16 Ilusi 16

[] Membuka Semuanya []

Kami berdua duduk bersebelahan di sofa ruang tengah. Aku terus mengusap air mataku. Ren mengambilkan kotak berisi tisu agar aku bisa menyusut ingusku dan menghilangkan lelehan air mataku.

Setelah aku tidak lagi menangis, aku diam tertunduk. Keinginan untuk memaki dan marah pada Ren menguap begitu saja. Padahal tadi di dalam taksi, aku sudah menyediakan berbagai kalimat hebat untuk menyerang Ren. Tak mungkin aku memaki-maki dia di dalam taksi. Itu kekanakan.

Karena aku diam saja, Ren bergerak dan berlutut di depanku yang masih duduk tertunduk.

"Rev..."

"Lo pasti tau identitas gue, iya kan?" Aku paksakan diri menatap dia yang sedang memandangiku lekat.

Ren mendesah sebentar sebelum bersuara, "Ya. Jujur, aku mengetahui identitas kamu."

"Kalo gitu, ngapain masih manggil gue pake nama itu?" sindirku telak.

Ren tersenyum kecut. "Oke. Nevia."

Tenggorokanku tercekat. Dia benar-benar tau identitasku! Meski aku sudah mengira, tapi mendengar sendiri darinya itu bagai sebuah hantaman. "Sejak kapan?"

Dia menatap sebentar sebelum menyahut, "Sejak kapan aku tau siapa kamu sebenarnya? Sehari setelah kamu di rumahku."

"Maksud lo?" Kupicingkan mata. Sehari setelah aku di rumah dia? Cepat sekali!

"Oke, aku akan blak-blakan saja ke kamu, Nev." Ren terdiam sejenak untuk mengambil napas, dan kemudian bicara, "Sehari setelah kamu di rumahku, aku nyari informasi tentang kamu melalui jaringan yang aku punya. Mereka bergerak cepat dan akhirnya aku mendapat semua info tentang kamu."

Aku mendongak dan menutup mata. Semua, yah? Semuanya? Oh Lord! Memalukan.

Lalu, aku kembalikan posisi kepalaku dan menatap mata Ren yang tak lepas dariku. "Jadi lo juga tau tentang gue yang... yang..."

"Ya, aku tau kamu kehilangan anakmu. Aku tau kamu hamil anak si Wildan. Aku tau kamu dipaksa menjual anakmu ke Benny Hastomo. Aku tau kamu dicelakai Velinda."

Mulutku ternganga demi mendengar semuanya. Dia mengetahui sampai sejelas itu? Aku harus mengatakan jaringan informan dia sangat hebat. Itu aku akui.

"Trus, kenapa lo malah nyimpen gue di rumah lo? Lo pastinya tau kalo gue ini... aib bagi keluarga lo." Aku mulai sinis. Bagaimanapun, aku memiliki sentimen khusus pada keluarga Hastomo.

Ren menggengam tanganku, namun aku tepis kasar.

"Lo udah nipu gue, Ren! Lo bikin gue percaya ama lo! Lo tau segala tentang gue, tapi gue kagak tau apa-apa tentang lo!"

"Oke, oke, sekarang kamu bebas tau apapun tentang aku, Nev. Ayo, tanya apa saja, sayang..." Dia masih memainkan peranan kekasih yang lembut. Semoga aku tidak perlu terjatuh ke jebakan ilusi lagi.

"Ceritakan diri lo dari awal ampe akhir!"

"Fine." Ren mengambil napas, lalu bicara, "Aku memang anak haram dari Benny Hastomo. Ibuku berhubungan dengannya karena ibuku adalah mantan kekasih dia semasa sekolah. Akhirnya ibuku hamil dan Benny Hastomo meminta ibuku merahasiakan tentangku karena waktu itu dia masih memiliki istri sah. Tapi akhirnya ibuku menyerah dan pergi menjauh dari Benny. Dari itu, aku tumbuh di kehidupan yang berat dan susah dari kecil, dan aku mulai membenci Benny."

"Membenci Benny Hastomo?" Aku mengernyitkan dahi.

"Terserah kau percaya atau tidak, Nev, aku memang benci lelaki itu. Dan setelah aku lulus SMA, aku mendapatkan beasiswa perguruan tinggi negeri terkenal. Saat itu, istri sah lelaki itu menemukan jejak ibuku dan dia membunuh ibuku dengan cara gelap."

Aku tercekat. Mulutku sampai kututup saking kagetnya. Alangkah menyeramkan sikap orang-orang kaya terhadap orang yang mereka musuhi!

Ren melanjutkan ceritanya. "Aku tak bisa apa-apa selain memendam benci ke mereka, dan tidak aku sangka, tak lama kemudian kudengar istri lelaki itu mati, tak lama setelah kematian ibuku. Kukira, itu pasti perbuatan lelaki itu. Dan sejak itu, dia terus mendekatiku dan berharap untuk memasukkan aku ke dalam lingkaran keluarganya."

Bisa aku rasakan amarah Ren dalam nada bicaranya. Akupun jika di posisi Ren, pasti akan membenci Tuan Benny Hastomo pula.

"Dia memakai berbagai cara untuk memikatku ke keluarga dia. Salah satunya dengan menggembar-gemborkan ke rekan bisnisnya bahwa aku adalah anaknya."

"Apakah lelaki seperti dia tidak terganggu jika ada yang mengkritik mengenai kau sebagai anak haramnya?"

Ren menggeleng. "Dia tidak peduli. Apalagi ketika anak sulung dia mati kecelakaan, dan putri bungsu dia kabur dari rumah, dia makin gencar mendekatiku. Aku dianggap sebagai penerus satu-satunya, harapan terakhir dia."

"Pantas saja kalau begitu," ucapku lirih sambil memikirkan bahwa Tuan Benny ini tergolong pria yang akan melakukan apapun demi menyukseskan bisnis dan mengamankan kerajaannya sendiri. Tak heran pria tua itu mati-matian membujuk Ren semenjak kedua anaknya tidak ada di rumah untuk meneruskan kerajaan bisnis dia.

"Dan, ketika aku berpikir ulang, maka aku memutuskan untuk menerima penawaran dia. Tapi itu aku lakukan dengan penuh dendam, sambil menunggu dia mati, aku akan mengubah semua aset dan nama perusahaan-perusahaan dia menjadi milikku."

"Pantesan lo bisa punya beberapa perusahaan," potongku pelan. "Tapi kan akhirnya muncul Tante Eva."

"Iya, itu diluar dugaanku. Aku tidak menyangka putri bungsunya kembali ke dia, bahkan cucunya."

Teringat itu, aku teringat Wildan.

"Nev, aku ingin membalas dendam ke keluarga Hastomo. Mereka sudah membunuh ibuku." Ren menangkup erat kedua tanganku. "Teruslah di sisiku, Nev. Teruslah saksikan bagaimana aku membalas mereka. Sekaligus membalas untukmu."

Aku memandang linglung ke Ren. "Membalas... untukku?"

Ren mengangguk tegas. "Aku juga akan membalas untukmu. Kau adalah permata hatiku, milikku. Siapapun yang menyakitimu, maka aku akan membalasnya berkali-kali lipat. Kau harus terus di sisiku untuk menyaksikan itu semua, Nev. Oke?"

Tatapan Ren penuh mengharap padaku. Apakah dia tulus? Atau aku hanya dimanfaatkan?

"Ren, apa lo yakin lo pengin balas dendam untuk ibumu?"

"Iya, dan aku sudah setengah jalan melakukannya. Aku sudah mulai mengubah beberapa kepemilikan saham dan banyak aset lelaki itu. Tadinya dia sempat protes, tapi aku berhasil menekannya. Itu terjadi sebelum dia menemukan putri dan cucunya. Setidaknya, aku sudah menguasai separuh dari aset dia."

"Apakah lo bakalan menyakiti Tante Eva juga nantinya?" Aku teringat akan perempuan setengah baya yang sangat lembut dan baik padaku. Aku berharap Ren bisa melepaskan Tante Eva.

"Apa ini mengacu ke Wildan, Nev?" Ia balik bertanya.

Aku segera cemberut. "Kenapa lo malah bawa-bawa Wildan segala? Kan gue cuma nyebut Tante Eva," sungutku kesal. Untuk apa dia mengungkit mengenai Wildan?

"Jadi... tidak masalah untukmu jika nanti aku membunuh Wildan?" Pandangan Ren lekat menyelidik ke mataku.

Mulutku mendadak kaku tak bisa kugerakkan. Bahkan lidahku membatu, bagai berat untuk mengucap kata meski satu.

"Nev, jawab aku. Jawab pertanyaan aku barusan. Apa tak apa-apa jika aku bunuh Wildan?" Ren tajam menatap wajahku yang membeku. Kemudian, karena aku tidak juga menjawab, dia menunduk sambil mendesah berat. "Sudah kuduga, kau masih cinta dia."

Seketika bagai ada sengatan pada tubuhku hingga aku tersadar dan bicara, "Bukan gitu, Ren! Lo salah kira kalo ngomong gitu."

"Aku salah yang mana? Kamu diam lama gak jawab. Itu jelas kalau kamu masih cinta ma dia." Ada nada kesal dan benci dari kalimat yang dia ucapkan. Apakah dia cemburu?

"Ren, gue... gue cuma gak suka ada bunuh-bunuhan. Untuk apa sih pake jadwal gituan? Ngapain harus bunuh orang segala? Gue juga gak setuju kalo lo punya rencana bunuh Tuan Benny. Iya, gue benci ma dia, benci banget, tapi gue kagak berharap untuk bunuh dia."

"Lalu kamu ingin gimana untuk balas dendam, Nev?"

"Gue... mmhh... cukup bikin mereka tersiksa tanpa harus disiksa secara fisik." Aku pun menemukan solusi. "Lo tau, tersiksa hati itu lebih menyakitkan ketimbang tersiksa fisik. Kalo siksaan fisik, bisa disembuhin. Tapi kalo siksaan hati... susah."

Ren menyipitkan matanya. "Maksud kamu?"

"Apakah menurut lo... Tuan Benny bakalan adem ayem aja kalo liat lo ama gue?" Kunaikkan alisku dengan cepat.

Mata Ren berkilat. "Rasanya aku paham maksudmu, sayang..." Ia tersenyum.

"Ingat, tidak ada bunuh-bunuhan lagi! Oke?"

"Memangnya kenapa sih kalau aku membunuh kekasih gelapmu itu?"

Aku melotot dan memukul lengannya. "Kekasih gelap gundulmu! Dia bukan siapa-siapa gue!"

"Kau yakin?" Mata Ren menatap nakal padaku.

"Tentu aja!" seruku sambil manyun kesal. "Lagian lo kenapa? Cemburu ma Wildan?"

"Iya, aku cemburu. Sangat amat cemburu ma setan kecil itu sampai kepingin remukkan dia jadi debu."

Aku tergelak kecil. Mendengar cara Ren menyuarakan kecemburuannya itu benar-benar lucu... dan manis.

"Kau bisa enak-enakan tertawa, hum?" Ren menarik ujung hidungku.

Aku mengernyit jenaka. "Asik juga ngeliat orang cemburu, nyahaha!"

"Aku cemburu karena aku mencintaimu dan tak mau kehilanganmu, Nev..." Ren lekas gapai tengkukku dan melumat bibirku secara tiba-tiba.

"Mmmhh... Ren~ dasar kau ini, mmghh..." Aku memukul ringan dadanya yang mulai menghimpitku. Meski dia hanya berlutut, dia bisa menyamakan tinggi kami karena aku masih duduk di sofa.

"Jadilah milikku, Nev... mmmsshh..." Ren terus menghisap-hisap bibirku yang kewalahan menghadapi agresif dia.

Aku pejamkan mata, ingin menikmati sensasi dicintai. Yah, dicintai secara eksklusif. Dicintai penuh dan seutuhnya. Maka, aku biarkan lidah Ren menari dengan lidahku, saling hisap dan mendesah.

Ren menyentuh leherku dan mengelus di sana sebelum itu digantikan oleh bibirnya. Aku mendesah saat ia mengecupi leherku dan mataku terus terpejam agar bisa maksimal merasakan nikmat ini.

Ketika tangan Ren turun ke dadaku, desahanku kian terdengar jelas memenuhi ruangan ini. Semoga tidak sampai terdengar ke vila tetangga di kanan kiri kami. Ah, tapi aku tidak peduli jika memang akan terdengar oleh mereka.

Tangan Ren menangkup satu payudaraku dan meremas pelan. Sangat lembut, seolah-olah dia takut itu akan menyakitiku. Aku mengerang lirih sambil menyebut namanya. Bahkan aku tak keberatan ketika dia membopongku ke kamarnya.

Dia adalah Narendra Hastomo. Putra haram Tuan Benny Hastomo yang juga membenci ayahnya sendiri.

Dia, Narendra Hastomo, yang menyatakan cinta dan kesetiaannya hanya padaku dan ingin menjadikan aku sebagai satu-satunya milik dia.

Dia, Narendra Hastomo, yang berjanji padaku untuk membalaskan sakit hati dan dendamku pada semua orang yang menyakitiku.

Dia, Narendra Hastomo... kekasihku.

=TAMAT (untuk volume 1)=

avataravatar