3 Ilusi 3

[] Kebodohan Hakiki []

Di suatu malam, seusai aku bercinta dengan Wildan, dia memeluk erat tubuh telanjangku. Di luar hujan deras mengguyur bumi. Aku sebenarnya risih, mencoba lepaskan dekapan dia.

"Biar gini aja, Vi." Baru kali ini dia mau memanggil aku menggunakan nama asliku. Iya, namaku kan Nevia.

Via atau Vi hanya panggilan dari teman-teman jaman sekolah. Kalau di kampus, aku seringnya dipanggil Nev.

"Ogah. Lu bau kecut."

"Tahan napas, gih!"

"Gue bisa mati, dong gublu!"

"Ntar gue kasi napas buatan, lalu gue entot lagi."

"Bangsat kali niat kau."

"Hahaha." Dia tertawa, masih mendekapku. Mulutnya ada di atas ubun-ubun kepalaku. "Vi, gue pengen kayak gini selamanya. Bisa, gak yah?"

"Enggak. Lu musti kawin ma Wina. Itu udah ada di skedul hidup elu, tong!"

Aku bisa rasakan desahan kuat napas Wildan di atas kepalaku. "Gue harus gimana biar gue bisa batalin pertunangan gue ma Wina?"

"Gak usah. Lu goblok kalo batalin."

"Tapi, Vi, dia bukan cewek yang gue mau. Bukan dia yang ada dalam bayangan gue untuk habiskan sisa umur gue."

"Gak usah sok puitis, mual gue dengernya."

"Vi..." Wildan diam sejenak. "Gue cuma sayang elu. Dari dulu. Dan gue udah ngaku ke elu kalo gue suka elu sebelum gue kenal Wina."

Gue makin risih mendengarnya. Kalimat Wildan, aku yakin itu jujur. Tapi karena itu, malah membuat aku semakin didera rasa bersalah. Mendingan Wildan tak perlu berujar begitu. Kalau dia brengsek, rasanya itu lebih ringan bagiku untuk menjalani hubungan sebrengsek ini. Aku tak mau dikejar rasa bersalah terus-menerus. Aku kehilangan gaya cuek aku yang biasanya.

Dan salah siapa itu?!

Aku sendiri.

Aku tau Wildan ternyata adalah kakak kelas jaman MOS SMA aku yang dulu sering menghukumku aneh-aneh, bahkan acara jalan malam dengan penutup mata, konon tanganku digandeng oleh Wildan sebagai alasan kakak kelas yang tidak mau adik kelasnya celaka di acara jurit malam.

Yang aku tidak bisa paham, apanya dari aku ini yang lebih dari Wina? Soal cantik, semua orang dengan mata normal pastilah mengatakan Wina lebih cantik dariku. Latar belakang? Mana ada putri seorang pengusaha sukses bisa kalah dari putri pemilik katering kecil macam aku? Aku jelas yang kalah!

Bodi? Yah, aku akui aku ini cuma punya kelebihan satu pasang aset saja jika itu berurusan mengenai bodi. Iya, payudaraku. Lebih besar ketimbang punya Wina.

Makanya aku menolak percaya waktu Wildan bilang dia cinta aku apa adanya. Bullshit! Taik kebo! Pasti dia ngebet ke aku hanya gara-gara payudaraku semata.

Dasar lelaki bedebah mesum!

Ini juga bukan kemauanku memiliki ukuran 36-C. Wina mungkin 36-A. Tapi, Wina kan manis! Wina juga tajir! Setia, kalem, elegan. Ah... pokoknya segala yang diinginkan wanita untuk dipunyai! Dan segala yang diinginkan pria untuk dijadikan pendamping hidup.

"Gue gak mau terus-terusan gini ma elu." Suaraku mulai kalem. Capek juga jutek sepanjang hari. Apalagi tadi suaraku nyaris habis gara-gara banyak mengerang. Shit!

"Please, jangan tinggalin gue, Vi. Gue gak bisa kalo gak ada elu. Lu adalah sumber nyawa gue."

Aku tengadahkan kepala, menatap mata dia walau agak susah karena gelapnya kamar. Hanya ada sinar lampu lorong depan dan balkon yang menyeruak masuk, dan itupun sedikit saja. "Gak usah lebay! Lu gak tau gimana nyeseknya hati gue gegara ngerasa salah ke Wina. Mo sampe kapan kita gini? Gue pengen bahagia juga dengan orang yang hanya fokus ke gue aja."

Aku lihat Wildan gelengkan kepala. Wait! Apa itu air mata? Wildan menangis? Please, aku belum ingin tertawa geli saat ini.

"Dulu gue sempet kehilangan elu, Vi. Dan akhirnya takdir baik banget nemuin kita lagi di kampus. Gue waktu itu pengen teriak se-alay mungkin pas liat elu. Tapi elu cuek banget. Saban gue deketin elu, malahan Wina yang nyahutin gue mulu."

"Hahah!" Akhirnya aku tertawa juga, meski lirih. Yah, ini memang lucu, kok! "Itu tandanya elu emang bukan jodoh gue."

"Tapi kita bisa sampe kayak gini-"

Aku tatap tajam Wildan. Semoga dia menangkap sorot mataku. "Ini karena gue waktu itu lagi iseng dan gue jengah ama rengekan elu mulu! Dan elu... elu sempet ngambil kesempatan waktu di pesta ultahnya Rivan."

Memoriku melesat ke momen ulang tahun teman kampusku, Rivan. Kami semua mulai menggila dengan berani memesan minuman alkohol tinggi. Tentu saja untukku yang waktu itu masih lugu, aku langsung roboh. Dan sewaktu aku bangun, aku sudah di sebuah kamar hotel bersama Wildan.

Saat itu, Wildan berbohong bilang dia sudah memotret semua lekuk tubuhku waktu telanjang dan waktu disetubuhi dia saat tak sadar. Dan aku percaya. Setelah itu, aku susah menolak ancaman Wildan untuk bersenggama. Dia tadinya memakai ancaman punya foto-foto telanjangku.

Tapi lambat laun, aku pun tau itu hanya akal-akalan Wildan saja agar terus bisa menyetubuhiku. Dan bodohnya, aku jadi terbiasa dengan semua sentuhan dia, hingga aku susah menolak apapun kemauan libido dia, meski tau tak ada foto apapun sebagai ancaman.

Semenjak itu, aku mulai jadi pribadi yang lebih brengsek dari sebelumnya. Aku menutup akal sehat dan nuraniku untuk bisa merasakan kenikmatan yang Wildan tawarkan kapanpun dia ingin.

Dia juga menyarankan aku suntik KB. Jadi, bukan dari awal aku ini tercipta brengsek. Wildan lah yang menciptakan aku begini. Dia mengambil keperawananku. Dia yang pertama mengenalkan seks ke aku.

Ah, cowok bajingan!

Sayangnya, aku susah lepas dari si bajingan itu.

"Gue minta maaf, Vi, kalau dulu gue bohong ke elu soal foto. Gue... gue gak tau lagi musti pake jurus apa untuk bikin elu jadi milik gue. Segala rayuan udah gue keluarin ke elu, tapi lu malah makin menjauh. Itu bikin gue frustrasi. Maaf, yah Vi." Pelukan Wildan makin mengetat. Wajahku makin menempel ke dada dia.

"Lu emang harus gue mutilasi sesudah lu minta ampun ke Wina. Lu udah ngerusak gue, ngerusak Wina juga. Abis lu gue mutilasi, gue siap dimutilasi Wina, walo gak yakin dia sanggup sekejam gue." Ini aku sedang berkhayal apa, sih? Aku kan bukan Yuno Gasai, cewek tukang jagal di anime Elfen Lied.

Wildan kecup ubun-ubunku, lembut banget. "Tapi gue gak menyesal karena mencintai elu, Vi. Yang gue sesali hanya kepengecutan gue gak berani jujur ke Wina kalo gue cinta ke elu."

"Mulut lu dah macem taik wedus aja, sok-sokan bilang cinta gue, terpaksa ke Wina, blablabla... toh lu mau juga disodori meki dia. Cih!"

Aku tadinya berharap Wildan bakalan tergelak seperti biasanya. Tapi ini... "Maaf. Iya, maafin gue, Vi. Gue emang lemah. Gue gak mampu nampik saban Wina merangsang gue. Gue emang payah. Hati gue dimiliki elu walo tubuh gue dimiliki Wina."

"Halah! Basi! Kimak lu!" Aku jadi jengah dan lepaskan diri dari dekapan dia dan beringsut memunggungi dia. Namun, Wildan tetap saja memeluk, meski dari belakang.

"Iya, maaf. Semoga dalam waktu dekat ini gue bisa berani mutusin Wina."

Aku terdiam. Biasanya aku mengomeli dia untuk tetap ke Wina, karena dengan begitu rasa bersalahku bisa agak berkurang. Ah, aku benar-benar sahabat brengsek.

Hari ini aku bertolak dari Bali, kembali ke kotaku. Wildan masih harus tinggal untuk beberapa hari lagi karena pekerjaan dia. Ah, itu bukan urusanku, ya kan?

Sesampainya di apartemen, sudah malam. Wina menyambutku dengan kehangatan seperti biasanya kalau kami habis berpisah sekian hari. Aku buka koper berisi oleh-oleh asesoris. Dia tertawa keras sewaktu melihat penis kayu yang kubeli. Tawanya kian keras membahana saat menemukan dildo getar bergerigi di balik tumpukan bajuku. Aku ikut tertawa.

********

Sebulan sudah berlalu. Aku mulai sibuk. Kantorku kebanjiran orderan iklan. Kadang aku harus lembur hingga menjelang tengah malam. Badan rasanya remuk setiap malam.

Kesibukan itu lumayan menyita konsentrasiku. Dan itu artinya aku bisa mengalihkan pikiran dari Wildan, atau rasa bersalahku.

Siang ini di kantor, Pak Manajer sudah berkoar-koar menanyakan draft yang sedang aku kerjakan. Aku bergegas menuju ke kubikel aku untuk mengambil draft desain tersebut di folder bag. Namun, ketika hampir sampai di kubikel, aku merasa tubuhku terasa ringan, malayang, dan semua jadi berputar. Apa sedang ada gempa dadakan?

Setelahnya, aku tak ingat apapun.

Ternyata aku pingsan. Aku dibawa ke ruang Pak Ketua Tim. Mbak Rinda sibuk mengipasi aku sambil mendekatkan minyak angin ke hidungku. Aku pun tersadar. Melihat sekelilingku, ada beberapa rekan kantorku yang menatap cemas ke arahku.

"Lu pingsan, Dek. Kecapekan, yah?" Mbak Rinda tersenyum menyejukkan. Atau ini karena AC ruangan Pak Rofiq?

Aku mulai bangkit pelan-pelan dibantu Mbak Rinda. "Iya kayaknya, Mbak," sahutku sangat lirih karena masih lemas. Tapi pasti Mbak Rinda dengar.

"Ho-oh, lu kan sering lembur akhir-akhir ini, Nev." Bang Fandi turut menyahut. Yang lain pun manggut-manggut. Semua meyakini bahwa aku sungguh kelelahan.

Karena itu, aku pun disuruh pulang oleh Pak Rofiq. "Lu gak guna di sini saat ini, Nev. Daripada bengong nyusahin kita-kita, mendingan lu pulang aja, gih!"

Aku tau Beliau tidak bermaksud kasar. Itu adalah ungkapan sayang dia padaku, bawahannya. Cuma karena dia mungkin terlalu 'tsundere', makanya dia pakai kalimat pedas begitu. Padahal, sebenarnya dia kasihan padaku saja. Kalian tau makna 'tsundere', kan?

Sore, sewaktu Wina pulang kantor, dia heran melihatku sudah leyeh-leyeh di depan televisi. "Tumben jam segini lu udah pulang, shay?"

Aku mengangguk tanpa kasi kata-kata. Memangnya mau dijelaskan apa? Soal aku pingsan di kantor? Duh, itu terdengar kekanakan dan juga lemah. Malu lah!

Wina tanpa ke kamar, dia justru mendekatiku, tersenyum sambil sentuhkan tangannya ke pipiku, bermaksud menggoda. "Ciee... yang udah mulai san-" Kalimat dia terhenti. Wajah lucunya berganti 180 derajat dengan wajah cemas. "S-shay... lu kok panas banget?!"

"Hah?" Aku buru-buru pegang leherku. Astaga! Kenapa sepanas ini?!

Wina panik. Dia sampai ingin menelepon ambulans jika tidak buru-buru aku cegah. Itu terlalu berlebihan, ya ampun! Aku kan tidak kolaps atau patah kaki. Untuk apa ambulans? Usaha terakhir Wina yang panik : memanggil Wildan agar segera datang.

Muka Wildan tak kalah panik dengan pacarnya ketika tau aku mengalami panas tinggi. Dia langsung main bopong aku begitu saja meski aku sudah berteriak-teriak minta diturunkan. Wina mengikuti dari belakang. Bahkan Wina yang bukakan pintu mobil Wildan agar aku bisa dimasukkan ke jok belakang bersama Wina menuju ke rumah sakit.

Sejam kemudian, aku sudah ada di salah satu kamar rumah sakit. Kamar VIP pula. Wina yang memaksa agar mengambil kamar itu. Dia bilang, dia yang akan membayar, dan aku dilarang protes. Ya ampun, beb... jangan begitu. Rasa bersalah aku jadi makin menumpuk kalau begini perlakuanmu, beb.

Bantal, mana bantal? Aku ingin menangis. Sekaligus menghujat diriku sendiri.

Dan aku makin ingin menghujat diri sendiri ketika salah satu dokter yang memeriksaku berkata ke Wina dan Wildan, kalau aku tak cuma kelelahan dengan kondisi drop, tapi juga aku... hamil.

IYA!

AKU HAMIL!

H-A-M-I-L.

ASTAGANAGA!

Aku kurang menghujat diriku apalagi?! Sedari tadi benakku sudah penuh akan caci maki dan hujatan ke diriku sendiri. Penuh! Sampai nyaris luber keluar dari otak! Meleleh seperti cairan dari kepala zombie. Oke, itu menjijikkan.

Wina dan Wildan melongo sewaktu dokter mengabarkan berita heboh tersebut. Tapi kemudian Wina mengganti wajah melongonya dengan wajah bahagia. Sangat bahagia. Dia peluk aku erat-erat. Aduh, beb! Awas kena selang infusku!

Sementara Wina memelukku, aku melirik ke Wildan. Dia mematung di tempatnya. Mampus! Mampus kau, lelaki durjana! Eh, aku juga ikut mampus, dong! Aduh, ini bagaimana?!

"Shay! Duuhh... gue ikut seneng, yah shay! Waahh! Lu bentar lagi punya beibih. Shay! Waahh... ini beneran spektakuler!" Wina sudah sumringah tak terkira. Wildan masih diam jadi patung. Semoga benar-benar berubah jadi patung saja dia! Pria laknat!

Ah, aku pun juga laknat.

Yeah, kami berdua sama-sama laknat, patut dimutilasi Wina.

"Ternyata diam-diam lu punya boyfriend, yah shay?" Wina masih dalam aroma euphoria tak jelas hanya karena aku hamil. Astaga, yang hamil siapa, yang girang siapa. Andai kamu tau ini dari benih siapa, aku tak yakin kamu masih bisa senyum menyilaukan begitu, beb. Huft!

Gusti, skenario apalagi ini?!

"Hah? Boyfriend?" Aku melongo mirip orang tolol.

Wina tersenyum seolah baru saja memergoki aku yang nakal. Duh beb, aku nakalnya dengan pacarmu! "Ayo lah... kasi tau gue, shay... siapa cowok itu?"

Pandanganku sudah gelisah ke sana-sini. Bahkan aku sempat menangkap raut pias Wildan. Ah, bangsat. Ternyata dia ciut setelah tau aku hamil begini. Lelaki bajingan! Cuma bisanya merusak saja!

Aku gigit kuat bibir bawahku, menunduk lesu, bingung harus menjawab apa. Aku yakin Wildan belum siap andai aku sebut nama dia di depan Wina. Si bajingan itu memang brengsek!

"Gue... errr... mungkin... mungkin..." Aku tengadahkan tatapan ke Wina yang setia menunggu jawabanku. "Engh... gue... gue gak tau, beb."

Untung saja dokter dan perawat sudah tak ada di kamar ini atau aku bisa disangka perempuan binal, jalang betina liar yang hobi pesta seks sampai tak tau siapa penderma benih di rahimku.

Nyatanya, aku tau! Aku tau dengan sangat jelas siapa biang kerok yang menempelkan bernihnya ke diriku! Itu karena selama beberapa bulan ini, aku hanya melakukannya dengan Wildan dan Wildan saja!

Dan, bodohnya... dikarenakan pekerjaan yang menumpuk, aku benar-benar lupa untuk suntik KB seperti biasanya!

BODOH!

Wina memaklumi aku yang dilanda kebingungan. Mungkin dia berpikir ini karena aku clubbing di Bali. Eh, kemarin di Bali aku sempat main ke klub tidak, yah? Rasanya sih tidak. Oh, aku sempat umbar dusta ke Wina kalau aku beberapa kali ke club malam di daerah Kuta. Dasar mulut jalang! Bisa-bisanya berdusta begitu hanya untuk membuat iri Wina. Hanya untuk terlihat keren di mata Wina yang hebat.

Parahnya lagi, aku juga menebar dusta kalau aku clubbing dengan para bule. Astagabonar! Aku waktu itu berpikir apa sih sampai membual macam begitu?! Boro-boro ke club, ke kafe saja cuma sekali. Itu pun dengan Wildan.

"Apa ini dari bule yang clubbing ma elu, shay?" bisik Wina sambil naik-turunkan alis. Stop! Itu cuma bualanku, beb! Bagaimana kalau Wildan—terlambat. Dia sudah menganga menatapku. Dia pasti mempercayai ucapan Wina yang berasal dari bualanku. Wildan pasti mengira aku benar-benar sempat ke club sebelum dia datang ke Bali menyusulku.

Arrghh!!!

"Bu-"

"Gue gak sabar pengen liat anak elu, shay. Bulenya blonde atau enggak, shay? Atau malah red-head? Awwhh! Itu keren, shay! Ya kan, honey?!" Wina menoleh ke Wildan yang berdiri di belakang dia.

Tergagap, Wildan menyahut, "Ah! Eh... entah, dear."

Aku cuma bisa hela napas. Sumpah, ini terlalu gila.

Dokter memastikan bahwa janinku berumur sekian bulan. Dan untunglah tak ada siapapun sewaktu dokter menyambangi kamarku untuk mengabarkan umur janin di perutku.

Setelah aku telusuri usia si kecil di perutku, ini tepat ketika Wina mengajak kami bertiga clubbing usai aku punya tato baru. Ah, berarti ini sungguh anak Wildan. Dan aku makin pusing memikirkannya.

Hati dan otakku bergejolak, saling ingin mendominasi memberikan keputusan. Aborsi. Atau biarkan tumbuh. Otakku maunya aborsi. Tak ada guna mempertahankan ini yang hanya akan membuat kian runyam semua hal. Wildan juga tampaknya masih gamang dan seperti tak ingin bertanggung jawab. Tapi hatiku... lantang menyerukan mengenai kemanusiaan blablabla.

Ah, shit!

avataravatar
Next chapter