11 Ilusi 11

[] Orang Kaya Jenis Apa? []

Tiba-tiba, mobil berhenti. Itu memaksaku membuka mata yang sudah mulai mengantuk. Sialan, tak bisakah perjalanan lebih lama lagi dari ini? Menggangguku saja.

Aku menggeliat malas dan setengah kesal ketika dia membukakan pintu untukku. Aku malah miringkan badan memunggungi dia yang sudah berdiri di sebelahku.

"Eh!" Aku terperanjat ketika dia lagi-lagi mengangkatku dengan mudahnya. Apakah aku seringan itu? Tapi aku membiarkan saja. Terserah dia membawaku ke mana asalkan jangan ke rumah sakit lagi.

Aku benci rumah sakit! Hanya sebuah tempat yang berisi kenangan-kenangan buruk dalam hidupku. Meninggalnya Mama. Tergoleknya Wina. Dihujat dan dibully oleh Velinda. Ditekan oleh arogansi Tuan Benny. Tempat anakku diambil dan dipisahkan dariku selama-lamanya. Semua hal buruk terjadi di rumah sakit.

Maka dari itu, aku lebih memilih mati daripada harus berada di tempat buruk itu lagi.

Kini, aku sedang dibopong seperti seorang pengantin. Ah, beginikah rasanya mempelai wanita ketika digendong oleh suaminya? Sayangnya, ini bukanlah momen romantis apapun. Dia menggendongku karena aku menolak turun dari mobil.

Aku mendengar dengungan suara di sekitar. Apakah ada orang lain selain kami berdua di rumah itu. Terserah. Aku lebih suka memejamkan mata dan meringkuk dalam gendongan dia.

"Ndoro, saya persiapkan dulu kamarnya."

"Tuan Muda, apa ada barang-barang lainnya?"

Itu semua tidak tertangkap oleh telingaku karena aku terlalu malas untuk mendengar keributan di sekitarku saat ini.

Tak berapa lama, aku sudah diturunkan di lantai yang dingin. Rupanya sebuah kamar mandi.

Dia menatapku setelah dia mendudukkan aku di atas kloset duduk yang sudah ditutup terlebih dahulu. "Duduk tenang di sini, dan nanti ada Mbok Yah yang akan bantu kamu bersihkan kaki kamu yang kotor sebelum tidur, oke?"

Aku balas menatap dia. Ternyata dia tampan juga. Aku tak sempat mengetahui fakta ini sejak tadi karena keadaan gelap dan tak jelas di jembatan dan di dalam mobil. Lagipula, mana sempat aku mengamati dia tadi?

Sekarang, setelah aku berada di ruangan terang benderang, aku baru sadar sosok 'pahlawanku'. Hengh~ apakah aku membutuhkan pahlawan? Rasa-rasanya aku tidak memanggil satupun pahlawan malam tadi jika tidak untuk membantuku balas dendam.

Aku hanya membutuhkan Raja Hades jika Raja Langit susah kugapai. Aku- hei, kamar mandi ini betapa luas? Ini seukuran ruang tamu rumahku! Bahkan setelah aku perhatikan, interior dan segala pernak-pernik di ruang ini terasa... wah?

Menyadari bahwa aku sudah ditinggal pergi lelaki tampan itu, aku mulai menilai ruangan ini. Dari sekilas pandangan saja sudah bisa kupastikan, ini rumah orang kaya.

Orang kaya. Apakah dia akan sebrengsek Tuan Benny atau Velinda? Mereka orang kaya yang merasa memiliki dunia di tangan mereka hanya karena memiliki lembaran berlebih dari milik orang lain yang di sebut uang.

Mataku masih asik memandangi sekeliling kamar mandi ketika seorang wanita paruh baya masuk ke kamar mandi. Fitur wajahnya sangat ramah dan sederhana. Dia langsung mengisi baskom untuk menampung air hangat. Dia juga membawa botol, sepertinya antiseptik. Dan juga handuk kecil yang dia letakkan di rak kamar mandi.

"Non, Mbok bersihin dulu, yah kakinya. Ama sekalian ganti baju Non. Mbok dah bawa, nih! Daster anak Mbok. Kata Ndoro, pakai ini dulu karena darurat. Besok akan dibelikan untuk Non sendiri. Nggak apa-apa, kan? Ini bersih, kok!" Dia terus berceloteh sambil mengatur baskom dan handuk sembari dia berlutut di depanku.

"Hu-um." Aku hanya menjawab singkat. Aku tak peduli apakah aku dipakaikan baju baru atau baju rombeng sekalipun asalkan jangan baju rumah sakit.

Mbok itu yang katanya bernama Mbok Yah, telaten membersihkan kakiku yang memang kotor. Dia perlahan membasuh dan membilas kakiku hingga betis.

"Yuk, ganti baju, Non. Apa sekalian Non mau mandi? Biar Mbok bantu mandiin Non, nggak pa-pa."

Aku tak merespon dan membiarkan dia menarik pelan dua tanganku agar dia bisa melepas pakaian rumah sakitku. Namun, mendadak si Mbok Yah terpekik kaget ketika dia sudah menanggalkan pakaianku.

"Non habis operasi?!" Mukanya menampilkan gurat-gurat cemas. Apalagi ketika dia melihat perban di perutku mulai dihiasi warna merah menantang. "Luka Non!" Dan ia pun menjerit memanggil tuannya.

Aku mendesah. Haruskah aku dikembalikan ke rumah sakit?! Aku sudah akan berteriak marah saat lelaki itu bergegas masuk ke kamar mandi.

"Nd-Ndoro... Non ternyata..." Mbok Yah terbata-bata tak sanggup melengkapi kalimatnya.

Lelaki tampan itu terkejut menatap perutku. Dia seketika panik.

Langsung saja aku meraih lengan dia sebelum dia keluar dan mungkin memanggil ambulans atau sejenisnya. "Kalo lu bikin gue ke rumah sakit, gue bakalan bunuh diri!"

Lelaki itu dan Mbok Yah ternganga kaget akan ucapanku. Si tampan menatapku tanpa kedip selama beberapa belas detik. Jelas sekali aku melihat gurat heran dia di wajah tampan itu.

Tapi, tak sampai tiga menit, dia mulai tenang kembali dan hanya berikan kata, "Oke." Lalu dia pun pergi dari ruang itu.

Entah kenapa, aku percaya padanya, bahwa dia takkan membawaku ke tempat sialan itu meski keadaanku begini. Bukankah tadi di jembatan juga dia tidak memaksa membawaku ke rumah sakit, kan?

Benar saja, dia datang lagi dan membimbing aku yang sudah dipakaikan mantel mandi oleh Mbok Yah ke tempat tidur besar di kamar yang terhubung dengan kamar mandi tadi. Ia merebahkan aku.

"Tunggu sebentar, ya. Dokter pribadiku akan datang." Dia tersenyum padaku.

Sejak itu, aku menumbuhkan kepercayaan padanya. Lelaki ini begitu memahamiku, tidak memaksakan sesuatu padaku, dan dia segera bertindak praktis tak bertele-tele. Aku mengapresiasi sikap dia yang seperti itu.

Setengah jam kemudian, seorang datang ke kamarku dengan membawa tas peralatan yang sepertinya khas milik dokter. Pasti itu yang dia maksud sebelumnya.

Satu jam berikutnya, aku sudah rebah nyaman dan perbanku sudah diganti setelah jahitanku dikuatkan atau apalah, aku tak paham apa saja yang dia lakukan padaku. Aku hanya diberi anastesi lokal tanpa paham perutku sedang diapakan.

Kemudian, Mbok Yah muncul di kamar setelah dokter pergi keluar bersama lelaki itu. "Non, nih Mbok bikinin sop ayam. Masih hangat. Cobain, yuk!" Dia mendekat ke ranjangku.

Karena aku belum boleh duduk untuk sementara hari ini, aku tetap dalam posisi tidur sementara Mbok Yah menyuapi aku dengan sabar dan telaten. Setelah aku menghabiskan setengah mangkuk sop itu, Mbok Yah bertanya, "Non mau minum apa? Ntar Mbok bikinin."

"Ada coklat hangat? pintaku kurang ajar. Aku benar-benar memanfaatkan suasana. Yah, lagipula... bukankah mereka yang menawariku? Kenapa ditolak? Untung saja aku tidak meminta wine.

Mbok Yah pun pamit keluar dari kamarku sambil membawa mangkuk sop dan bersiap membuatkan coklat hangat untukku.

Rupanya Mbok Yah cekatan juga. Dia tidak berlama-lama dan membawa coklat hangat pesananku ke dekatku. Saat itu, lelaki itu masuk ke kamar yang aku huni. Mbok Yah diminta pergi.

Akhirnya, hanya ada aku dan lelaki itu. Ia duduk di tepi ranjang dan meraih gelas coklat hangat yang sudah diberi sedotan lipat agar memudahkan aku.

Lelaki itu mendekatkan gelas itu ke arahku sambil sedotan juga diberikan ke mulutku. "Dokter minta kamu baring dulu untuk dua hari ke depan biar jahitanmu lebih kuat dan tidak berdarah kayak tadi."

Aku masih meneguk coklat hangatku dan tidak merespon omongan dia. Memangnya dia butuh kalimat apa dariku? Sudah pasti jawabannya iya, tidak mungkin aku memprotes mengatakan tidak mau. Maka, diam adalah sebuah jawaban dariku yang pasti dia paham.

"Ini... kamar kamu. Besok akan aku suruh Dokter Viko untuk memeriksa kamu lagi. Mungkin sekitar sesudah petang karena sore hari dia masih di tempat praktek." Dia menatapku. Yah, kami saling tatap sambil aku masih terus menyedot coklat hingga tak terasa sudah tandas begitu saja.

"Kalau kamu pengin apa, bilang ke Mbok Yah, oke?" Ia menyingkirkan gelas tadi dariku. "Tidurlah sesudah ini. Istirahat yang tenang." Dia tersenyum kecil sebelum bangkit dari tepi ranjang sambil membawa gelas kosong bekas coklat hangatku.

Sepeninggal dia, aku hanya bisa berbaring diam dan tenang sambil menatap langit-langit kamar yang tinggi. Aku tidak jadi menemui Raja Hades, tapi malah berakhir di sini. Apakah ini jawaban dari nasibku?

Baiklah, mungkin aku akan diam dan melihat dulu bagaimana beberapa hari ini. Jika memang nasib masih saja berputar-putar mengacaukan hidupku, aku akan benar-benar datang ke Istana Hades di bawah sana, bagaimanapun caranya.

Aku melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul tiga dini hari lebih. Astaga, selarut inikah drama hidupku hari ini? Setelah semua kegilaanku yang tak aku sadari dari keluar kamar rawat inap sampai ke jembatan sepi dan akhirnya sudah berada di rumah lelaki kaya ini.

Siapa sebenarnya dia? Sepertinya usia dia tidak terlalu tua. Apakah mungkin masih empat puluh? Atau sudah paruh baya? Ah, tidak, tidak. Sepertinya belum paruh baya. Mungkin tiga puluh atau empat puluh.

Dan... orang semuda itu punya rumah sebagus ini? Pastinya latar belakang dia takkan sederhana. Dia hidup sendiri saja di rumah sebesar ini? Orang kaya macam apa dia? Jahat? Penuh intrik? Kejam? Arogan?

Tapi dia menyelamatkan aku, meski aku tidak berharap diselamatkan. Bahkan dia merawatku dengan menyuruh Mbok Yah untuk mengurusku, dan juga memanggil dokter pribadi dia untuk mengatasi lukaku. Sudah pasti dia bukan orang sembarangan.

Anehnya, aku langsung percaya padanya. Dia segera bisa membuatku nyaman dan aman. Sikapnya tidak sama dengan orang kaya yang aku kenal, jika memang ini semua adalah kekayaan miliknya sendiri. Bukankah banyak di luaran sana orang muda yang hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya semata untuk hidup suka-suka?

Jenis yang mana dia? Anak manja? Atau ini semua jerih payahnya?

Hm, aku harus memikirkan banyak hal sesudah ini. Hm, bagaimana dengan pekerjaanku? Ah, nanti saja. Besok akan kupikirkan pelan-pelan. Saat ini... aku merasa sangat mengantuk. Apakah ini efek obat suntik yang diberikan dokter tadi?

Ah, ya sudah. Aku akan diam dan menunggu dulu.

Aku akan-zzzz...

avataravatar
Next chapter