5 Ilusi 5

[] Hadirnya Keluarga []

Aku sudah ada di kamar tempat Wina dirawat. Bahkan, mukaku sudah pias dan tertunduk, sambil menahan nyeri di lututku karena aku saat ini sedang berlutut di depan ranjang rawat Wina.

Sahabatku itu sedang tidak sadar dan baru saja menjalani operasi penyelamatan. Matanya terpejam dengan wajahnya memucat putih dihiasi masker oksigen yang bersandingan dengan berbagai macam alat-alat di dekatnya yang aku kurang paham itu apa, tapi aku sering melihatnya di drama-drama yang sering kutonton.

Aku dikelilingi oleh beberapa orang, dan tidak satupun dari mimik muka mereka yang terlihat ramah. Mereka semua dari keluarga Wina. Bahkan aku tak berani naikkan wajah untuk menatap mereka semenjak lututku menyentuh lantai. Kedua-duanya.

"Perempuan jalang!" seru suara wanita yang sepertinya ibunya Wina. Aku tak berani mendongak untuk mengkonfirmasi.

"Maaf. Maafkan saya. Saya sungguh minta maaf untuk semuanya." Suaraku bergetar ketika mengucapkan kalimat itu yang susah payah aku keluarkan dengan sejelas mungkin. Bukan, bukannya aku tidak mau meminta maaf. Aku justru terlalu takut hingga rasanya tak berani berbicara apapun. Tapi, tetap saja aku harus menyuarakan permintaan maaf, bukan?

"Wanita iblis kamu!" Ada suara wanita lain, tapi tampaknya bukan wanita seumuran ibunya Wina. Siapa?

"Saya-"

Duk!

Satu kaki wanita itu sudah menendang dadaku sehingga aku terjengkang ke belakang. Dari situ, aku pun tau siapa dia. Sepertinya dia sepupunya Wina. Itu kalau tidak salah ingat. Namanya Velinda. Wina biasanya memanggil dia Veli.

Aku meringis karena perutku sudah buncit lumayan besar dan terjengkang ke belakang secara tiba-tiba tentunya berakibat nyeri pada pantat dan tulang belakangku.

"Vi!" Sebuah suara lekas datang menyambar pendengaranku. Kutatap si empu suara. Wildan. Dia segera meraih aku dan berusaha memberdirikan aku yang dalam kondisi susah payah begini.

"Huh! Kayaknya tendangan gue kurang keras tadi! Harusnya langsung bikin perempuan iblis sundal ini modar aja sekalian!" Velinda menatap jahat ke arahku.

"Vel!" seru Wildan. "Lu kagak liat, dia hamil besar! Enteng banget lu bicara soal bunuh orang?!" Dia menatap sengit ke Velinda sambil membantu aku bangun dari lantai.

"Hei! Ngapain sih lu malah belain sundal itu?" Mata Velinda makin melotot sambil telunjuknya tegas menunjuk ke arahku. "Sundal satu ini bikin sepupu gue sampai begini. Lu harusnya lebih peduli perasaan Wina ketimbang tuh sundal!"

Aku meneguk ludah. Rasanya seperti menelan pasir. Ya, tidak apa. Hina saja aku sepuasnya. Aku pantas menerima, kok. Aku rela. Aku memang jalang, sundal, dan apapun yang ingin disebutkan.

"Lu pikir Wina sekejam elu, Vel?" Wildan malah ikut mendelik ke Velinda sambil masih memegangiku yang memang susah berdiri tegak karena badanku terasa sakit semua.

"Gue yakin kalo Wina bangun, dia bakalan cincang tuh sundalmu!" jerit Velinda sambil terus menunjuk-nunjuk ke arahku. Dia benar-benar mirip tokoh yang hobi marah-marah di sinetron dan drama-drama picisan.

"Cukup!!!" Suara menggelegar ayah Wina menghentikan perdebatan Wildan dan Velinda. Beliau menatap tajam ke dua orang itu. Velinda terlihat menciut. Itu karena dia sadar ayahnya tidak sekaya ayah Wina.

"D-Daann..." Suaraku bergetar, tubuhku lemas dan berusaha berpegangan pada lengan Wildan.

"Vi? Ada apa? Kenapa?" Wildan panik menoleh ke arahku yang semakin pucat dan berkeringat dingin. Pandangan Wildan turun ke area lantai di bawahku. "Darah!"

Rupanya aku mengalami pendarahan. Aku tak ingat apalagi yang terjadi setelah itu karena aku sudah pingsan.

Saat aku membuka mata, Wildan ada di sebelah ranjang rawat. Bahkan tanpa aku memandang sekeliling, aku sudah paham bahwa ini kamar rumah sakit. Bau cairan antiseptik dan berbagai aroma khas rumah sakit sudah kuhafal karena aku pernah menunggui ibu selama dua minggu di rumah sakit sebelum Beliau wafat.

"Syukurlah lu udah bangun, Vi." Wildan tampak penuh rasa syukur di wajahnya yang menyunggingkan senyum. Matanya basah? Apa dia sempat menangis? Sudah berapa kali dia meneteskan air mata untukku?

Ketika aku berusaha duduk, Wildan menahan dan menyuruhku untuk tetap berbaring saja. Aku pun patuh, karena memang tubuhku terasa sakit, terutama di daerah perut dan di bawah sana. Segera aku teringat, aku mengalami pendarahan!

"Dan! Anakku! Anakku!"

"Masih ada." Wildan meraih tanganku dan menepuk lembut. Seketika aku menghembuskan napas lega mendengar ucapan dia. Anakku terselamatkan. Mendadak, hatiku merasa haru-biru tak karuan hanya karena kecemasan akan kehilangan anakku. Ternyata begini rasanya seorang ibu ke anaknya.

Tiba-tiba, pintu ruang rawat inapku dibuka, dan beberapa orang pun masuk. Aku sudah bergidik ngeri. Itu pasti keluarga Wina yang akan menganiayaku lagi. Oh tidak, jangan-jangan mereka ingin memusnahkan anakku? Tidak! Jangan! Tidak boleh!

Mereka boleh menganiayaku tapi tidak anakku!

"Gimana? Udah siuman?" Seorang perempuan paruh baya mendekati ranjangku. Wajahnya ayu dan teduh, sangat berbeda dengan wajah ibunya Wina. Apakah mereka bukan dari keluarga Wina?

"Udah, Ma," sahut Wildan sambil tersenyum senang. Ma? Dia mamanya Wildan? Sungguh?!

Lalu, lelaki di belakangnya?

"Biarkan dia istirahat dulu, Wil." Lelaki berambut perak itu memperdengarkan suara dalam dan berat, penuh wibawa.

"Iya, Eyang." Wildan menyahut dan membiarkan aku ditemani oleh ibunya, sementara dia dan orang yang dia panggil Eyang pun beranjak ke ruang tamu kecil di ruang rawat inapku. Heh? Ini kamar VIP? Kenapa aku baru sadar?

Dan orang tua berambut perak itu...

Eyang?

Embah?

Kakek?

Dia kakeknya Wildan? Tuan Benny Hastomo yang terkenal itu? Pemilik Grup Astama dan merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia! Itu orangnya? Masih terlihat gagah dan juga tinggi, seolah rambut dan jenggot perak itu hanya hiasan ala pemain cosplay saja. Beliau tidak terlihat tua renta seperti bayanganku.

Dasar aku ini memang kuper, jarang menonton acara televisi dalam negeri, sampai tidak tau siapa tokoh terkenal di negeriku sendiri.

"Nevia..."

Aku langsung menoleh ke arah suara sejuk di sebelahku. Ibunya Wildan sungguh menentramkan hati. Dari melihatnya saja aku sudah bagai diguyur embun surga. Tampaknya Beliau seorang ibu yang bersahaja dan lembut. "Ya, Tante?" Kudengar suaraku serak dan tak begitu jelas.

Ibunya Wildan tersenyum membuat hatiku damai seketika. Hebat sekali efeknya. Aku jadi rindu ibuku sendiri. Mereka berdua punya keteduhan yang sama. Keteduhan dan kesederhanaan yang menentramkan jiwa.

"Jangan panggil Tante, ah..." Beliau mengerling ke aku. Aku makin rindu pada ibu. "Kamu kan sudah termasuk anakku."

Langsung saja aku termangu. Apa tadi Beliau bilang? Anak? Aku... anak Beliau? Ini maksudnya bagaimana, yah? "Ta-Tante?"

"Gimana kalau panggilnya Mama aja?" Tiba-tiba Wildan sudah muncul di belakang ibunya diikuti dengan kemunculan kakeknya yang menatapku lekat. Ya ampun, aku jadi super grogi ditatap salah satu orang terkaya di Indonesia!

Ibunya Wildan langsung saja mencubit anaknya yang malah cengar-cengir tak tau malu. "Kamu ini... keterlaluan, Wil!"

Tapi Wildan tetap saja cengengesan karena wajah ibunya juga tidak menampakkan amarah sama sekali. Lalu, Beliau menoleh lagi ke arahku sambil berkata, "Setelah ini, jaga kandungannya, yah Nevia. Makan yang bergizi juga. Nanti biar Wildan yang urus semua."

Aku masih saja melongo setolol-tololnya, tak paham apa-apa. Mereka sebenarnya sedang berusaha bicara yang bagaimana kepadaku, sih? Maka, aku berikan tatapan penuh tanya ke Wildan yang sudah ada di sebelah ranjangku, berdiri di dekat ibunya.

"Kakek dan Mama sudah menerima kamu, Vi sayang..." Wildan terkekeh senang.

Mataku secara otomatis mengarah ke ibunya Wildan, sekaligus ke Tuan Benny. Ibunya Wildan tersenyum lembut, dan Tuan Benny tetap diam tanpa ekspresi apapun. Apakah orang-orang kaya memang senang bertingkah misterius begitu?

"Tante? Kakek? Aku-"

"Elu bisa panggil Mama Eva ama Eyang Ben aja, Vi. Jangan Tante atau Kakek lagi!"

*******

Satu jam berikutnya, aku masih termenung di kamarku sendiri. Wildan masih menungguiku karena aku masih satu rumah sakit dengan Wina. Dia kuatir keluarga Wina akan menyakiti aku jika aku tidak dijaga.

"Dan? Ini gimana, sih? Gue kok bingung, yah?" Aku minta Wildan menaikkan sudut ranjangku agar aku bisa sedikit duduk.

"Yang mana yang masih kamu bingungin, sih?" tanya Wildan sambil dia menekan tombol pengontrol ranjang agar bagian atas bisa mulai naik sedikit membuatku lebih nyaman.

"Yah... semua tadi! Ibu elu, kakek elu... kok mereka tau-tau ada di sini?"

"Karena gue yang manggil, lah! Masa sih mereka kayak jelangkung yang langsung datang tanpa diundang?" Wildan senyum jahil ke aku.

Kuambil jeruk mini di atas meja sebelah ranjang dan kulempar ke Wildan. "Jangan bercanda, pe'ak!"

Wildan malah terkekeh-kekeh sambil memungut jeruk yang baru kulempar ke arahnya tadi. "Lu masih aja galak, sih sayang? Udah mau jadi bini gue, loh!"

Aku melotot sejadi-jadinya. "Lu mau nih seisi keranjang gue lempar ke elu semua, heh?" Satu tanganku sudah bersiap mengambil keranjang buah yang ada di atas meja.

"Haha, hei, hei, santai dong, ah! Kita bicarakan manis-manis, oke?" Wildan buru-buru meraih keranjang buah itu dan mengamankan ke meja lainnya yang jauh dari jangkauanku.

"Brengsek lu. Dari tadi emangnya gue kurang manis nanyanya, heh? Buruan jelasin!" Aku mengelus-elus perut buncitku. Apakah yang di dalam sana sudah mulai tenang kembali? Kekuatiranku mulai berkurang.

Wildan menarik sebuah kursi dan meletakkannya di sebelah ranjangku. "Gue udah kasi tau ke Mama ama ke Eyang sewaktu elu masih di meja operasi untuk ngurus anak kita bentar. Iya, pertamanya mereka emang kaget, syok, tapi kemudian mereka mau dengerin apa mau gue."

Ternyata aku sempat dibawa ke ruang operasi? Tapi sepertinya aku tidak merasa ada bekas jahitan di perutku? Apa hanya pemeriksaan vaginal saja, yah? Nanti saja aku tanyakan kalau tidak lupa. "Emangnya apa yang elu mau?"

"Berenti tunangan ama Wina dan kawinin elu. Susuai ama harapan gue dari dulu." Wildan menampilkan wajah penuh bangga, seolah-olah dia baru saja mengucapkan kalimat mulia. Cih!

Aku terdiam sejenak. Ini benar-benar diluar dugaanku. Dan, hal seperti ini juga tidak membuatku tersanjung atau bangga. Aku masih saja merasa bersalah pada Wina. Dan justru sekarang tambah merasa bersalah karena aku menyebabkan rusaknya pertunangan Wildan dan Wina.

Lalu, sebenarnya mau aku itu yang bagaimana, sih?

Aku... Aku tak punya kepercayaan diri membangun sebuah hubungan rumah tangga dengan membuat pihak lain menderita dan sakit. Aku lebih suka mengalah dan berharap Wildan kembali pada Wina saja agar rasa bersalahku berkurang drastis.

Ketika aku kemukakan semua pemikiranku ke Wilda, dia berseru tidak mau. "Gilak lu, yang! Ogah! Gue udah mati-matian begini demi elu! Kagak! Pokoknya kagak! Elu musti yang jadi bini gue! Titik!"

"Tapi, Dan... gue yakin Wina bakalan nerima elu walo elu sempet khianati dia. Percaya deh ama gue. Dia bakalan masih tetep cinta elu dan mau jadi bini elu. Gue gak bisa jadi bini elu!"

"Lu kenapa sih keras kepala banget, Vi?"

"Ini bukan keras kepala, Dan! Ini logika yang benar!"

"Lu tau, gak? Saat ini Eyang lagi ketemuan ama pihak Wina. Eyang lagi berusaha batalin pertunangan gue ma Wina. Lu bisa gak lebih menghargai apa yang Eyang lakuin demi kita?"

"Demi kita?" Mataku memicing sangsi ke Wildan. "Demi kita atau cuma demi elu, Dan?"

"Errghh!" Wildan tampak jengkel. "Emangnya lu kagak kepingin jadi bini gue? Lu kagak kepingin anak kita punya masa depan? Lu kagak pengen hidup tanpa ketakutan andai keluarga besar Wina ntar targetin elu?"

"Gue emang kepingin selalu selamat sentosa ama anak gue, Dan! Tapi gue kagak mau kalo harus jadi bini elu! Gue kagak yakin cinta gue segede kayak cinta Wina ke elu!" Aku tatap tegas mata Wildan yang mulai putus asa.

Tidak hanya matanya, bahkan sikapnya sudah menunjukkan tanda-tanda putus asa. Atau... marah? Dia sudah meremas dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Dia berjalan hilir-mudik gelisah di dekatku, sesekali tangannya mengepal dan memukul sandaran kursi meski tidak keras.

"Dan, lu kalo mo ngerusak properti orang, mendingan jangan di sini, deh! Gue gak demen liat lelaki yang main pukul sembarangan." Aku memang kesal melihat tingkah Wildan yang seperti tidak terkendali.

Tiba-tiba, kakeknya Wildan, Tuan Benny Hastomo yang top dan super kaya itu masuk ke ruanganku. Wajahnya sedatar tadi. Tante Eva, ibunya Wildan juga ikut di belakang Beliau. Mereka berdua masuk dan berdiri di dekat ranjangku.

Tante Eva memegang lengan anaknya, Wildan, sambil berkata lembut, "Ayok ikut Mama sebentar. Biar eyangmu yang bicara dua mata dengan Nevia."

Wildan tampak bingung. "Ada apa, sih Ma?" Lalu dia beralih memandang ke kakeknya. "Eyang, ada apa? Kenapa aku harus keluar?"

"Ayok, Wildan. Kita keluar sebentar aja sampai eyang kamu selesai berbincang sedikit dengan Nevia." Tante Eva menarik lengan anaknya.

"Tunggu bentar, Ma. Ini sebenarnya ada apa? Memangnya apa yang mo diomongin ama Nevia? Kenapa aku nggak boleh ikut tau di sini? Eyang, tolong biarin aku tetap di sini, yah Eyang?" Wildan masih menolak tarikan tangan ibunya.

Tuan Benny Hastomo menoleh sedikit ke arah cucunya. "Ikut ibumu dulu dan jangan banyak melawan. Jangan buat Eyang marah."

Wildan menyerah dan bersedia digiring keluar dari kamar oleh ibunya. Kini, hanya ada Tuan Benny dan aku saja di ruangan bercat oranye pastel ini. Jantungku berdebar kencang. Kira-kira apa yang akan disampaikan oleh orang terkaya di Indonesia ini?

avataravatar
Next chapter