2 Ilusi 2

[] Sahabat Brengsek []

Siang ini aku sedang menonton drama korea di laptop yang kusambungkan ke layar televisi di ruang tengah. Di tangan ada semangkuk makaroni panggang keju buatanku sendiri. Begini-begini, aku juga bisa memasak beberapa jenis camilan, loh!

Memasuki episode 5 drakor yang aku tonton, Wina keluar dari kamarnya. Mukanya kucel, begitu pun dengan rambutnya, meski kecantikan tidak luntur walau segembel apapun tampilannya. Kadang aku iri akan itu. Andai aku tetap cantik meski baru bangun tidur.

Iri soal begini boleh, kan?

Ah, tapi bukannya Wildan sering memujiku, seperti kemarin, "Lu cantik banget walo abis gue entot..." Ah setan, itu jelas beda! Pujian dari mulut Wildan lebih baik tidak perlu diambil hati, apalagi dipikirkan. Aku lekas usir ingatan mengenai itu dari otak. Ngawur saja membandingkan bangun tidur dengan paska disetubuhi.

Mendadak aku merasa tolol.

"Nonton apa, shay?" Wina hempaskan pantat ke sofa sebelahku. Ia menguap lebar sambil tutupi mulutnya ala princess elegan. Pasti dulu dia member sekolah kepribadian. Taruhan, ayo!

Aku tetap fokus ke layar. Untuk apa juga memandangi orang menguap lama-lama? "Lu kagak bakal demen. Ini bukan jenis menyek-menyek sukaan elu, beb."

Wina menoyor lenganku. "Jahat, ih! Gue bukannya demen yang menyek-menyek. Gue cuma suka yang bikin hati gue berdebar-debar, berbunga-bunga."

"Ini juga bikin hati gue berdebar-debar, nih!" sanggahku tak mau kalah.

"Ish! Itu sih berdebar-debar karena tokohnya lagi dikejar-kejar mo dibunuh, aelah!" Wina mencomot makaroni panggang di mangkukku. "Laper..."

Tanpa terusik, aku menjawab, "Yah, elu kalo mabok ngebo, sih! Berapa jam lu molor, cobak?"

Wina berpose seolah berpikir keras. "Eng... 12 jam?"

"13!" teriakku penuh semangat meralat ucapannya.

Wina pun terbahak. "Lama juga, yah! Ahahah! Yah, abisnya... honey gue ngasih pil fly to the moon ke gue semalem. Mayan lah, gue bisa nge-dance kuat sejam."

"Tapi abis itu lu tepar seharian lebih!"

Wina tertawa lagi. "Makan, yuk!"

"Ke mana?"

"Mana aja yang enak dan deket. Ayuk laahh!" Wina menarik tanganku.

Paksaan Wina itu susah ditangkal. Sudah terbukti dari tahun awal aku kenal dia. Dulu banyak yang tidak percaya Wina mau-maunya berteman denganku yang super ngaco, gila, selengean, dan berjiwa bebas. Bahkan aku ini kadang kasar kalau bicara. Yah, sebenarnya bukan kasar, sih, tapi hanya jujur apa adanya.

Cuma, aku sampai sekarang masih saja pengecut soal hubunganku dengan Wildan. Ya sudahlah! Biar saja itu tetap menjadi misteri kehidupan kami berdua yang tak perlu diketahui siapapun. Aku dan Wildan, maksudnya.

Silahkan kalian hujat aku, silahkan ludahi aku sebagai perempuan bejat tak tau diri tak tau malu, merusak hubungan sahabatku sendiri. Kalian pasti memandang aku layaknya aku ini tokoh antagonis di semua tayangan drama.

Iya, aku akui aku memang bangsat pengecut. Semoga aku bisa lekas menemukan cowok yang bisa membuatku melepaskan diri dari Wildan. Bukan artinya aku sudah terjerat amat dalam, sih! Atau... sudah?

Dari sekian lelaki yang aku ajak tidur, tak satupun dari mereka yang bisa membuat hatiku berdebar tak karuan. Bahkan, aku malas mengulang senggama kami saking tidak seleranya. Aku sakit, tidak sih? Aku bukan maniak seks! Sumpah! Bukan! Aku selama ini baru melakukan seks dengan... 5 pria, termasuk Wildan.

Tapi anehnya, kenapa Wildan bisa berulang-ulang setubuhi aku? Sampai tahunan pula! Harusnya aku sudah bosan. Harusnya aku tidak berselera lagi, seperti apa yang kurasakan ke pria lain yang pernah intim denganku.

Apa Wildan pakai pelet? Kubunuh dia kalau benar pakai pelet.

Beberapa hari berikutnya, aku ketemu Wildan di apartemen. Wina sedang pergi keluar kota, meliput acara fashion untuk majalah dia. Sebenarnya aku diajak, tapi karena aku punya tenggat kerjaan, aku pun menolak.

Dan Wildan tau, makanya dia sekarang udah ada di apartemenku, nyengir seperti orang sinting, dan langsung menyeret aku ke sofa untuk melampiaskan kebejatan dia.

"Gue kangen elu, sayang..." bisik Wildan sambil lucuti bajuku seenaknya.

"Erghh! Brenti panggil gue kayak gitu!" Aku masih risih dengan panggilan sayang dari Wildan. Rasanya aku tidak berhak menerima itu. Panggilan manis begitu lebih pantas untuk kekasih. Sementara aku ini... aku bukan apa-apa Wildan, selain hanya teman seks saja.

Tangan dan mulut Wildan sudah menjalar ke mana-mana. Aku sudah tak mungkin membendung kalau dia sudah seperti kerasukan demit mesum. Dan karena aku ini orangnya tak mau kalah, aku balik posisi, dia di bawahku. Enak saja ingin menguasaiku habis-habisan.

Dengan posisi demikian, aku kangkangi mukanya dan arahkan kewanitaanku ke mulut dia. Aku biarin dia melakukan gerakan eating-pussy, salah satu posisi yang biasanya membuat aku takluk. Wildan tau itu. Tak heran saban bersenggama dengannya, dia selalu lakukan itu, eating-pussy.

Sayangnya, tidak semua cowok mau melakukan hal demikian. Yah, mungkin juga seperti tak semua cewek sudi melakukan blowjob. Aku termasuk. Tapi terkadang aku mau, kok. Cuma tidak selalu. Dan Wildan tidak ambil pusing. Dia cuma inginnya menyetubuhiku.

Dasar lelaki brengsek.

Tak sampai lima belas menit, aku menyerah, berikan cairan bening kentalku ke mulut Wildan yang menyeringai. Sialan!

Dan selanjutnya, sudah bisa ditebak, kan? Yeah, Wildan memompa liangku macam orang kesurupan demit haus seks. Katanya karena kangen beberapa hari tak berjumpa denganku. Ah, taik kebo! Alasan saja itu!

Dia saja yang dasarnya maniak seks.

"Kenapa lu kagak ngintilin Wina aja, sih?" tanyaku, iseng, sesudah kami sama-sama klimaks dan terkapar di ranjangku. Ini tadi dari sofa, kami beralih ke kamar. Usah dihitung berapa kali aku mengalami orgasme. Itu... memalukan.

Wildan memelukku. Kami sama-sama bugil. "Kan gue udah bilang, gue kangen elu, makanya gue ke sini."

"Taik kebo. Bilang aja lu abis dari Wina lalu ke sini."

"Hee? Kok nada-nadanya kayak cemburu gitu, yah? Ahaha!"

"Eh bangsat! Gue kagak cemburu!" elakku tegas. Aku kan memang tidak sedang cemburu. "Gue ini paham otak geblek elu, gue paham kebejatan elu, maruk elu, makanya gue ngomong kayak tadi!"

"Duuhh... yang memahami gue banget. Gue jadi tambah cinta, nih!" Wildan makin menggodaku. Tuh! Tuh! Tangannya sudah mulai merayap ke sana-sini!

Wildan pun menginap di apartemenku. Yah, ini bukan sepenuhnya apartemen milikku, sih. Tapi dari pada repot mengatakan apartemen Wina dan aku, mendingan aku singkat aja.

Nah, Wildan kukuh menginap di apartemenku selama Wina pergi. Ini sudah hari ke-3. Dan selama itu pula kerjaan kami hanya seks, seks, dan seks saban kami berduaan di apartemen.

Astaga! Aku sudah tertular virus maniak Wildan kah? Euwh! Najis!

Bukannya aku pasrah-pasrah saja disetubuhi, tapi Wildan ini 11-12 dengan pacarnya dalam hal pemaksaan. Bukan berarti juga aku diperkosa, sih! Ah, pokoknya susah dijabarkan!

Hari ke-4, Wildan berkemas pulang ke apartemen dia sendiri. Dan apartemen itu dibiayai Wina. Mungkin Wildan juga ikut membayar, meski entah berapa persen. Kadang Wina menginap di sana, aku tidak perduli. Tidak juga cemburu. Biasa saja, kok! Toh aku bisa mencari lelaki lain andai aku merasa kesepian kalau Wina sedang menginap di tempat Wildan.

Wina ini aneh, menurutku. Kalau memang dia sudah sewakan apartemen untuk Wildan, kenapa tidak pindah ke sana saja dan hidup kumpul kebo dengan Wildan?

Alasan Wina, orang tuanya tidak memperbolehkan hal demikian. Masih jenis orang tua kolot, konservatif. Meski mereka sudah tau anaknya telah berhubungan intim dengan sang pacar, tapi tetap tidak membolehkan sang anak satu atap dengan pacarnya.

Ribet.

Tapi, yah... terserah juga, sih!

"Gue pulang dulu, yah sayang... jangan nakal di sini. Tunggu Wina pulang, jadilah anak manis." Wildan sudah berdiri di ambang pintu depan, bersiap pergi.

"Jangan panggil gue sayang!" Tapi protesku barusan malah direspon kecupan singkat di bibirku. Aku pun lumer, diam.

"See ya soon, love." Wildan lambaikan tangan, berjalan santai ke mobilnya.

Aku putar bola mata, jengah. Tapi kenapa pipiku terasa hangat? Sialan!

Setengah jam sejak Wildan keluar dari apartemen, mobil Wina datang. Ya ampun, betapa beruntungnya aku ini! Andai terlambat sedikit, Wina pasti memergoki Wildan yang ada di apartemen.

"Beb! Mana oleh-oleh buat gue, nih?" Iya, aku sahabat bajingan yang tak tau malu. I know. Hgh.

*****

Bulan berikutnya, giliranku yang harus berangkat atas nama pekerjaan. Harus berada di Bali selama dua minggu bersama 3 rekan.

"Have fun di sana, yah shay..." Wina melambai ke aku ketika aku mulai jalan ke boarding room. Wildan ada di sebelah Wina, senyum ke aku. Ah, bodo amat, batinku. Semoga di Bali aku menemukan cowok keren yang membuat momen ini lebih terasa bagai liburan ketimbang kerja.

Sampai di Bali, pihak kantor sudah menyediakan tempat untuk kami menginap. Hotel kecil di pinggir pantai. Meski fasilitas minim, tapi karena aku suka pantai, maka ini bagai surga bagiku.

Mbak Rinda tidur satu kamar denganku. Sedangkan Mas Topo dan Bang Zum di kamar sebelah. Klien kami ingin membuat syuting iklan di pulau dewata, makanya kami berempat sebagai tim utama, harus hadir mengawasi jalannya syuting agar sesuai dengan yang sudah kami rancang.

Di Bali juga kumanfaatkan untuk wisata kuliner, sekaligus memuaskan hobi fotografi kulinerku. Hasil jepretanku dipuji rekan-rekanku. Semua foto itu kupajang di blog fotografi milikku, juga aku upload ke Instagram-ku. Yah, siapa tau ada yang tertarik menyewaku untuk memotret makanan. Hasilnya lumayan, pastinya!

Di hari kelima, Mbak Rinda mengetuk pintu kamar mandi sewaktu aku masih asik bilas usai bermain pasir di pantai. "Dek, ada yang nyari."

Heran, aku bertanya-tanya kira-kira siapa sih yang mencariku? Karena penasaran, aku lekas sudahi bilas dan keluar untuk mencari tau.

"Wildan?" Dahiku berkerut. Sumpah, demi apa dia sekarang ada di sini? Di Bali?!

"Mbak tinggal beli makan dulu, ya Dek. Bye!" Mbak Rinda langsung pergi begitu saja keluar kamar. Eh buset! Kenapa malah aku ditinggal berduaan saja dengan bajingan satu ini?!

"Lu... lu ngapain-"

"Gue kangen elu."

"Ah, basi!"

Tiba-tiba Wildan memelukku, lalu mengecup kepalaku. "Gue kangen elu, en gue kagak lagi ngegombal."

Susah payah aku lepaskan diri dari dekapan Wildan. "Apaan, sih? Alay! Balik lagi aja lu! Lu di sini cuma ganggu gue!"

Wildan menggeleng sambil senyum. Brengsek, aku tau pasti dia merencanakan sesuatu.

Benar saja, tiba-tiba Mbak Rinda datang sambil bilang kalau dia diajak temannya menginap di hotel lain. Dengan kata lain, aku diseting supaya bisa satu hotel dengan Wildan. Dan satu kamar! @#%&*!@#$

Ketiga rekan kerjaku taunya Wildan pacarku, makanya mereka kompak mengalah dan membolehkan Wildan menginap bersamaku. Apalagi Mbak Rinda sampai mau berpayah-payah menghubungi teman dia di Bali agar bisa memuluskan Wildan satu kamar denganku. Sialan!

Tak perlu diherankan lagi kalau malam ini pasti Wildan sudah berkali-kali menyetubuhi aku. Sudah paham! Dia itu mesum! Maniak! Dan gobloknya, aku menerima begitu saja. Goblok! Goblok! Goblok!

"Emang Wina kagak curiga lu kagak ada di sono?" tanyaku pagi harinya sesudah kami bangun.

Wildan menggeleng sambil menuang kopi seduh. "Gue bilang gue ada urusan kantor. Dan emang beneran, kok!"

"Maksud elu?" Aku menatap bingung.

"Iya, gue ke sini emang karena ada urusan kantor beneran, kagak cuma alasan kosong. Nanti siang gue bakalan ke kantor cabang." Dia asik aduk kopinya.

"Tsk!" decihku.

Dia hampiri aku sambil membawa segelas susu coklat. Darimana dia dapat itu susu? Oh, beli sachet kemarin, pasti! Kok dia masih saja ingat kalau aku suka susu coklat hangat? "Nih. Sukaan elu."

Tanpa bicara apa-apa, aku ambil gelas dari tangan Wildan. Aku sesap, aduh nikmatnya segelas susu coklat hangat di pagi yang agak berawan dan dingin begini.

"Ntar sore temeni gue belanja baju ganti, yah! Gue cuma bawa dikit ke sini," ucap Wildan disela sesapan ke kopinya.

"Ogah!" tegasku.

*********

"Buruan pilih mana, kek! Lu gak usah sok-sokan niru Ande-Ande Lumut deh! Gue yang bakalan lumutan beneran nih nungguin elu milih!" seruku galak ketika kami berada di sebuah distro dekat Kuta.

Wildan tertawa renyah, macam ayam KFC. Iya, kuakui aku memang kalah, dan here I am, di sebuah distro menemani dia berbelanja baju santai.

"Lagian lu ini begok ato idiot, sih? Bisa-bisanya ke Bali cuma bawa baju kerja doang?!" cecarku belum puas.

"Kan ada elu yang bisa nemeni gue belanja kayak gini. Ya, kan?"

Bedebah!

Ingin sekali aku sumpal mulut sialan dia pakai sandal yang sedang kupakai. Dia selalu saja bisa mengembalikan kata-kataku meski sekasar apapun. Dia ini masokis atau apa, sih? Kenapa tidak mundur juga walau sudah aku ketusi atau aku kasari? Aku yakin kalau lelaki lain, pasti sudah tobat dan acungkan bendera putih bila mendapat perlakuan dariku seperti ini.

Esoknya, karena tak ada kegiatan apapun selama sehari penuh, alhasil aku dan Wildan malah jalan-jalan. Sialan! Sialan! Sialan! Kalimat hujatan penuh di otakku. Apalagi kalau bukan merutuki diriku sendiri yang mau-maunya mengiyakan ajakan dia!

Ditambah rekan-rekan senior aku mengobarkan semangat Wildan, mau tak mau aku bilang iya sajalah daripada aku mendapat bujukan lebih banyak dari mereka untuk menerima Wildan.

Kami berjalan-jalan ke pusat oleh-oleh dan kerajinan. Kadang Wildan memaksa menggandeng tanganku. Kadang kutepis, "Gue bukan anak kecil yang musti lu gandeng, geblek!"

Dan dia hanya meringis untuk menjawab, "Gue malah kuatirnya lu diculik bule, kan gue bisa rugi melongo di Bali kagak ada yang gue tindih."

Setan!

Aku membeli beberapa asesoris lucu khas Bali. Aku juga beli penis mainan dari kayu berhias pahatan hurup entah apa itu. Kubeli karena unik dan lucu saja. Wildan menertawakan kekonyolanku gara-gara membeli barang seperti itu.

"Biarin! Ini kan bisa buat onani gue kalo gue sendirian di apartemen!" bantahku saat dia puas tertawa.

"Kan elu bisa telpon gue kalo elu kesepian, ayang..."

"Najis!" Aku pun melangkah duluan meninggalkan Wildan yang masih terbahak. Yang ada, aku malu berat karena orang-orang sempat memperhatikan kami.

Tiba di sebuah toko sex toys, mataku berbinar-binar melihat beragam alat bantu seks berbagai macam dan jenis dengan warna-warna mencolok. Tanganku terulur ke sebuah dildo getar dari karet.

Wildan menahan tanganku. "Gak usah beli ginian. Kan ada gue."

Aku mendecih sebal. "Setidaknya gue pengen punya penis yang setia ke gue doang." Sambil aku acungkan sex toys di genggaman tanganku. "Lagian, punya elu kagak bisa getar, ya kan?"

Aku bisa mendengar suara helaan napas Wildan karena jawaban nyinyir dariku. Sepertinya aku berhasil menohok tepat ke pusat nurani dia. Semoga setelah ini dia insaf dan serius menyayangi sahabatku, Wina. Aku juga sudah pegal menahan rasa bersalah.

Kuharap ada hal yang bisa bikin Wildan melepaskan aku dan fokus ke Wina saja.

avataravatar
Next chapter