2 Tragedi Berdarah

Satu tahun kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang duda yang usianya lima tahun lebih tua dari Mia. Almarhumah ibunya yang baru meninggal dua bulan sebelum itu sangat tidak menyetujui pernikahan mereka. Namun Mia terlanjur menerima lamaran dari Ben. Gita saat itu baru berumur hampir tujuh tahun. Dia kembali harus menyaksikan perilaku diluar batas ayah tirinya. Tak jauh beda dengan ayah kandungnya. Dan entah kenapa dua kali pernikahan ibunya selalu mendapat laki-laki minus seperti itu. Gita masih belum paham dengan apa yang terjadi. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan dia menyaksikan betapa kejamnya perlakuan ayah tirinya, bahkan dia tak diperbolehkan sekolah.

Saat teman-temannya bersenang-senang dengan suasana baru di sekolahnya, Gita harus melakukan pekerjaan rumah tangga, menyapu, mencuci piring bahkan mencuci pakaian. Sementara ibunya kembali harus banting tulang memenuhi nafkah keluarga. Menjelang malam Gita baru selesai mengerjakan pekerjaan rumah, sementara ayah tirinya menikmati buaian mimpi dalam tidurnya. Bagi bocah berumur tujuh tahun tentunya sulit baginya mengerjakan semua dengan cepat.

Cekreeeeekkk ...

"Kamu kenapa, Gita?" tanya Mia saat pulang dan mendapati Gita menangis di kamarnya. Perempuan kecil itu hanya terdiam, cepat-cepat dia menghapus airmatanya. Mencoba tersenyum pada Sang Ibu.

"Siapa yang melakukan ini Mia? Katakan pada ibu!" seketika emosi Mia meninggi saat melihat luka-luka di sekujur tubuhnya. Gita hanya terdiam. Dia tak berani menjawabnya, dia tahu benar resiko yang akan diterima jika dia bicara jujur.

"Gita tadi jatuh, Bu" ucap Gita berbohong.

Airmata Mia mengalir saat melihat tubuh putri semata wayangnya penuh luka dan memar. Tanpa diceritakan pun dia paham apa yang terjadi, Mia bangun dari duduknya lalu mencari Ben, suaminya.

"Apa yang kamu lakukan pada anakku?" bentak Mia tanpa basa-basi.

"Apa maksudmu?" tanya Ben santai. Dia terus saja menenggak alkohol yang ada dalam pelukannya.

"Jangan pura-pura bodoh Ben! Tubuh Gita penuh luka dan memar, apa yang kamu lakukan padanya. Kamu apakan anakku?! Aku tak terima melihat semua ini"

Tanpa basa-basi Ben menarik rambut Mia hingga dia jatuh tersungkur dan mengeluarkan darah segar dari mulut dan hidungnya. Bukannya merasa iba atau kasihan, Ben malah melampiaskan libidonya secara brutal. Alkohol rupanya sudah menguasai akal sehatnya. Mia merasa yang muak dan jijik dengan semua itu menolak mentah-mentah perlakuan suaminya. Lagi-lagi dengan kasar Ben menarik dan merobek pakaian Mia. Perempuan malang itu mencoba melawan, namun apa daya tenaganya jauh lebih lemah dari laki-laki yang sudah berbau alkohol itu.

"Lakukan tugasmu sebagai istri, atau kamu lebih rela melihat putrimu aku perlakukan sebagai pengganti mu," ancam Ben. Mia menggelengkan kepalanya. Dia memohon dengan sangat.

"Jangan lakukan itu, Ben. Aku mohon. Jangan rusak masa depan putriku" Mia memasrahkan dirinya menghadapi perlakuan bar-bar suaminya. Seringai busuk Ben membuatnya merinding, dia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika sampai Ben melampiaskan kesetanananya itu pada putri tunggalnya.

Dari kamar sebelah Gita bisa mendengar tangisan dan teriakan ibunya. Perlakuan kasar Ben bukan lagi hal yang tabu baginya. Tubuh kecilnya menggigil seorang diri didalam kamar, dia sangat ketakutan, bahkan untuk bernafas sekalipun. Sampai tertidur meringkuk di pinggir pintu.

Braaakkk ...

Suara bantingan pintu depan menyadarkan Gita dari tidurnya. Dia meluruskan posisi duduknya. Mengamati sejenak suasana diluar sana. Setelah dia yakin aman, perlahan dia membuka pintu. Dia mengetuk pintu kamar sebelah tempat ibunya berada.

Tok ... Tok ...

Sepi. Tak ada jawaban.

Tok ... Tok ...

Lagi ... Sepi ... Semua seolah terdiam. Gita ragu-ragu membuka gagang pintu.

Cekreeeeekkk ...

Perlahan-lahan dia membukanya, gelap dan pengap. Aroma alkohol dan asap rokok memenuhi kamar itu. Dan juga ... bau anyir darah ...

"Ibuuuuu .... " teriak Gita saat melihat darah segar mengalir dari perut ibunya. Wajah Mia tertutup bantal dan tak ada sehelai benang pun ditubuhnya. Sembilan luka tusukan di abdomennya membuat ruangan itu tergenang dengan cairan merah pekat dan anyir.

Perempuan kecil yang malang itu berteriak-teriak memanggil ibunya. Panik. Takut. Sedih. Semua menjadi satu. Dia berlari kesana-kemari meminta bantuan tetangga. Beberapa tetangga yang mendengar jeritannya berdatangan. Namun, nyawa ibunya tak tertolong. Tubuhnya sudah dingin sejak setengah jam yang lalu. Isak tangis perempuan kecil itu memecah langit di pagi buta, bahkan kokok ayam pun belum terdengar saat itu. Hanya pilu dari seorang yatim piatu yang menyayat ulu hati siapapun yang mendengarnya.

******

Perempuan kecil yang malang itu hanya bisa diam terpaku ditepian makam ibunya, pandangannya nanar. Semua orang telah pergi meninggalkannya, bahkan setelah pemakaman selesai. Hati kecil yang rapuh itu tak tahu harus bagaimana lagi. Harus kemana lagi. Bahkan saat ini, untuk mengeluarkan airmatanya pun dia tak bisa lagi. Diam menemani tiap detiknya sampai langit senja datang menghampirinya.

"Ibu ... " panggil Gita lirih. Tangannya gemetar membelai lembut patok kayu nisan ibunya yang masih baru.

"Dingin, Bu. Gita lapar ... " lirihnya lagi. Namun ibunya tak juga bisa dia peluk. Hanya tanah makam yang menemaninya tidur malam itu. Tak seorang pun datang padanya.

Malam menyelimuti tubuhnya dengan selimut dingin dan kebekuan sampai matahari datang menyapanya. Bahkan Gita tak tahu pukul berapa sekarang ini. Tangannya beku, kakinya beku. Wajahnya pias dan tubuhnya gemetar.

Sebuah mobil datang mendekati, beberapa orang berseragam pegawai dan Pak RT datang menghampiri. Mereka terkejut melihat gadis malang itu berada dimakam semalaman. Puas mereka mencari Gita seharian kemarin.

"Nak, kamu baik-baik saja?" tanya seorang ibu berseragam pada Gita. Gadis kecil itu tak bisa lagi menjawab. Bibirnya kelu.

"Ya, Tuhan ... badanmu dingin sekali. Apa kamu samalaman disini, Nak?" tanya ibu berseragam itu lagi.

Orang-orang itu membawa Gita kerumah sakit. Memberinya selimut hangat dan pakaian bersih. Makanan layak dan minuman hangat mengisi kembali rongga perut Gita yang kosong. Namun matanya masih sendu dan tak bisa menyembunyikan aura kesedihannya. Mereka membawa gita kesebuah panti asuhan binaan pemerintah daerah setempat dibawah naungan dinas sosial.

Setelah menyaksikan kematian tragis ibunya, Gita menutup diri dari siapapun terutama laki-laki. Dia berusaha menghindar dari sosok kaum adam itu. Walaupun di bersekolah disekolah umum, namun dia lebih banyak mengunci diri dari pergaulannya. Hanya sibuk dengan keterdiamannya. Dalam hatinya terukir rasa sakit yang tak ternyana.

"Aku benci mereka, aku tak suka mereka. Mereka jahat. Mereka membuat aku jadi seorang diri" batin Gita meradang.

Yang dia miliki sekarang hanya selembar foto usang dia dan ibunya, yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Sebuah kenangan yang pernah dia ingat, senyuman ibunya.

******

avataravatar