3 CHAPTER 3

Aku terbangun dari tidur panjangku, kulihat tak ada dia di sekitarku. Mungkin tadi malam hanyalah halusinasiku saja yang terlalu penasaran tentang dirinya. Tapi, jika pun ia benar ada tadi malam, untuk apa? Menemaniku tidur?

Aku segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa mama sudah stand by di meja makan menungguku sarapan bersama.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya mama dengan menatap wajahku intens.

"Aku baik-baik saja, Ma," sahutku disertai dengan senyuman kecil. Mama hanya mengangguk percaya padaku.

_____________

"Lah? Neng? Ini motornya sudah bapak bersihkan, kok, nggak dipakai?" tanya Pak Samba--- satpam rumahku.

"Saya mau jalan kaki saja, Pak. Lagipula mobil saya ketinggalan di sekolahan kemarin. Jadi, ntar biar bisa bawa baliknya, ya sudah permisi, Pak," sahutku sembari berlalu meninggalkan Pak Samba yang bingung dengan perkataanku.

Sekolah baruku tidak terlalu jauh. Cukup ditempuh jalan kaki sekitar kurang lebih setengah jam pasti akan sampai, dengan catatan jangan sambil mampir-mampir.

Aku merasakan ada angin yang bertiup sangat lembut di belakangku, tapi cukup membuat bulu kuduk berdiri. Saat aku berbalik ternyata seperti yang kuduga. Dia ada di belakang mengikutiku, tak lupa dengan senyuman manis yang tergambar di wajah pucatnya.

Aku menghentikan langkahku sengaja, lalu kuputarkan tubuhku menghadap belakang. Hilang. Dia hobby sekali main kucing-kucingan denganku. Aku kembali mempercepat langkahku menuju sekolah agar tidak terlambat.

Sesampainya di sekolah, lagi-lagi aku menjadi pusat perhatian semua orang. Apa anehnya sih pakai masker? Sudahlah aku tak suka suasana ini, aku lalu mempercepat langkahku menuju kelas. Kulihat dia sudah duduk sendiri di sana, lagi-lagi dia tersenyum padaku. Ingin sekali aku menanyakan pada yang lain apakah mereka melihatnya? Namun, kuurungkan lantaran ini kurasa tidak terlalu penting --- seharusnya begitu.

Jam sekolah hari ini begitu sangat membosankan untukku. Bagaimana tidak? hampir setengah hari guru matematika menguasai jam pelajaran. Otakku rasanya mulai mendidih.

"Rel! temenin ke toilet, dong!" ucap Terrena dengan memutar lehernya kebelakang menengokku. Aku tertegun sejenak berpikir kenapa ia mengajakku? Kenapa tidak dengan Azzar saja?

Aku akhirnya mengikuti ajakannya, karena aku juga ingin membasuh wajahku yang memanas. Tidak berapa lama Azzar menyusul kami di toilet.

"Aman?" tanya Terrena pada Azzar yang dibalas dengan anggukan mantap. Aku mulai curiga

"Zarrel, lo ikutan bolos juga, kan?" Hah?! Bolos?! Sejak aku sekolah dan disempurnakan dengan bullying aku tidak pernah memasukan kata bolos dalam kamus hidupku. Lebay, tapi ini nyata.

Aku sontak menggeleng keras menolak ajakan mereka. Akupun segera melangkahkan kakiku keluar. Namun, sebelum sempat keluar salah satu dari mereka menarikku kembali.

"Bolos satu jam pelajaran nggak bakal buat lo bego kan, Rel." Ini sih lebih kepernyataan. Aku memandangi wajah memelas mereka yang memaksa(?)ku untuk ikut bolos bersama mereka. Entah dorongan dari mana tanpa kusadari kepalaku mengangguk begitu saja.

___________________

Setelah melewati jalan tikus yang berada di belakang sekolah, kami akhirnya berada di tempat yang hampir mirip hutan --- aku tidak tahu pasti nama yang tepat untuk macam tempat seperti ini. Aku hanya mengikuti Azzar dan Terrena dengan tanganku yang digandeng oleh mereka berdua, aku serasa seperti nenek-nenek yang lagi dituntun menyeberang jalan.

Hampir saja aku mau putar balik kembali ke kelas, tapi pemandangan yang saat ini kulihat begitu menakjubkan. Ini persis seperti pemandangan hutan yang ada dalam lukisan-lukisan. Aku tidak mampu menjabarkannya karena keindahan ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tempat ini lebih dari indah.

"Mau sampai kapan lo berdiri macam orang idiot begitu?" tanya Terrena menyadarkanku. Aku menghampiri mereka berdua yang kini sedang duduk di ayunan yang terbuat dari akar-akar yang menggantung.

"Zarrel?" panggil Azzar dengan wajah serius.

Aku hanya menatap balik wajahnya.

"Rel, buka dulu kali maskernya! Kita mau ngomong sama lo," ujar Terrena dengan tersenyum lembut. Kulihat itu... tulus?

Semula aku ragu, tapi karena mereka terus mendesakku akhirnya aku buka juga.

"Gila, bening banget," gumam Terrena yang masih bisa terdengar olehku.

"Why?" tanyaku tanpa ekspresi.

"Rel, lo bidadari, ya, Rel?" tanya Azzar dengan mata yang tak berkedip. Aku khawatir ia bisa kelilipan.

"Nggak nyangka gue, Zar, kita ngajak bidadari buat bolos," ucap Terrena tak kalah anehnya.

Aku segera memakaikan maskerku lagi, tapi belum sempat aku mengaitkannya tangannku sudah dicekal duluan dan maskerku berpindah ke saku roknya Azzar.

"Maaf, Rel, kami terpesona sama wajah lo. Abis cantiknya lo itu beda banget. Cantiknya alami, benar-benar alami, bukan buatan." Terrena menjelaskan padaku sambil tetap menatap kagum(?) padaku. Aku tak mengerti kalimatnya.

Aku hanya menggelengkan kepala dengan tingkah pola mereka selanjutnya yang tak ada habis-habisnya mengagumi(?)ku. Mereka kurang kerjaan.

"Oke, cukup!" ucapku akhirnya mengakhiri keadaan yang membuatku merasa aneh, "Kalian tadi mau ngomong apa sama aku?"

"Eh, iya. Hampir lupa kan. Jadi gini, Rel, kita berdua pengen jadi teman lo." Teman? Semudah inikah mendapatkan teman?

"Anu, kita nggak ada maksud lain, kok. Kita beneran tulus mau temenan sama lo, Rel." Azzar menjelaskan dengan wajahnya yeng tersenyum lembut padaku. Kuperhatikan mata-mata mereka berdua, bukan mata penuh rencana busuk ataupun mata yang menyimpan ribuan umpatan padaku, mata mereka terlalu tulus untuk kusebut munafik.

Aku hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui permintaan pertemanan dari mereka. Tiba-tiba aku merasakan perasaan aneh, tapi tidak tahu kenapa.

________________

"Hati-hati sama mereka. Yang terlihat bukan berarti yang sebenarnya." Dia lagi. Aku pikir sepanjang siang ini tidak melihatnya, ia tidak akan menemuiku lagi.

"Apa maksudmu?" tanyaku padanya. Ah! senyum itu. Lagi-lagi senyuman itu yang dijadikannya jawaban.

"Kenapa, sih, kamu mengikuti aku terus? Sebenarnya kamu ini siapa?" tanyaku, "please, kasih aku jawaban, jangan cuma senyum-senyum doang," pintaku dengan agak memelas sedikit padanya. Apa-apaan ini? Sejak kapan aku seperti ini sama orang lain?

"Nanti juga kamu tahu sendiri. Ingat! jangan mudah percaya dengan apa yang kamu lihat. Saat mereka mengatakannya carilah kebenarannya"

"Tung--"

Argh! Apa maksudnya? Sumpah aku tidak mengerti sama sekali. Aku yang terlalu bodoh apa dia yang terlalu aneh, sih?

"Tidur sana! Udah malam."

Ingin rasanya kulempar meja.

...

avataravatar
Next chapter