-kamu sakit?" Seketika Abel panik dan menyentuh kening pria yang menjadi penghuni hatinya itu.

"Tidak, haus aja, ehem …." Dia berdehem pelan menetralkan suara. Kemudian, sedikit menunduk demi melihat wajah ayu Abel. 

"Umm … udah hampir masuk jam pelajaran, nih, gimana dong?" Abel terlihat cemberut setelah melirik jam tangannya. 

"Masuk gih. Pulang nanti aku jemput," sahut pria itu, lalu dengan manjanya mengacak puncak rambut gadis dengan tinggi badan 146cm itu. 

Meskipun berat karena harus berpisah lagi dengan kekasihnya, tapi Abel tetap harus menyelesaikan sekolah hari ini. Sebentar lagi bulan kelulusan dan dia harus serius dengan materi dari para guru demi bisa cepat menyelesaikan sekolahnya. 

Tangan yang melambai akhirnya turun begitu mobil pria berkumis tipis itu menjauh dari lingkungan sekolah. Abel pun segera melangkah menuju kelas, khawatir pintu sudah ditutup oleh guru matematika yang dikenal tegas dengan murid yang telat masuk. 

"Bel, lo masih lanjutin hubungan sama Dani?" Pertanyaan yang mengejutkan. Abel sampai mengangkat tangan kanannya untuk berjaga-jaga karena terkejut akan kemunculan Lia secara tiba-tiba dari balik tembok. 

"Astaga, Lia. Ngagetin tahu, nggak?" cetus gadis berparas manis itu. 

Bukannya menjawab pertanyaan Lia, Abel justru berlalu begitu saja. Jelas membuat Lia kesal dan menarik lengannya. 

"Lo nggak cukup sakit hati sama kelakuan Dani selama ini, hah? Dia udah manfaatin lo, Bel." Lia menatap dalam bola mata sahabatnya, berharap dia mau menyadari sakit hati akan perbuatan Dani. 

"Apa sih, Li? Kamu tuh cerewet, persis banget kayak pak Ridwan, udah yuk ke kelas. Nanti kena marah pak Ridwan kalau telat masuk," tukas Abel. 

Seakan tidak ingin menunjukkan perasaan yang sesungguhnya, Abel merangkul bahu Lia dan menyeretnya ke kelas.

 

***

Empat puluh lima menit cukup untuk membuat kepala Abel sakit dengan rumus-rumus rumit dari pak Ridwan. Dia menyimpan buku-buku ke dalam tas, lalu beranjak dari tempat duduk. Tanpa mengajak Lia yang masih sibuk menulis rumus-rumus matematika pada bukunya, dia berlari kecil dengan senyum ceria keluar kelas. 

"Bel, yuk pul … loh, Abel?" lirih Lia ketika selesai menulis.

Dia menatap ruang kelas yang ternyata sudah tidak ada seorang murid pun di sana. 

Lia langsung berkemas dan keluar kelas. Menanyakan kepada anak-anak di luar apakah melihat Abel atau tidak. Kebanyakan mereka menjawab jika Abel baru saja pulang bersama om-nya. Lia terhenyak, rupanya Dani benar-benar menjemput sahabatnya. Dia khawatir bila Dani membuat kecewa Abel lagi seperti kejadian dua bulan lalu. 

Lia bingung mau apa sepulang sekolah jika tidak ada Abel. Biasanya mereka pergi ke mall atau sekedar membaca buku di perpustakaan. Namun, sekarang dia sendirian. Pasti sore nanti akan sangat membosankan baginya. 

Jauh dari lingkungan sekolah, Abel dan Dani tengah makan siang di sebuah cafe & resto sebuah mall. Mereka terlihat sangat bahagia, jelas dari garis halus di sudut mata sepasang kekasih yang saling melepas rindu itu.

"Kamu kenapa pulang tiba-tiba, humm?" tanya Abel manja.

Dia menopang dagu menggunakan satu tangan seraya menatap mesra sang kekasih. 

"Sengaja, kangen kamu dan … ada sedikit urusan disini. Oh iya, Bel, orang tua kamu gimana?" sahut Dani sembari mengaduk jusnya. 

Abel tersenyum samar. Sebenarnya dia tidak ingin membahas masalah orang tuanya. Hal itu menyakiti hati dan Abel pun tidak mau membuat kekasihnya terbebani. Namun, sentuhan lembut Dani membuat gadis itu pun membuka suara. 

"Mama papa udah pisah. Sekarang mama tinggal di Surabaya," jawabnya lirih. 

"Kalau om?" tanya Dani lagi. 

"Papa di rumah lama, tinggal bareng selingkuhannya."

Tak terasa air hangat mengalir di pipi ayu Annabelle. 

Dani mencengkeram cukup kuat punggung tangan putih mulus kekasihnya, demi memberi kekuatan untuk gadis itu. Dia tahu Abel sangat terluka atas perpisahan kedua orang tuanya. Sesaat kemudian, Abel mengusap air mata itu.

Senyuman kembali merekah saat menatap iris mata kecoklatan pria tampan di hadapannya. 

Bersama Dani, Abel merasa sangat nyaman. Meskipun sempat dikecewakan, tapi dia tidak bisa pergi dari Dani. Pria itu terlalu mengerti akan dirinya. 

"Jangan menangis lagi," lirih Dani sambil menarik kedua sudut bibir.

Genggamannya pun ia lepaskan, lalu beralih mengusap pipi Abel dengan mesra. 

Gadis itu mengangguk kecil, diiringi senyum yang kian lebar. Mereka lantas melanjutkan makan, seterusnya pergi ke hotel untuk beristirahat. 

***

Semilir angin kian terasa, menembus kulit polos lengan Abel yang kini meringkuk di tempat tidur sprei putih itu. Dia duduk di tepian ranjang seraya memperhatikan sang kekasih yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Nggak mandi?" tanya Dhani sambil menghampiri Abel.

"Mandi nanti aja," jawab gadis itu.

Dhani langsung duduk di samping kekasihnya. Ia merangkul Abel sehingga kini kepala Abel bersandar di lengan Dhani.

"Nanti malam aku langsung kembali ke Surabaya," kata Dhani memecah keheningan.

Abel pun menoleh, lalu berkata, "Cepat sekali. Padahal aku pengen jalan sama kamu."

"Mau jalan sekarang aja?" tanya Dhani.

"Katanya mau ketemu klien?" sahut Abel, kecewa.

"Jalan sebentar 'nggak papa. Masih ada waktu kok," jawabnya.

Namun, Abel tidak menjawab dan malah kembali menyandarkan kepala pada lengan Dhani. Gadis itu melingkarkan tangan pada perut Dhani, ia sangat mencintainya meskipun mereka terpaut umur yang cukup jauh.

Dhani memberikan Abel apa yang selama ini tidak pernah ia rasakan yaitu, kenyamanan. Perhatian Dhani, cintanya, juga kehangatan.

"Kalau gitu aku mandi dulu, ya," pamit Abel.

Seakan tidak ingin melepaskan genggamannya, Dhani menatap Abel yang kini sudah berdiri. "Ikut aku ke Surabaya aja, ya?" tanyanya.

"Tapi aku masih sekolah, Sayang," jawab Abel menolaknya baik-baik.

"Kan bisa pindah sekolah. Kita jadi lebih dekat, aku bisa sering ketemu kamu," ucap Dhani, manja.

"Satu tahun aja lagi, kok. Nanti kuliahnya baru aku ke Surabaya," sahut gadis itu.

Dia menarik pelan tangan yang digenggam Dhani. Kemudian, bergegas ke kamar mandi. Selagi menunggu Abel selesai mandi, Dhani mencoba menghubungi kliennya dan memberitahu bila ia akan sedikit terlambat menemuinya.

Next ...

avataravatar
Next chapter