1 Chapter 01

New York University.

Ara menatap sebal pada pria di sampingnya. Tatapannya memicing dengan sesekali mengeluarkan suara dengusan. Dia berusaha menarik perhatian pria di tersebut, yang tak menghasilkan apa pun.

"Athes!" pekik Ara kencang.

Beberapa orang yang melewatinya, sedikit mencuri pandang sebelum kembali berjalan.

Sedangkan Athes De Madison, pria yang sejak tadi sibuk dengan minumannya hanya melirik sekilas. Dia pura-pura tak memperdulikan Ara.

Ara kembali kesal. Kali ini dia menusuk lengan pria itu dengan jarinya. Meminta perhatian pria itu agar menatapnya.

"Athes, please," mohon Ara dengan suara pelannya. Kedua tangannya menyatu di depan dada, dengan tatapan memelas. Mengerjap lucu seperti tatapan anak kucing yang meminta makan.

Athes mengulum senyum. Dia berusaha menahan diri agar tetap memasang wajah cuek. Meski dalam hati sangat gemas dengan tingkah Ara sejak tadi.

"Athes, kamu benar-benar tidak mau membantuku, ya?" Kali ini wajahnya berubah sedih. Ara benar-benar menatap Athes dengan sendu.

Terdengar tarikan napas panjang dari bibir Athes. Sepertinya dia harus berhenti menggoda Ara yang sudah memasang wajah melas. Athes mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dengan logo rumah sakit terkenal. Dia menyerahkan amplop tersebut tanpa kata pada Ara.

"Athes, Ara minta bantuan, bukan sumbangan," gerutunya dengan bibir mengerucut. Memandang amplop itu dengan jengah.

Athes memutar bola matanya. Temannya ini memang sangat tidak peka dan polos. Atau malah naif? Entahlah. Athes sendiri bingung kenapa bisa bertahan berteman dekat dengan Ara. Selain menyusahakan, Ara memilki pawang yang sangat banyak.

Dulu, Athes sampai masuk rumah sakit setelah melakukan beberapa tes untuk menjadi teman Ara. Hanya teman, dan dia dirawat seminggu. Apalagi menjadi pacar. Athes meringis ngeri tanpa sadar. Dia tetap menyerahkan amplop itu agar Ara mau membukanya.

"Ahhh, serius?" Pekikan di sebelahnya membuat Athes kembali tersadar. Dia mendelik, spontan menutup mulut Ara dengan telapak tangannya yang besar. Athes melirik keadaan kafetaria yang lumayan ramai. Beberapa orang langsung menatapnya dengan raut terganggu.

"Sorry!" ujar Athes pada beberapa orang di sana

Dia kembali menatap Ara dengan kesal. Melihat Ara yang hanya diam dan mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Jangan berteriak!"

Ara mengangguk.

"Jangan histeris lagi setelah ini!"

Lagi, Ara menjawabnya dengan anggukan.

"Jika kamu heboh dan mengundang perhatian orang, aku tidak segan-segan menarik lagi kertas itu," ancam Athes dengan nada rendah.

Ara mengerutkan kening. Memberikan tatapan protes meski tetap mengangguk.

Athes akhirnya melepaskan bekapannya hingga Ara bernapas lega.

"Athes tega sekali," gerutu Ara yang sibuk menarik napas berkali-kali. "Ara susah bernapas."

Athes mengedikkan bahunya pelan. Kembali menikmati minuman dengan tatapan yang menyusuri keadaan kafetaria. Athes memang menghindari menatap Ara lama-lama. Bahaya, pikirnya.

"Terima kasih, ya. Sudah bantu Ara," ujar Ara dengan senyum lebarnya.

"Hmm."

"Bagaimana cara Ara membalasnya?"

Athes berpaling. Menatap Ara yang seakan menunggu jawabannya. Dengan binar jail, Athes menjawab santai. "Jadi kekasihku."

Plak

Ara memukul lengan Athes dengan kesal. Dia melotot dengan bibir yang dimajukan. "Mana bisa begitu!"

"Katanya mau berterima kasih."

"Tapi tidak dengan cara itu. Terus Dave bagaimana?"

"Ya tidak bagaimana," balas Athes santai.

"Athes!" pekik Ara kesal.

Athes mendelik. Dia memberi tanda agar Ara tidak berisik.

"Aku hanya bercanda," akunya setelah Ara kembali tenang.

Ara langsung menarik napas lega. Dia menatap Athes dengan kesal. Ingin memukul lagi, tapi tak berani.

"Ara kira Athes serius," gumamnya pelan.

Athes tersenyum miring. Dia menyudahi tatapannya sekitar, dan beralih menatap Ara dengan lekat.

"Memangnya kamu mau aku serius?" pancingnya.

Ara menggeleng. "Tidak. Athes kan teman Ara. Mana mungkin Athes suka sama Ara. Iya, kan?"

Athes memejamkan matanya rapat.

Teman.

Dia ingin sekali mengumpat kasar. Namun umpatan hanya berakhir di dalam hati. Sudah dikatakannya, Ara terlalu polos dan tidak peka. Teman dekat antara lawan jenis? Mana bisa begitu.

"Athes!"

"Hmm."

"Kamu tidak benar-benar serius, kan?"

"Hmm."

Ara memasang senyum terbaiknya. Dia menyudahi pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal. Fokusnya kembali pada selembar kertas yang sudah dipegangnya.

Ara benar-benar tak sabar memulai hal baru dalam hidupnya

***

Dave berkali-kali menggebrak meja. Kali ini telpon ruangannya ikut jatuh sangking kerasnya Dave memukul. Pria muda di depannya sampai berjengit kaget. Tubuhnya mundur beberapa langkah, takut terkena lemparan barang.

"Sudah aku katakan, teliti! Ini tander besar. Kamu tidak bisa mengerjakannya sembarangan."

"Maaf, Pak!"

"Revisi. Setelah makan siang, kembali lagi. Saya ingin melihatnya."

Pemuda itu mengangguk. Mengambil berkas yang salah dan undur diri.

Dave menghempaskan tubuhnya kembali. Dia menarik napas dan mengatur emosinya yang tak stabil. Sejak dinyatakan lulus Cumlaude, Dave resmi menggantikan ayahnya. Dia menjabat direktur perusahaan Hamington Group yang masih diawasi sang ayah.

Kesibukan yang benar-benar menguras otak dan pikirannya. Entah terhitung berapa kali dia emosi hari ini. Bebannya terlalu berat. Targetnya yang terlalu tinggi selalu menuntut kesempurnaan tanpa cacat. Tak jarang anak buahnya harus berkali lipat mengerjakan lebih keras. Pintu ruangannya terbuka. Seorang wanita cantik mengintip dengan senyum manisnya.

"Boleh saya masuk?" tanyanya.

Dave mendongak. Dia memberikan anggukan pelan hingga wanita itu masuk dengan langkah anggunnya.

Isabella Lalisa. Wanita yang menjadi sekertaris pribadi sekaligus sahabat kecilnya. Wanita itu baru kembali setelah beberapa tahun tinggal di London. Atas rekomendasi keluarganya, Dave menerima Isabella menjadi sekretarisnya. Apalagi bakat wanita itu tak perlu dipertanyakan.

Isabella sangat cekatan dan rapi. Hubungan mereka di kantor pun sangat profesional. Hanya di jam istirahat dan pulang kerja mereka bersikap akrab kembali.

"Ada apa?" tanya Dave setelah Isabella duduk di kursi depannya.

Isabella tidak langsung menjawab. Dia malah memperlihatkan jam di pergelangan tangannya.

"Sudah waktunya makan siang."

Dave mengusap wajahnya kasar. "Aku lupa," akunya.

Isabella tersenyum maklum. Dia jelas mendengar teriakan Dave sejak tadi pagi. Emosi lelaki itu karena pekerjaan yang jelas tidak maksimal.

"Jadi, kita makan siang bersama?"

"Oke," jawab Dave tanpa pikir panjang. Dia segera meraih jasnya dan menyampirkan di lengannya.

Dave memutar meja dan berhenti di samping Isabella yang mendongak menatapnya.

"Ayo, aku sudah lapar!" ajaknya.

Isabella tersenyum lebar. Dia segera berdiri dan mengikuti Dave keluar. Mereka berjalan berdampingan. Tampak serasi di mata karyawannya. Beberapa orang bahkan menebak mereka memiliki hubungan khusus.

Apalagi Dave belum pernah terlihat membawa wanita ke kantornya. Dave juga jarang tertangkap dengan wanita di luar sana, kecuali Isabella. Tak salah jika karyawannya menganggap mereka berpacaran.

"Mereka sangat cocok. Tampan dan cantik," komentar resepsionis pada temannya.

Semua orang di sana mengangguk. Tatapannya mengikuti Dave dan Isabella yang keluar dengan sesekali berbincang santai.

To Be Continued ...

avataravatar
Next chapter