1 Ilusi 1

[] Pacar Bejat []

Langkah gontai aku, Nevia Anggita sudah mulai memasuki apartemen yang aku sewa bersama sahabat jaman kuliah aku. Aku, gadis berumur 25 tahun, bersiul-siul santai disertai telunjuk kananku memutar-mutar kunci mobil. Ini sudah lumayan larut malam. 22:34 WIB.

"Nev!" seru perempuan yang kujumpai di ruang tengah sedang menonton televisi saluran luar negeri.

"Hai, beb!" sahutku sembari lemparkan kunci mobil yang kumainkan di telunjuk tadi ke sebuah keranjang kecil dekat meja telepon. Kuhenyakkan pantat ke salah satu sofa di sana.

Wilona, sahabatku, bergerak mendekat ke sisiku. "Jadi tatonya?" Ia menatap antusias ke aku.

"Ho-oh!" jawabku mantap. "Nih!" Aku pelorotkan celana pendek jins biru belelku hingga terlihat paha mulus ala girlband Korea. Boleh dong memuji diri sendiri.

"Wuaahh! Edan! Khehehe!" kekeh Wina—panggilan akrab Wilona—sambil tangannya mengelus paha atasku, di mana terdapat sebuah tato baru. "Keren!" Aku hanya angkat alis akan pujian Wina. "Andai gue juga bisa bikin ginian..."

"Kenapa gak bisa?" Aku turut amati tato baruku. Kalau kalian pernah tau album musik Guns N' Roses, Use Your Illusions II, ada salah satu gambar di sana, di track Pretty Tied Up. Nah, itu yang kugunakan untuk menghiasi paha kanan atas. Alasannya? Keren. Plus, aku juga penggemar lagu-lagu grup band heavy-metal yang hits di tahun 90-an bervokalis Axl Rose tersebut.

Wina mendesah sebentar. "Ah, lu kayak kagak tau aja gimana ortu gue." Ia surut ke belakang, punggungnya bersandar ke sofa.

"Makanya jangan mau lahir di sono, lah!"

"Gilak lu, yee! Mana gue tau bakalan jadi anak mereka!" Wina mencubit lenganku. Yang dicubit malah terkekeh. Iya, itu aku.

"Lagian lu musti bersyukur, beb, lahir di keluarga tajir, gak kayak gue."

"Halah! Udah, deh! Stop bullshit macam tu." Wina kibaskan satu tangannya sambil tergelak. "Eh, hepi-hepi, yuk!"

"Clubbing?" Aku melirik penuh tanya.

Wina mengangguk. "Mumpung besok gue gak ngantor. Anggap aja ini merayakan tato baru elu, shay!"

Aku mendengus geli. "Etdah! Tato baru aja pake dirayain. Tau gini, gue mo bikin tato saban minggu, dah!"

"Hahah! Serah elu, shay! Pokoknya elu besok kagak usah ngantor, yah!" Wina meraih ponsel dia di atas meja, bersiap men-dial.

"Ah, geblek lu! Dikira gue yang punya kantor, apa?!" Kunaikkan lagi celana pendekku.

Wina hanya terkikik tak perduli, lalu tak lama dia sudah mulai bicara di telepon. "Iya, honey. Kamu buruan dateng. Setengah jam cukup, kan?"

Aku bangkit dari sofa. Dari nada mendayu Wina, sudah ketahuan sohibku sedang menelepon kekasihnya. "Gue ke kamar dulu, ganti baju."

Selang sejam lebih, kami sudah ada di sebuah klub malam terkenal. Aku, Wina, dan pacar Wina—Wildan Dimitri. Wina lebih suka clubbing bertiga saja daripada ramai-ramai.

Wildan adalah kakak kelas kami berdua saat di universitas, makanya kami bertiga akrab. Dan Wina menjadikan Wildan pacar karena menurutnya gabungan nama mereka keren : WilWin, atau 'akan menang'—kata Wina.

Terserah, deh!

Ditambah paras tampan Wildan yang sempat populer sebagai idola kampus, membuat Wina makin erat mengukuhkan niat menjadi pacar Wildan. Hubungan mereka sudah berjalan sekitar 3 tahun ini.

Wina bekerja di kantor Cosmopolitan Indonesia, sedangkan Wildan bekerja di kantor Arsitek ternama. Keduanya memiliki masa depan cerah bersama. Apalagi, Wildan sudah didesak Wina untuk segera melamar. Karena Wildan bersikukuh ingin mengumpulkan pundi-pundi uang terlebih dahulu sebelum siap menikahi Wina, maka pria itu melamar sebagai tunangan terlebih dahulu.

Sebenarnya Wina sudah menyampaikan bahwa pihak keluarganya yang akan menanggung semua biaya pernikahan mereka, tapi Wildan berkeras bahwa harus dia yang andil besar mengenai biaya apapun. Ini semua karena menyangkut harga diri lelaki. Wildan tak mau terlalu 'dibeli' oleh Wina dan keluarganya.

Sudah cukup banyak bantuan Wina pada Wildan, makanya dia tak mau menambah beban harga diri lagi tentang biaya pernikahan.

"Ini kita ngerayain tato baru Nevia, honey!" seru Wina keras-keras karena suara musik membahana di ruangan luas tersebut. Kami bertiga sudah duduk di salah satu bilik di lantai atas. Dari bilik itu, kami bisa melihat orang-orang asik berjoget di bawah sana.

"Tato baru?" beo Wildan. "Ckckck." Ia geleng-gelengkan kepala kepadaku. "Masih kurang yang di punggung tangan ama pergelangan tangan, tuh?" Dagunya menunjuk ke arah tato lamaku.

"Hahaha! Bacot lu, ah!" Kuhembuskan asap rokok kuat-kuat ke Wildan. Aku ulurkan tangan kiri, menunjukkan punggung tangan, di sana ada tato simbol logo Fairytail, sebuah anime Jepang kesukaanku. Tato itu berwarna merah muda. Mirip dengan yang dimiliki salah satu karakter utama di anime itu, Lucy Heartfilia. Padahal aku lebih mengagumi tokoh Erza ketimbang Lucy, tapi aku suka tato ala Lucy. Problem?

"Bah! Tato anak kecil!" ejek Wildan dibarengi seringai meledekku.

"Anak kecil apaan, woi!" Aku jelas saja tidak terima.

"Iya, elu! Anak kecil! Doyannya anime. Hahah!" Wildan masih meledek.

"Eh, kampang! Lu apdet soal anime dikit, napa? Anime sekarang justru kagak bagus untuk anak kecil! Anime sekarang isinya mesum, bunuh-bunuhan, mutilasi, ngerti gak elu, pe'ak!" Aku membela diri. "Lu kan mesum, lu tonton gih tuh anime hentai! Wina aja doyan nonton hentai, loh!"

Wina langsung memukul pelan lenganku. "Apaan, sih shay?" Ia terlihat malu aibnya dibuka.

Aku cuma terbahak meski dihujani cubitan Wina yang kesal.

"Trus, itu yang di pergelangan tangan kanan elu, itu dari anime apa?" goda Wildan belum berhenti.

"Eh, goblok! Ini kan logo Guns N' Roses!" Kutunjukkan tato di pergelangan dalam tangan kanan ke Wildan setelah menaruh gelas shot-ku.

Wildan terkekeh. Dia sebenarnya sudah tau, tapi senang saja menggodaku. Bedebah, memang!

"Honey, ayo nge-dance, yuk!" ajak Wina ke Wildan.

"Gih sono lu berdua joget uget-uget kayak biasanya. Gue mo ngecek email kerjaan gue dulu!" usirku sambil kibas-kibaskan tangan ke dua sejoli di depan mata. Aku bekerja di salah satu kantor adversiting, juga kerja sambilan sebagai fotografer kuliner dan terkadang menulis esai di beberapa media massa. Itu masih ditambah online shop yang menjual pernak-pernik berbau anime dan Kpop. Pokoknya apa yang bisa jadi duit cepat dan banyak serta halal, maka akan aku jalani. Ini menandakan aku orang yang gigih, ya kan?

Wina sering geleng-geleng atas banyaknya kerjaanku. Biasanya aku membalas keheranan Wina dengan ucapan, "Gue musti ngumpulin duit untuk gue sendiri biar gue kagak kelaparan, beb. Ortu gue kagak setajir ortu elu."

Dalam waktu setengah jam berikutnya, aku sudah sibuk dengan ponsel, memeriksa beberapa e-mail yang masuk. Ada beberapa pelanggan menanyakan parka dari Hypnosis Mic. Kebetulan fandom itu masih hits belakangan ini, apalagi sejak ada penambahan divisi baru. Ada juga yang menanyakan sweater BTS yang memasang logo Unicef—karena boyband Korea itu pernah diundang untuk berbicara di Unicef.

Aku membalas satu persatu e-mail yang masuk, termasuk e-mail dari rekan kerjaku yang menanyakan kesiapan kerangka iklan yang sedang kami kerjakan.

"Weew!" Wildan sudah kembali ke bilik bersama Wina. "Honey gue teler, nih!" Dia mendudukkan Wina yang mabuk, tak sadarkan diri.

"Lu apain bebeb gue, heh?" selidikku, melirik Wina yang terkapar di atas sofa bilik. Tak bergerak, malah mendengkur halus. Kebiasaan Wina jika mabuk, tidur.

Wildan terkekeh singkat. "Cuma gue kasi dorongan dikit doang, kok!" Lalu pria itu mulai mendekat ke arahku. "Sini kasi liat tato baru lu!" Tangan Wildan sudah menaikkan rok kulit sintetisku hingga paha kerenku terekspos apa adanya. "Humm... mayan bagus."

Aku menoyor dahi Wildan. "Mayan gundul lu!"

Belum sempat aku menurunkan rok yang dikesiap Wildan, pria itu sudah mendaratkan ciumannya ke tato baruku. Maka, aku cuma putar bola mata melihat aksi mesum Wildan.

Selanjutnya, kami berdua sudah saling belitkan lidah masing-masing dalam cumbuan panas. Tak pelak, Wildan memaksa pulang karena dia sudah tak tahan.

Sesampai di apartemen, usai merebahkan Wina ke kasur, Wildan asik bergulat dan bergumul bersama aku di kamarku, di sebelah kamar Wina.

Kami membara dengan birahi masing-masing. Aku tak ragu-ragu melenguhkan libido, meski Wina ada di kamar sebelah. Aku yakin sahabatku itu takkan terbangun meski ada bom meledak sekalipun, karena tabiat mabuk Wina memang begitu.

"Haanghh! Brengsek lu, Wil—anghh!" Damn! Aku terus menjambak rambut Wildan ketika pria itu tak berhenti memulas titik erotis kewanitaanku menggunakan lidah agresifnya. Dia sangat paham bagian-bagian yang membuatku 'gila'.

Tak sampai sepuluh menit, Wildan sudah memacu batang jantannya ke liang basahku dalam berbagai posisi, hingga 33 menit berikutnya kami tumbang di kasur sembari terengah-engah.

Setelah Wildan berhasil menormalkan laju napasnya, ia menoleh ke samping, ke aku yang terpejam masih tersengal-sengal. Ingin mengatakan sesuatu, namun urung. Ia pandangi wajahku sambil senyum.

Bagai tau tengah diamati, aku buka matanya dan memang mendapati Wildan sedang memandangiku. "Apaan?"

"Lu cantik banget saban abis gue tohok," puji Wildan.

"Brengsek lu!" Aku pun bergulir memunggungi Wildan, tak perduli pantatku segera diremas Wildan. Dan belahan kewanitaanku juga dielus dari belakang. "Dasar pacar brengsek."

Kekehan meluncur dari mulut Wildan. "Khehehe! Pacar siapa, nih? Pacar lu?"

"Dih! Najis!" elakku tanpa berniat menghentikan ulah nakal tangan Wildan pada kewanitaanku. Bahkan aku juga enggan menoleh ke belakang. "Gue ogah yak punya pacar bejat gak setia kayak elu!"

Tawa Wildan makin jelas meski sebentar. "Tapi kan elu dah kayak pacar gini, sayang..." bisik Wildan di belakang telingaku. Sekarang tangannya diarahkan ke depan tubuhku, meremas bongkahan padat penuh di dadaku.

"Lu bukan pacar gue, gublu! Lu cuma sex buddy gue doang! Itu aja gegara elu ngemis-ngemis mulu."

Wildan tak hiraukan kalimat pedasku. Dia malah kian giatkan aksi tangannya. Kemudian balikkan tubuhku menjadi telentang. "Tapi gue cinta elu, sayang."

"Brenti panggil sayang ke gue, jijik dengernya. Kayak om gadun aja lu! Cih!" Aku memandang jijik ke Wildan. "Dan elu... lu cuma cinta bodi gue doang, gue tau itu. Lu tu bajingan maruk, tauk! Wina juga seksi, yekan? Masih aja lu gak puas."

Wildan senyum kecil. Tanpa acuhkan ucapan sengitku, dia pun kembali gulirkan lidahnya ke benda mungil paling sensitive milikku di bawah sana, hingga aku kelojotan saking nikmatnya. SHIT!

Setelah berhasil mengocok liang basahku menggunakan dua jari dibarengi lidah terus menindas erotis di bagian sana, aku pun menyerah dan semburkan cairan spesialku.

Usai begitu, Wildan bangkit memburu bibirku untuk ia cumbu. Aku memaki-maki. "Bedebah—mmpghh! Itu—ermffhh—bekas—ummchh!"

Wildan tertawa dalam cumbuannya. Dan setelah puas menggoda, ia kembali lesakkan batang jantannya ke liang hangatku dan memacu selama lima belas menit lebih sebelum akhirnya kembali semburkan peluru cair ke dalam sana.

Selang 24 menit berikutnya, Wildan pun pulang ke apartemen dia sendiri.

Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, dia pasti sedang asik mengingat-ingat momen intimnya tadi bersamaku. Dasar lelaki brengsek.

Ini memang bukan pertama kali kami melakukan begitu di belakang Wina. Ia sudah menyukaiku sejak lama. Bahkan semenjak belum mengenal Wina.

Itu sih pengakuan dari Wildan padaku.

Aku adalah adik kelas Wildan di SMA. Dari acara MOS, rasa suka itu pun lahir, meski aku tak tau. Wildan hanya memendam cintanya pada sang adik kelas, yaitu aku.

Dan ia tak mengira bakal bertemu denganku di universitas. Harapannya kembali muncul dan kian bertambah subur begitu dia berhasil mendekatiku meski harus berkedok menjadi pacar Wina. Bisa dikatakan alasan dia menerima cinta Wina adalah agar bisa dekat denganku. Ini aku ketahui karena Wildan sendiri yang cerita ke aku.

Brengsek? Mungkin.

Bangsat? Bisa dibilang demikian.

Wildan patut bersyukur karena setelah upaya dia berpuluh kali merayuku akhirnya bisa juga dia menaklukkan aku, meski dari awal, aku menetapkan hubungan kami hanya atas dasar sex buddy, tidak lebih.

Meski ingin protes, Wildan telan saja keputusan sepihak dariku. Asalkan dia bisa terus bersamaku, tak masalah apapun status kami. Ditambah Wina yang terus menempel Wildan, pria itu makin tak berkutik. Ia tadinya sudah memantapkan niat memutus hubungan dengan Wina, namun aku mencegah dengan berbagai pertimbangan.

Apalagi Wina sudah terlalu sering membantu Wildan dalam hal financial, termasuk membantu biaya operasi tumor ibunda Wildan. Dia tambah tak berani memutuskan Wina.

Maka, hubungan terlarang antara dia dan aku hanya bisa dijalankan diam-diam saja semenjak aku ada di tahun akhir kuliah.

Aku sendiri tak kalah merasa bersalah ke Wina karena sudah tega berbuat gila dengan pacar sahabat sendiri. Sayangnya, kewarasan nuraniku terkalahkan oleh bujuk rayu Wildan. Aku terbuai dan terhanyut, meski terus bersikeras hubungan kami tidak lebih dari having fun saja.

Jiwa bebasku lebih mendominasi keputusan yang kubuat. Apalagi aku akui, aku tipe seenak dengkul. Aku hanya menganggap, selama janur kuning belum melengkung, maka tak masalah aku sering tidur dengan Wildan tanpa sepengetahuan Wina. Konyol. Sekaligus gila dan bejat di mata siapapun yang tau, pastinya.

Aku mengakui, kok!

Sejak aku menjadi sex buddy Wildan, sejak itu pula aku mengenal suntik KB. Aku tidak ingin tolol dengan sebuah kehamilan yang tidak perlu. Dan karena Wildan juga melakukan kegiatan intim pula dengan Wina, maka aku terkadang tidur dengan pria lain yang menarik hati. It's my prerogative!

Wildan tau, dan ia pernah memprotes, meski dibantah dan makin aku hina. "Elu berani protes karena gue ngentot ama orang lain?! Lah, elu aja ngentot ma Wina. Bahkan gue gak tau ama siapa lagi elu selain ke gue ama Wina."

Dengan serangan kalimat demikian, biasanya Wildan surut dan diam, walaupun hatinya sangat tidak bisa menerima. Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga melakukan itu dengan Wina, entah karena aji mumpung, atau paksaan Wina.

avataravatar
Next chapter