12 Ilusi 12

[] Mengorek Informasi []

Di sinilah aku berada. Di sebuah hunian besar dan tergolong mewah (menurutku). Aku sudah di tempat ini selama tiga hari, dan kuakui, aku diperlakukan dengan sangat baik di sini. Bahkan aku mengira aku bagai seorang tuan puteri saja di rumah besar ini.

Lelaki itu sangat, sangat baik padaku. Dia selalu memenuhi kebutuhanku, apapun itu. Dan dia juga tidak banyak tanya mengenai latar belakangku ataupun alasan aku mengapa ada di rumah sakit dan di jembatan malam itu.

Kuanggap dia orang yang menghargai privasiku. Itu bagus. Aku sedang tak berminat untuk membeberkan ceritaku apapun itu pada orang lain, terutama orang asing seperti dia, sebaik apapun dia memperlakukan aku, sebesar apapun aku mempercayai dia.

Nanti. Mungkin nanti. Jika aku ingin. Namun tidak sekarang. Itu pasti.

Seperti pagi ini, aku sudah dibolehkan duduk dan berjalan-jalan santai di sekitar rumah. Aku sedang menikmati sarapan pagiku di sebuah taman yang menghadap ke kolam ikan. Aku duduk bersama lelaki itu di satu gazebo besar bagai di negeri dongeng saja.

Kami sama-sama menikmati makan pagi kami, sepiring sup ayam jamur dan roti bawang serta tersedia pula kentang rebus yang wangi sebagai pengganti nasi. Ini benar-benar sarapan ala bangsawan bagiku.

Siapa lelaki ini? Latar belakang apa yang dia miliki hingga kehidupan sehari-hari dia bagai seorang pangeran bangsawan. Namun, karena dia menghargai privasiku, maka akupun harus bersikap sama padanya. Tak perlu menanya padanya siapa dia. Biarlah dia sendiri nantinya yang akan mengungkap itu di saat dia ingin.

"Apa supnya sesuai seleramu?" Dia bertanya sambil tangannya merobek roti bawang sebelum ia masukkan potongan roti itu ke dalam mulutnya.

Aku mengangguk dan terus menyesap supku. Tidak kupungkiri, sup ayam jamur ini memang enak, kok! Dan setelah mempelajari rumah ini, ternyata ada chef khusus di sini. Sedangkan Mbok Yah hanyalah pelayan biasa yang kini menjadi pelayan khusus untukku.

"Oh ya, aku harus memanggilmu apa?" Dia mengunyah rotinya sembari bertanya padaku. Menanyakan namaku. Apakah aku harus menjawab? "Sudah berhari-hari kau di sini dan rasanya tidak sopan kalau aku tidak memanggilmu sesuai dengan namamu."

Aku berhenti makan dan menatap ke arahnya. Lelaki itu memang sebuah ketampanan yang pasti sanggup mengguncang iman wanita manapun. Apakah aku termasuk?

"Revi."

"Revi?"

Aku mengangguk. Ini sungguh-sungguh spontan saja kulakukan. Memberikan nama palsu padanya tanpa pikir panjang. Hanya tak ingin dia mengetahui nama asliku. Itu saja.

"Baiklah." Dia mengambil sebuah kentang yang dibungkus alumunium foil dan mulai mengupasnya. Uap hangat menguar keluar dari kupasan kentang tersebut. "Revi, kenalkan. Namaku Ren. Tepatnya, Narendra. Tapi kau bisa memanggilku Ren saja."

Aku kembali memusatkan pandanganku ke sup dan menunduk seolah-olah tak peduli, hanya mengangguk singkat. Ren, nama dia Ren. Narendra. Oke.

Kami berbincang hal umum. Ah, sebenarnya dia yang lebih banyak bicara ketimbang aku. Dia yang banyak membuka topik obrolan dan aku hanya menanggapi sepatah dua patah kalimat singkat saja. Aku merasa aku ini sungguh kurang ajar sebagai orang yang sudah dia tolong, tapi aku memang sedang tidak ingin terlalu banyak ucap saat ini.

Hatiku masih perih akan rasa kehilangan anakku. Terkadang, jika malam sebelum tidur aku memikirkan anakku, pasti akan berakhir dengan basahnya bantal dan gulingku akan air mata. Jika sudah begitu, paginya, Mbok Yah akan mengambilkan lap bersih berisi es batu untuk mengompres mata sembabku.

Seperti pagi ini, mataku belum pulih dari sembab setelah semalam aku menangis lama sebelum tidur karena kelelahan. Dan aku yakin Ren melihat mata bengkakku. Tapi, dia tidak bertanya apa-apa dan tetap bersikap biasa padaku seperti ini.

Ren biasanya akan menemaniku sarapan pagi. Untuk makan siang, aku hanya sendiri di ruang makan ditemani Mbok Yah yang hanya berdiri di dekatku. Padahal aku sudah meminta Mbok Yah untuk duduk dan ikut makan, tapi wanita paruh baya itu tetap bersikeras tak mau.

Di rumah ini, selain Mbok Yah dan chef, ada juga pelayan pria yang sepertinya memegang peranan penting di rumah ini. Mungkin seperti kepala pelayan? Dan ada juga tukang kebun, dan pelayan lainnya yang bertugas membersihkan seisi rumah.

Otomatis, Ren adalah tuan tunggal di rumah ini. Dia selalu tak ada setiap siang. Ketika setelah petang, dia baru datang. Mungkin dari bekerja. Tentu saja dia harus bekerja, bukan? Kecuali dia anak raja yang tak perlu susah payah bekerja agar bisa terus menikmati fasilitas hebat seperti di rumah ini.

Oke, itu artinya, Ren mendapatkan ini semua dari kerja kerasnya. Aku kagum jika memang benar demikian. Tak banyak lelaki muda yang bisa memiliki apa yang dimiliki Ren saat ini. Kira-kira berapa usia Ren?

Tergelitik, siang ini usai makan di ruang makan, aku bertanya ke Mbok Yah. "Mbok, berapa sih usia Pak Ren?"

Oh, apakah aku sedang mengulik mengenai lelaki itu? Bukankah itu hal privasi? Apakah aku mulai penasaran padanya?

"Ndoro?" Mbok Yah selalu menyebut Ren sebagai 'Ndoro' alias tuan atau majikan dalam bahasa Jawa. "Kayaknya sih Ndoro belum empat puluh tahun, Non. Ndoro masih muda, kok!"

Wah, pria di bawah usia empat puluh tahun dan sudah sesukses ini? Hebat! Itu saja yang terpikir di otakku.

"Kalo siang gini, Pak Ren pergi kerja, yah Mbok?" Oh tidak, aku benar-benar tak bisa mengekang rasa penasaranku.

"Iya, Non. Ndoro harus kerja. Lah tiap pagi kan Ndoro selalu pakai setelah jas kalau berangkat, apalagi kalo bukan pergi kerja, Non?" Mbok Yah berikan senyum kecil ke aku. Aku membalas juga dengan sebuah senyum singkat.

"Dia kerja di mana, Mbok?" Duh, Nevia, stop! Kau ini ingin melanggar privasi orang atau apa, hah? Tapi aku sangat ingin tau...

"Ndoro... kerja di... aduh, Simbok nggak tau, Non. Pokoknya kerja di tempat yang besar."

"Kok Mbok Yah tau Pak Ren kerja di tempat yang besar? Mbok Yah pernah diajak ke tempat kerja dia?" selidikku makin mendalam. Ya ampun, aku ini!

Mbok Yah mengangguk. "Pernah, sih Non. Tempatnya besar dan luas! Kayaknya sih Ndoro bos di sana."

Besar dan luas? Kira-kira tempat apa itu? Pabrik? Bos? Dia pemilik pabrik besar? Wow!

"Pak Ren sukses walau masih muda, yah Mbok."

"Iya, Non. Benar, tuh!"

"Kok belum punya bini?" Nevia! Oh shit! Kenapa aku sampai segila ini mengorek seseorang?!

Mbok Yah terkekeh kecil sebelum menjawab, "Ndoro itu aneh. Kata Pak Harun, bos pelayan sini, Ndoro itu banyak penggemarnya. Banyak perempuan naksir Ndoro, tapi Ndoro katanya sih nolak mereka semua."

Alisku naik tinggi-tinggi dua-duanya. Banyak perempuan naksir Ren tapi semuanya ditolak? Hei, benarkah begitu? Sungguh langka sekali! Bukankah sudah hukum alam jika lelaki kaya seperti Ren akan mudah mendapatkan perempuan manapun?

Semakin kaya seorang lelaki, maka semakin tipis kesetiaannya. Itu hukum alam di dunia fana ini yang sangat aku ketahui berdasarkan pengamatan dan pengalaman. Hanya orang-orang spesial saja yang bisa berkelit dari hukum alam tersebut.

Jangan katakan bahwa Ren... homo?

Aku mendesah lirih, menyandarkan punggungku di kursi makan yang empuk dan besar kokoh. Jika Ren benar-benar pria homo, alangkah sayangnya. Tapi, itu pilihan dia bila memang begitu. Bagaimanapun, urusan hati seseorang adalah milik masing-masing, siapapun tidak bisa memaksakan.

Seperti aku ini contohnya. Hatiku tau bila aku menerima Wildan, itu akan menyakiti Wina. Tapi aku terus saja membiarkan semua terjadi. Hatiku tak bisa berbohong jika aku merasakan hangat dan nyaman setiap dimanjakan oleh Wildan. Hatiku dibuai dalam ilusi seakan-akan aku ini adalah satu-satunya milik Wildan.

Dan ilusi itu sekarang telah aku hancurkan. Ilusi itu telah menyakiti aku. Juga menyakiti anakku. Ah, betapa jahatnya ilusi hati yang ditebarkan Wildan. Ataukah aku sendiri yang sebenarnya melestarikan ilusi tersebut tanpa aku sadari?

Kini, aku sudah terbangun dan tersadar dari ilusi ini. Aku tak mau lagi dibodohi hal-hal yang harusnya tidak aku jamah. Lain kali, aku harus menjauh sejauh-jauhnya dari lelaki orang. Aku tak mau dihempaskan ilusi hati lagi yang akan memporak-porandakan hidupku sendiri.

Cukup sekali ini saja aku tersesat dalam ilusi hatiku sendiri.

******

Malam ini, dokter langganan Ren datang untuk memeriksa jahitan di perutku. Dia mengangguk puas dan mengatakan pada aku dan Ren yang ada di kamarku, bahwa jahitan sudah menyatu dengan dagingku dan takkan ada masalah apapun ke depannya.

Wah, dunia kedokteran sekarang memang benar-benar canggih. Luka operasi jaman kini lekas kering dan sembuh hanya dalam beberapa hari saja.

Setelah dokter pergi, Pak Harun sebagai kepala pelayan menyuruh pelayan lainnya untuk membeli obat untukku yang sudah habis. Ini hanya sebuah obat antibiotik biasa dan multi vitamin.

"Nah, setelah ini, kau bisa lebih santai, Revi." Ren duduk di tepi ranjangku sambil tersenyum. "Kau bisa berenang di kolam belakang, atau mungkin ingin berolahraga sedikit di ruang gym. Tapi kusarankan jangan yang terlalu berat, yah!"

Aku mengangguk datar. Di depan Ren aku memang tak banyak bicara, lebih sering mengangguk atau menggeleng. Untungnya, Ren tahan dengan kekurang-ajaran sikapku itu.

*******

"Non, ini es jus semangkanya mau ditaruh di sini atau di ruang makan?" Mbok Yah bertanya padaku ketika aku sedang bersiap untuk melanjutkan berenangku. Ini sudah dua putaran kulakukan dan perutku baik-baik saja.

"Taruh di situ saja, Mbok!" seruku sebelum meluncur dan mulai berenang untuk menuntaskan putaran berikutnya.

Ini sudah seminggu aku di rumah indah dan nyaman ini, bertingkah bagai tuan puteri yang dimanjakan segala kemudahan. Aku masih belum ingin kembali ke dunia nyataku. Aku masih tak ingin bertemu orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku.

Biarlah aku dianggap hilang atau mati sekalian oleh mereka semua, aku tak peduli. Aku butuh mengembalikan serpihan-serpihan jiwaku yang tadinya tersebar berceceran nyaris membuatku gila. Bahkan jika aku mengingat bagaimana aku ingin bunuh diri di sungai, aku merasa sangat tolol.

Aku tidak seharusnya berpikiran sependek itu. Harusnya aku bisa lebih tegar dan tidak menyerah. Anakku pasti takkan menyukai jika aku selembek itu. Anakku tau persis bahwa ibunya adalah wanita tegar karena dia sudah pernah hidup di dalam tubuhku, menyatu denganku. Maka, siapa lagi yang lebih mengeerti aku selain anakku?!

avataravatar
Next chapter