14 Ilusi 14

[] Ciuman Kedua []

"Nah, cobalah yang ini. Kau akan menyukainya. Ini enak sekali." Ren sudah duduk di depanku di gazebo biasa tempat kami sarapan pagi. Dia sudah menaruh perkedel daging yang dicampur dengan sosis dan dioles mayones.

Aku menusuk potongan kecil perkedel itu dan memasukkan ke mulutku. Kemudian senyumku merekah sambil menatap Ren. "Hu-um, enak banget. Ini kamu sendiri yang bikin, Ren?"

Sekarang aku sudah memanggil dia Ren tanpa ada embel-embel Tuan. Dia sendiri yang meminta begitu, dan kupikir tak ada masalah karena sepertinya usia kami tidak terpaut terlalu jauh bagai ayah dan anak, misalkan.

Ini pun aku sudah tinggal selama sebulan di rumah besar Ren. Aku sudah lebih bisa mengakrabkan diri dengannya tanpa kecanggungan seperti awal-awal pertemuan kami. Aku dan Ren juga sudah bisa mengobrol santai dan menimbulkan kenyamanan di antara kami sendiri.

"Tentu saja. Kalau aku bilang aku akan memasak untukmu, maka tidak ada siapapun bisa menahanku, haha!" Dia tergelak ringan dan meneruskan makannya.

"Kau kan gak perlu gitu, Ren. Kan ada chef. Untuk apa repot-repot memasak buat aku?" Mataku mengerling ke Ren yang melirik ke aku. "Tau gak, gue bisa tersanjung abis kalo gini."

"Oh ya? Tersanjung? Haha! Baguslah! Ternyata tidak sia-sia upayaku pagi ini di dapur." Ren begitu santai menjawab. Wajah tampannya semakin terlihat berkilauan di mataku.

"Ren, lain kali tak usah repot-repot memasak, apalagi untukku." Aku tersenyum kecil sambil mengiris perkedel sisa untuk aku lahap.

"Kenapa tidak boleh? Aku kan sedang pamer padamu, haha!" Kemudian, dia meneguk jus buah bagiannya.

Aku melirik dia yang sedang minum. "Dasar tukang pamer." Dia hanya makin tergelak.

Selama sebulan, aku otomatis tidak bersinggungan dengan dunia luar. Hanya sekali saja di restoran mahal itu ketika aku tak sengaja bertemu dengan si bajingan Velinda, pembunuh anakku.

Aku tidak menaruh peduli apakah orang-orang mencariku atau kuatir padaku. Terserah mereka. Aku sedang ingin menikmati duniaku sendiri di sini, di rumah Ren.

Lagi pula, aku sudah meninggalkan semua tas dan isinya di rumah sakit waktu itu. Secara otomatis, siapapun tak bisa menemukan aku atau menghubungi aku karena ponsel dan semua kartuku ada di tas yang kutinggalkan itu.

Di sini, di tempat Ren, aku bagai orang baru dengan identitas baru. Ini seperti aku sedang berada di tempat penampungan, hahah! Terserah kalian akan berkata apa, aku akan menikmati semua yang ada dan tidak akan menahan diri.

Aku memang egois, dan aku tak mengingkari itu.

Beberapa hari terakhir ini, aku banyak membantu Ren mengurus pekerjaannya yang berkaitan dengan penggambaran denah, ilustrasi ekterior dan interior rumah, serta konstruksi bangunan. Untung saja aku pernah kuliah di jurusan DKV, maka hal-hal semacam itu bagai meminum air saja bagiku.

Ren berkali-kali ingin merekrutku di salah satu perusahaan dia, namun aku masih malas. Itu karena aku tak ingin bertemu dengan orang-orang yang masih ingin aku hindari. Melihat mereka, hanya akan mengingatkan aku tentang tragedi anakku.

Apa tadi kukatakan Ren ingin merekrutku di salah satu perusahaan dia? Yah, dia memang memiliki beberapa perusahaan. Namun, Ren tidak mau mengatakan apa saja perusahaan yang dia miliki. Atau... belum ingin mengatakan?

Aku tidak memaksa. Sama seperti Ren yang juga tidak memaksaku untuk bercerita mengenai masa laluku. Kami menjalani hari bagai orang yang baru berkenalan dan langsung cocok satu sama lain tanpa menggubris identitas diri yang mendalam.

"Besok ikutlah aku ke Bangkok untuk menghadiri sebuah konferensi." Tiba-tiba Ren membuka topik mengenai perjalanan luar negeri.

"Bangkok?" Aku menaikkan alis. "Kenapa aku harus ikut?"

"Supaya kau tidak berlumut di rumah. Ayolah, ikut saja, anggap ini sebuah jalan-jalan pengusir bosan."

"Tapi... aku tak punya visa ataupun pas-"

"Tak usah memikirkan itu. Hal remeh begitu gampang diatur." Ren memotong ucapanku.

Aku mendelik heran. Bukankah visa dan paspor itu penting untuk sebuah perjalanan keluar negeri? Tapi kenapa dia seakan-akan meremehkan hal itu? Jangan katakan dia sebenarnya Sheik Arab Saudi kaya raya pemilik tambang minyak yang mempunyai kamar luas berisi lembaran dolar?

Tunggu sebentar, aku harus mengamati, apakah wajah Ren mirip dengan pria Timur Tengah?

Astaga, apa sih yang aku pikirkan? Ren seorang Sheik?

"Ren, apa kau seorang Sheik Arab?" Laknatnya mulutku yang kadang tak bisa dikontrol ini! Sudah terlambat untuk merutukinya karena Ren sudah mendengar dan mengangkat alisnya gara-gara ucapan sembronoku.

"Sheik Arab?" Ia mengulang. "Tentu aja bukan. Aku ini Pangeran Arab! Hahahaha!"

Sialan, dia malah makin menjadi dan terbahak-bahak keras. Aku yakin ikan-ikan koi di bawah gazebo akan berlarian saking kagetnya.

*******

"Ren, apa yang harus aku bawa?" Aku mondar-mandir tak jelas di kamarku sambil menatap galau ke tas koperku yang diberikan Ren. Warnanya merah fusia, cantik sekali, dan masih berbau toko!

"Tsk, dasar wanita," olok Ren sambil berjalan ke lemari pakaianku yang isinya semua dibelikan oleh Ren. Bahkan sampai dalaman-dalamannya!

Dengan cekatan, Ren menarik beberapa pakaian dan dalaman lalu menjatuhkan ke ranjang. "Apakah kau keberatan dengan pilihanku?" Ia melirik singkat ke arahku.

Aku tatap beberapa pilihan baju yang ada di atas ranjang. Kaos, celana pendek, rok pendek, kaos ketat, gaun terusan santai... dan beberapa pasang dalaman. Apakah Ren ini sudah terbiasa memegang dalaman perempuan? Fasih sekali dia mengambil bra dan celana dalam untukku.

"Um, oke." Aku tidak bisa tidak setuju. Itu bisa menyinggung Ren. Yah, memang sebaiknya dia saja yang memilihkan.

"Ini masih sore. Ayo kita belanja sesuatu." Ren menarik tanganku.

"H-hei! Gue masih pake baju begini doang, Ren!" Aku menatap kaos ketat dan celana mini yang melekat di badan.

"Anggap saja kau ini seorang anggota girlband yang sedang berjalan-jalan santai, haha!"

Aku mendecih. Pria ini begitu entengnya memandang sesuatu hal.

Tak berapa lama, kami sudah berada di sebuah Mal. Aku sengaja memakai kaca mata besar dan topi biasa untuk menyamarkan penampilanku. Rambut ikal panjangku juga aku kuncir untuk kuselipkan di belakang tali topi.

"Kau persis sekali seperti idol cewek yang sedang menyamar dan sembunyi-sembunyi dari fansmu!" goda Ren yang kuhadiahi dengan cubitan pada pinggangnya.

"Iya benar, gue emang seorang idol dengan bejibun fans yang bikin ribet." Aku julurkan lidah membalas godaan dia.

Ren terkekeh. "Mau dong, daftar jadi fans kamu, Rev. Tapi aku janji gak bakal bikin ribet kamu, kok!"

"Udah, jangan banyak omong! Ini kita mo ke mana sih tujuannya?" Aku mengedarkan pandangan pada beberapa toko Mal di sekitarku.

"Ke sana dulu." Ren menunjuk ke sebuah toko baju renang.

Dengan kecerdasan pikiranku, aku paham kenapa Ren ingin ke sana, karena kami akan pergi ke Bangkok, dan berenang tentu saja harus ada dalam daftar kegiatan supaya perjalanan ke sana tidak sia-sia. Pantai Pattaya paling terkenal di Bangkok, kan?

Dalam setengah jam berikutnya, aku sudah asik mengaduk-aduk toko itu untuk mencari bikini yang sesuai dengan seleraku. Aku juga memilih satu baju renang one piece yang cantik sekali dengan desain unik nan seksi.

Yah, terkadang perempuan harus sesekali memanjakan diri dengan hal-hal yang bisa membuat kami tampil seksi dan memikat, kan?

Setelah puas memilih, aku sudah menenteng tas berisi lima bikini dan satu baju renang one piece cantik.

Langkah kaki kami tidak berhenti di situ saja. Ren menggandeng tanganku ke sebuah toko sepatu dan membelikan aku sepasang sepatu canvas yang manis untuk jalan-jalan santai di Bangkok nantinya. Ia juga membelikan sepasang sepatu high-heels hitam dengan hiasan permata swarovski mungil yang berderet berkilau di bagian samping luar sepatu.

Aku tidak memprotes. Untuk apa? Ini adalah rejekiku. Ini adalah sesuatu yang tak perlu ditolak. Hanya wanita munafik yang menolak hal-hal cantik begitu. Aku ini kan jujur apa adanya!

Dalam sekejap, kedua tangan Ren sudah menenteng banyak tas. Dia tidak membiarkan aku mengangkat belanjaan apapun. Ah, pria ini sungguh gentleman. Aku jadi terharu.

Maka, ringan saja langkahku sambil menggamit salah satu lengannya. Ren melirik dan tersenyum melihat tingkahku.

Aku sangat beruntung penyamaranku berhasil dan tidak menemukan siapapun yang mengenaliku. Ah, mungkin saja mereka memang tidak datang ke Mal ini. Dan itu lebih baik!

Di mobil, setelah Ren memasukkan semua belanjaan dan telah sama-sama duduk di kursi depan, aku memutar tubuhku ke arah Ren ketika kami masih berada di parkiran basement. "Ren, makasih yah."

"Hemm?" Ren menoleh ke arahku.

Cupp!

Astaga! Kenapa jadi begini? Padahal aku hanya ingin mengecup pipinya sebagai kejutan, tapi kenapa Ren malah menoleh dan-

Mukaku sepertinya memerah mirip udang rebus. Itu karena, kami tidak sengaja berciuman bibir!

"So-sori, Ren! Itu tadi... gue padahal... itu..."

"Kenapa sori? Aku suka, kok, ucapan makasih kamu barusan." Ren malah tersenyum simpatik. Itu membuat wajah gantengnya jadi berkali-kali lipat menyilaukan aku. "Lagi, dong..."

"Eh?"

Selanjutnya, aku hanya bisa bengong ketika kepalaku sudah diraih dan tiba-tiba bibir kami saling menempel kembali. Bukan! Bukan aku! Ini sungguh Ren yang melakukannya!

Ciuman kami entah berlangsung berapa lama. Mungkin singkat. Tapi, kenapa napas kami tersengal-sengal? Ya ampun!

"Setidaknya ini lebih baik, tidak membuat aku mencicipi ingus." Ren mengedipkan satu matanya sambil mulai menghidupkan mobil.

Aku linglung sejenak, lalu paham bahwa dia sedang mengolokku akan kejadian dia menciumku ketika aku sedang menangis. Segera saja aku pukul ringan lengan kokohnya dan kucubiti pinggangnya. Dia terbahak santai.

Menjelang petang, Ren mengajakku berenang di kolam renang indoor yang ada di bagian lain rumahnya yang besar. Apakah ini bisa disebut mansion?!

Ren memintaku untuk memakai salah satu pakaian renang yang tadi dia belikan.

"Lah, Ren, ntar gak bisa dibawa ke Bangkok besok..." keluhku bertanya-tanya.

"Gampang beli lagi di sana. Kayak gak ada toko aja di Bangkok."

Ya, dia benar. Tololnya pertanyaanku tadi.

Akupun keluar menemui Ren di kolam indoor dengan memakai mantel renang warna merah muda. Saat aku melepasnya, aku bisa tau Ren menahan napas. Itu karena aku mengenakan bikini warna kuning terang.

"Awh, Rev, kamu menyilaukan! Haha!"

Aku mulai duduk di tepi kolam sambil dua kakiku turun ke air. Ren yang sudah berenang terlebih dahulu. "Yang menyilaukan gue atau bikini gue, nih?" Kucipratkan air ke Ren memakai kakiku.

Dia tergelak singkat sambil mendekat ke arahku. "Tentu saja kamunya, Rev. Kamu yang bikin bikini ini menyilaukan." Ia memeluk dua kakiku. Kemudian tatapannya jatuh ke tatto di pinggul atasku. "Kamu suka Guns N' Roses?"

Aku mengangguk.

"Lagu mana yang kamu suka?"

"Semuanya. Emangnya kamu juga suka Guns N' Roses, Ren?"

"Iya."

"Lagu yang mana?"

"Semuanya."

"Dodol!"

"Hahahah, eh tapi serius kok aku suka grup itu. Dari dulu jaman aku masih pakai biru putih." Ren menatap tattoku dan mengelus pelan. "Ini... Pretty Tied Up, kan?"

Aku mengangguk dan akhirnya percaya bahwa Ren juga penggila Guns N' Roses. Hanya penikmat Gn'R yang paham logo ini.

"Cantik," puji Ren sambil menatap tatoku dan mengelus-elus menggunakan ibu jarinya. Darahku berdesir hanya dengan gerakan sederhana Ren.

"Siapa yang cantik, nih? Tatonya atau gue?" tantangku. Tak tau kenapa, hatiku berdebar-debar.

Ren mendongakkan kepalanya, dan wajah tampan yang berambut basah mempesona itu memandangiku. "Tatonya cantik." Lalu dia meraih kepalaku agar merunduk turun mendekati dia. "Dan yang punya tato lebih cantik."

Hanya dalam satu menit, bibirku sudah dikulum Ren. Aku tidak keberatan. Mana ada perempuan yang menolak dicium lelaki ganteng? Apalagi kami sama-sama single. Tak perlu ada yang cemburu karena dirugikan, kan?!

Tak kusangka, Ren menggapai pinggangku dan mengangkatku agar turun sepenuhnya ke dalam air. Sambil berdiri di dalam kolam, kami melanjutkan cumbuan kami. Kubelitkan dua tangan ke leher dia dan dia juga melingkari pinggangku menggunakan lengan kokohnya.

Setelah kami melepas pagutan masing-masing untuk menghirup oksigen baru sebanyak-banyaknya, sambil terengah-engah, Ren menangkup pipiku dan berkata dengan tatapan lekat padaku, "Jadilah pacarku, Rev. Jadilah milikku. Oke?"

Hah? Apa tadi?

avataravatar
Next chapter