9 Ilusi 9

[] Anakku! []

Aku tidak tau lagi apa yang terjadi usai Tante Eva dan Wildan pulang. Apakah mereka akan mendatangi Velinda atau membiarkan masalah itu, bukan urusanku. Aku orangnya lebih suka blak-blakan sekarang.

Untuk apa menutupi sesuatu? Aku sudah kapok dengan hal yang ditutup-tutupi seperti sebelumnya. Dulu aku menutupi hubungan gilaku dengan Wildan, dan akhirnya jadi runyam begini. Dulu aku menutupi bahwa Wildan tidak mencintai Wina, akhirnya aku juga yang pusing karena ini.

Sekarang, aku akan berusaha menjadi orang yang transparan. Terserah orang akan berkata apa, ini sudah akan menjadi sikapku mulai kini. Yang penting, aku sudah bicara apa adanya, terserah orang lain bisa menerima kalimatku atau tidak. Bukan lagi wewenangku untuk meyakinkan siapapun.

Sudah tiga hari ini hidupku penuh damai. Di kos, tidak ada satupun yang mengusikku. Meski mereka bertemu denganku, orang kos hanya akan menyapa sekedarnya atau senyum singkat ketika berpapasan denganku.

Lagi pula, ini kota besar yang sebagian masyarakatnya memang tidak terlalu ingin tau urusan orang lain, kecuali aku ini artis.

Selama tiga hari ini aku juga kerap mendapat kiriman berbagai multi-vitamin dan segala merk susu ibu hamil karena Tante Eva tak tau mana yang cocok untukku. Semua dikirim oleh Wildan. Biasanya kalau dia terlalu lama menggangguku di kantor, bakalan dihadang Bang Fandi dan Bang Zum. Hihi... aku jadi merasa bagai punya kakak lelaki.

Andai kakak lelakiku seperti mereka, alangkah leganya hidupku. Sudahlah, tak perlu menyesali kakak laki-lakiku yang super brengsek itu. Yang penting, aku memiliki rekan-rekan yang bagaikan keluarga untukku. Aku ini sudah bisa dibilang sebatang kara, maka... rekan kantorku adalah keluargaku sejak ini.

Tante Eva juga mengirimkan banyak baju bayi dan peralatan bayi lainnya. Aku sampai harus mengembalikan boks bayi yang pastinya akan menyesaki kamar kosku saja nantinya. Lebih baik anakku tidur satu ranjang denganku saja. Tak perlu bermewah-mewah.

Berbagai baju hamil yang cantik-cantik juga diberikan untukku dari Tante Eva melalui anak semata wayangnya.

Aku sebenarnya terharu dengan perhatian Tante Eva. Tapi aku tak mau terlena jauh. Hatiku tak boleh hanyut, karena biar bagaimanapun, masih ada keluarga Wina dan Tuan Benny yang membuatku kuatir. Satunya bermaksud menghancurkan aku, dan satu lagi bermaksud merebut bayiku.

Seminggu berlalu juga dalam damai penuh tenang. Aku mulai menikmati masa kehamilanku dengan semua perhatian dari Tante Eva. Orang kantor begitu menjagaku sampai-sampai lokasi tempat kosku pun masih tidak terdeteksi oleh pihak lain selain orang kantor.

******

Memasuki bulan kesembilan, teman kantor sudah menyarankan aku agar tidak perlu datang ke kantor karena usia kandunganku sudah terlalu riskan untuk bepergian dan bergerak. Tapi aku malah risih kalau merepotkan semua orang. Apalagi aku juga jenis orang yang tak tahan diam terlalu lama.

Hari ini aku sudah duduk tenang di kubikelku dan terus mengurus berbagai draft iklan yang dipercayakan padaku. Hingga tak terasa sudah jam makan siang.

"Nev, mo makan apa? Gue mo ke kafe depan, nih!" Teh Intan menyeru dari kubikelnya sambil membenahi berbagai kertas di mejanya, bersiap pergi untuk makan siang.

"Gue ikut aja, Teh!" Aku bangkit dari kubikel meski agak repot karena perut besarku.

"Yakin?" Teh Intan ragu melihat aku kesusahan bangun dari kursi.

"Dari tadi gue duduk melulu, Teh! Bisa bengkak nih kaki."

"Oh, ya udah. Yuk!" Teh Intan menghampiriku. "Rinda mau ikut, gak? Atau pesan enak-enak?"

Mbak Rinda yang sedang mengetik di kubikelnya pun menoleh ke Teh Intan. "Gue pesan Mocca Latte yang biasa ama gorengan, Teh!"

Akhirnya, berdua dengan Teh Intan, kami berjalan menuju ke kafe di depan kantor. Untung saja kantorku ini bukan di daerah padat jalan raya. Ini ada di jalan kecil dan tidak terlalu banyak kendaraan lewat.

Kami menyeberang secara hati-hati. Aku memegang tangan Teh Intan.

"Aduh, awas!" Teh Intan menarik tanganku ketika aku hampir saja diserempet pengendara motor. Dia sudah ingin memaki-maki pengendara itu tapi aku cegah.

"Udah biarin, Teh! Yang penting masih selamat ini, kok!" Aku tersenyum.

"Ya udah. Yuk!" Teh Intan pun mulai lebih hati-hati menggandeng tanganku ke seberang jalan.

Semenjak aku hamil besar, entah kenapa, aku bisa lebih sabar, tidak seperti dulu yang berdarah panas. Eh, lalu sekarang ini aku sudah menjadi makhluk berdarah dingin? Aih, tidak lah!

Sesampainya di kafe, orang sudah mulai berkerumun karena ini jam makan siang. Kafe ini sejenis food court. Ada beberapa bilik resto ala warung kecil di sini yang biasa dituju para pekerja kantor seperti kami, karena memang area ini ada banyak kantor kecil juga.

Kami mengantri di salah satu warung nasi rames langganan Teh Intan. Cukup panjang juga antriannya. Warung ini selain makanannya beragam, juga enak dan murah, makanya banyak yang suka membeli di sini.

Aku berdiri gelisah karena harus diam saja. Kaki bengkakku berdenyut-denyut. "Teh, aku mendingan nyari minuman tempat lain aja, yah!" Aku berbisik ke Teh Intan.

Teh Intan menoleh ke arahku. "Loh, kok?"

"Aku pegal kalau harus berdiri melulu gak ngapa-ngapain, Teh! Sekalian nyari Mocca Latte pesanan Mbak Rinda." Itu alasanku. Intinya, aku butuh jalan-jalan daripada diam saja yang akan membuat kakiku akan makin sakit membengkak.

"Oke, oke, ya udah. Yang penting ati-ati, yah!"

Aku mengangguk dan mulai keluar dari barisan antre untuk berkelana ke lainnya. Aku mulai mencari-cari pondok minuman yang biasanya didatangi Mbak Rinda. Dia ketagihan Mocca Latte pondok itu.

"Oh, Pondok Segar?" Seorang ibu yang sedang menjaga warungnya menyahut saat aku menanyakan Pondok Segar langganan Mbak Rinda. "Udah pindah ke lantai atas, Neng!"

"Oh, udah pindah ke atas, yah?" Aku menatap sebuah tangga ubin yang mengarahkan ke lantai atas. Di atas juga ada banyak food court lain, dan biasanya lebih mahal dan lebih eksklusif tempatnya.

Hembuskan napas kuat-kuat sekali, aku tetapkan hati untuk naik ke lantai atas. Tak apa, aku menganggap ini sebuah olah raga untuk kakiku agar tidak terlalu manja. Agar peredaran darahku lancar karena selama ini aku terlalu banyak duduk sehingga kakiku mengalami bengkak yang dikatakan pre-eklampsia. Tidak parah, sih. Hanya membuat pegal pergelangan kaki saja.

Aku sudah naik ke atas dengan perlahan-lahan dan berpegangan di besi pegangan sepanjang tangga. Setelah sampai di atas, aku mulai berjalan mencari Pondok Segar. Nah, itu di sana. Akhirnya, aku pun memesan tiga minuman tanpa perlu mengantri. Aku lega bisa duduk sejenak sambil menunggu pesananku datang.

Setelah menunggu tak sampai lima belas menit, aku pun menenteng tiga minuman dingin yang pasti akan menyegarkan tenggorokanku di saat cuaca panas dan terik begini. Kotaku ini memang terkenal akan hawa panasnya.

Aku mulai berpegangan lagi untuk menuruni tangga. Satu demi satu tangga aku tapak pelan-pelan. Ini benar-benar olah raga yang menyenangkan bagi orang yang tak bisa diam sepertiku.

Saat aku sudah menjejak di tangga kedua dari atas, tiba-tiba lutut belakangku ditekuk oleh kaki seseorang. Aku yang tak siap, kaget dan segera tubuhku merosot ke bawah. Aku terus mencoba berpegangan pada besi pengaman.

Sayangnya, peganganku tidak sekuat yang aku harapkan. Aku merosot turun ke bawah dengan kakiku terjulur ke depan dan pantatku beradu dengan banyak anak tangga sebelum aku terguling sekali setelah mencapai anak tangga paling bawah.

Banyak wanita menjerit histeris melihatku.

Di ambang sadarku, aku sempat melihat sekelebat bayangan di puncak anak tangga sana.

Velinda?

Benarkah itu tadi ulah Velinda? Atau hanya khayalanku saja karena aku begitu membenci sekaligus kuatir dengan sosok perempuan dengki itu? Iya, aku bisa mengatakan dia perempuan dengki karena aku pernah mendengar dari Wildan dulunya bahwa Velinda pernah mengejar Wildan secara diam-diam di belakang Wina, namun kata Wildan, akhirnya perempuan itu menyerah dan tidak mengganggu Wildan lagi.

Cuih! Perempuan munafik! Aku yakin jika Wildan membalas rayuan dia, pasti juga dia akan ada di posisi aku begini, hamil anak Wildan. Bisa-bisanya dia memakiku sebagai jalang perebut lelaki orang.

Setengah tersadar, aku merasakan ada yang basah di bawah sana. Mataku otomatis ke arah itu. Darah... darah... astaga, sebanyak itu?

"Nevia! Nevia!"

Suara Teh Intan. Aku ingin menjawab teriakan dia tapi aku seperti merasa melayang dan semua gelap.

Begitu tersadar, aku sudah ada di sebuah ruangan bersih berwarna krem lembut dan bau antiseptik menusuk hidung meski ada bau pewangi ruangan lainnya. Tapi aku segera tau, ini rumah sakit. Mataku bergulir dan menemukan Tante Eva, Wildan, Teh Intan, Mbak Rinda, dan sepertinya aku melihat Tuan Benny di sudut kamar.

Kenapa mereka semua menangis?

Apa aku mati? Aku sudah mati?! Jadi ini arwahku yang sedang memandangi mereka semua?! Benarkah?!

"Vi sayang! Akhirnya kamu bangun!" Wildan yang berteriak terlebih dahulu setelah aku membuka mata. Eh, ternyata aku masih hidup. Kukira sudah tamat.

Ingin mengucapkan sesuatu, sayangnya aku merasa tenggorokanku kering kerontang. Aku hanya menyuarakan suara lirih tak jelas.

Tante Eva, matanya basah dan Beliau duduk di sebelahku menggenggam satu tanganku. "Nevia sayang... Nevia sayang, anak Tante..." Beliau terisak.

Aku menoleh ke arah Mbak Rinda dan Teh Intan yang tertunduk dan sedih. Ini ada apa, sih?

Tunggu sebentar! Ada yang aneh! Sesuatu yang akhirnya aku sadari sekarang. Aku melirik ke perutku. Rata?! Tunggu dulu! Bukannya aku sedang hamil besar? Bahkan saking besarnya, aku bagai melihat bukit kecil setiap berbaring.

Tak mau percaya, aku pun meraba daerah yang biasanya ada 'bukit kecil' kesayanganku, tempat anakku bermukim selama beberapa bulan ini.

Rata! Kempis! Perutku kempis!

"Ouwh!" Aku terpekik karena ternyata ada bekas operasi yang melintang di perutku. Jadi, aku mengalami operasi baru-baru ini? Dan itu artinya anakku sudah dikeluarkan. Benar, bukan?

Memaksakan senyum meski nyeri di perut mulai terasa, aku bertanya dengan suara lirih dan serak ke mereka. "Anakku? Anakku mana?" Dalam bayanganku, anakku sedang dimandikan atau sedang ada di boks di ruang bayi.

Aku malah kebingungan karena isakan Tante Eva kian keras sambil tidak menatapku. Kupandangi Wildan yang menciumi tangan satuku lainnya sambil menangis juga seperti ibunya. Akhirnya aku menatap kedua rekan kerjaku, berharap mendapatkan kejelasan informasi dari mereka.

"Anak kamu..."

"Ya?"

"Anak kamu meninggal, Nev."

avataravatar
Next chapter