webnovel

Tunai

Hari kedua Ramadan, Bima mengajukan cuti untuk membawa keluarganya jalan-jalan mencari menu berbuka puasa. Laki-laki itu memilih berdamai dengan sang istri dan tak mau memaksakan kehendaknya lagi.

Kemarin saat di rumah ibunya, Bima sudah sangat senang bisa memeluk Annisa sembari tertidur. Hingga azan Subuh berkumandang dan dia terbangun sendirian.

Mereka sepakat pergi ke sebuah mal dsn masuk ke sebuah restoran cepat saji, lalu memilih beberapa menu. Saat Annisa sedang asyik melihat apa yang ingin di pesannya, sementara Attar duduk di pangkuan Bima sembari bermain, tiba-tiba saja ada seseorang yang menghampiri mereka.

"Hai. Masih ingat aku?" ucap perempuan cantik itu sembari tersenyum manis dan duduk di sebelah Bima.

"Eh, ini kamu, Dy?" tanya Bima seraya menatap wanita itu dari atas hingga ke bawah. Dyara terlihat berbeda sekarang, lebih cantik dan juga anggun dengan hijab kekinian.

"Iya, Bima. Kenapa? Pangling, ya?" ucap wanita itu bercanda.

"Iya, kirain Ayana Moon," ucap Bima membalas candaan itu.

"Ih, kamu kok tau Ayana? Nge-fans, ya?" tanya Dyara penasaran. Laki-laki setipe Bima biasanya jarang melihat berita yang seperti itu.

"Taulah. Anak-anak di kantor suka ngomongin," jawab Bima santai.

Mereka tergelak berdua dan melanjutkan cerita. Dyara bahkan bertanya bayi yang berada di pangkuan Bima dan mengatakan ingin menggendongnya.

Bima sendiri bahkan lupa memperkenalkan Annisa dan malah asyik bercanda dengan wanita lain. Dyara adalah teman sekolahnya semasa SMA. Wanita itu memang berkulit putih dan bermata sipit. Ada banyak yang menyukai termasuk dia sendiri. Sayang, laki-laki itu ditolak karena fisiknya yang tidak menarik, kurus juga berkulit gelap dengan rambut yang sedikit ikal.

"Eh, iya sampai lupa kenalan sama Mbaknya," ucap Dyara sembari mengulurkan tangan ke arah Annisa.

Annisa menerima uluran tangan wanita itu dan menggenggamnya lembut.

"Istri kamu cantik banget ya, Bim. Tangannya halus," puji Dyara tulus.

"Iya, dong. Siapa dulu suaminya," jawab Bima.

Annisa hanya mengulum senyum singkat dan manatap mereka berdua secara bergantian. Tampaknya, Bima terlihat senang sekali bertemu dengan Dyara ini.

"Ayo, Attar sama Ibu. Kita ke sebelah sana ada mainan," ucap Annisa seraya meraih putranya dan meninggalkan mereka berdua. Sekalipun dia menyimpan sakit hati kepada suaminya, tetap saja ada rasa tak suka saat melihat laki-laki itu tertawa bersama wanita lain.

"Istri kamu pendiam banget ya?" tanya Dyara penasaran. Setahunya, semasa sekolah, Bima adalah tipe periang yang suka bergaul dengan banyak orang. Tenyata setelah menikah, mendapat jodoh yang berbeda sifat.

"Dia memang pemalu," jawab Bima singkat. Mereka melanjutkan perbincangan hingga akhirnya, dia menawarkan Dyara untuk memilih menu untuk berbuka.

"Makasih, tapi aku udah beli juga. Aku pamit dulu. Senang banget ketemu sama teman lama," ucap Dyara tulus.

"Aku seneng juga ketemu kamu," jawab Bima sembringah.

"Eh, iya. Ini kartu namaku. Kalau misalnya ada perlu bisa hubungi aku, ya," kata Dyara sembari mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Bima menerima itu dan kaget saat melihatnya.

"Kamu dokter?"

"Iya. Aku baru pindah ke sini karena lulus PNS. Tadinya aku kontrak di rumah sakit swasta di kota sebelah," jelas Dyara.

"Oh, okelah kalau begitu. Kapan-kapan kalau ada yang sakit nanti kami berobat sama kamu. Pasti cepat sembuh kalau dokternya cantik," canda Bima.

Dyara tergelak sembari memukul lengan laki-laki itu. Itu membuat Annisa di ujung sana mendelik tak suka. Sejak tadi dia memang menemani Attar bermain, tetapi matanya tak lepas mamantau ke arah sang suami. Apakah dia sedang cemburu?

"Bye, Bima."

"Bye."

Dyara bergegas keluar dan menghilang di antara kerumunan orang. Bima mengambil ponsel dari saku celana dan menyalin nomor ponsel wanita itu. Kadang-kadang laki-laki itu suka terselip jika diberi kartu nama oleh beberapa kenalannya.

"Ayo, kita pulang," ajak Bima setelah menyelesaikan transaksi pembayaran.

Mereka sepakat akan berbuka puasa di rumah karena akan Salat Tarawih di Masjid terdekat. Annisa menurut dan mereka keluar dari restoran menuju pulang.

"Kamu gak beli makanan yang lain?" tanya Bima lagi.

"Gak, cukup. Puasa biasanya lapar mata. Nanti malah mubazir gak kemakan," jawab Annisa.

"Masih ada waktu. Mau lihat-lihat yang lain dulu?" tawar Bima. Dia mengajak Annisa ke outlet baju anak.

"Gak usah. Langsung pulang aja," jawab Annisa.

Bima meraih lengan istrinya lalu membawa mereka ke sebuah outle baju anak.

"Pilih aja buat Attar. Cari yang kamu suka," katanya sembari meraih stroller dan membiarkan istrinya mencari apa yang disuka. Laki-laki itu hanya mengikuti dari belakang.

Annisa memilih beberapa kaus untuk putranya. Sebenarnya, pakaian Attar cukup banyak karena Ratih kerap mengirimkan hadiah untuk cucunya.

Sekarang, setiap minggu wanita paruh baya itu meminta agar mereka menginap di sana.

Bima menolak permintaan ibunya secara halus dan menjelaskan mengapa mereka belum bisa memenuhinya. Pekerjaan laki-laki itu cukup banyak, sehingga mendekati hari Raya nanti, dia akan mengambil cuti panjang agar bisa menginap di rumah sang ibu lebih lama.

"Di sebelah sana ada butik baju gamis. Ibu suka ke situ. Kamu mau lihat?" tanya Bima kepada istrinya.

"Gak usah. Makasih," tolaknya. Annisa tak mau menerima hadiah apa pun dari laki-laki itu kecuali nafkah belanja setiap bulannya.

"Lihat aja dulu mana tau cocok. Mumpung aku lagi santai. Besok-besok kayaknya pulang malam lagi. Kantor udah mau sosialisasi program baru, jadi aku harus training beberapa orang," jelas Bima.

Tugasnya akan bertambah di kantor, tapi itu berarti dia akan mendapat bonus di luar gaji setiap bulannya. Proyek program ini harus berhasil karena perusahaan akan berkembang pesat jika sistemnya berjalan lancar.

Bima berencana ingin membelikan Annisa sesuatu dengan hasil bonus itu, sekalipun harus berkorban waktu kerja.

"Ayo, ikut aja." Laki-laki itu meraih lengan sang istri dan mengajaknya masuk ke butik yang dimaksud.

Bima kembali membiarkan Annisa memilih apa yang disukai, sementara dia duduk di kursi tunggu sembari mengajak Attar bermain. Untunglah bayi itu tidak rewel kali ini.

Setengah jam Bima menunggu dan Annisa masih memilih mana yang akan dibelinya. Wanita itu sebenarnya menyukai beberapa model dengan warna berbeda. Hanya saja ketika melihat label harga yang tertera, niatnya urung.

Harga satu gamis ini sama dengan uang belanja selama satu minggu di rumah ayahnya dulu. Annisa jadi teringat akan beliau ketika hendak membelinya.

"Kenapa? Gak suka?" tanya Bima yang tiba-tiba saja datang dan berdiri di belakangnya.

Annisa terkejut dan baju yang berada di genggamannya terjatuh. Bima meraih itu dan mengembalikannya ke rak display.

"Kalau gak ada yang cocok, kita cari ke tempat lain. Di sini memang agak murah, jadi mungkin kamu kurang suka," jelasnya.

"Eh, gak usah. Ini saja," jawab Annisa cepat. Bima bilang ini harganya murah? Bahkan yang dia pakai sekarang harganya hanya sepertiga dari gamis di sini.

"Kalau gitu ambil aja. Satu atau dua juga boleh. Nanti hari raya kita cari lagi," kata Bima meyakinkan.

Selama ini, Annisa tak pernah meminta dan hanya menerima pemberiannya setiap bulan tanpa mengeluh. Maka itulah, dia akan memberikan hadiah sesekali. Hanya saja, Bima tak pandai memilih sehingga dia membawa istrinya langsung ke outlet.

"Ini," kata Annisa mengambil satu gamis berwarna biru dengan renda di lengan.

"Satu aja?"

"Iya."

"Oke," kata Bima menganggapi, tetapi tangannya meraih satu gamis lagi berwarna hijau.

Annisa tak dapat mengelak dan akhirnya pasrah ketika Bima membayar semua, sementara dia menggendong Attar karena sudah tak mau didudukan di stroller.

"Buat kamu." Bima menyodorkan dua paper bag kepada istrinya.

"Makasih," kata wanita itu pelan.

"Sekarang kita pulang. Kayaknya Attar ngantuk." Bima meraih Attar dari gendongan Annisa.

Tiba di parkiran, Attar tertidur dengan lelap sehingga membuat kedua orang tuanya mengulum senyum. Bima membukakan pintu untuk istrinya dan mengendarai mobil dengan hati-hati.

Tiba di rumah, Annisa langsung meletakkan Attar di kamar dan mengganti pakaiannya dengan pelan agar tak terbangun. Setelahnya dia memasukan bayi mungil itu ke dalam boks.

Annisa keluar kamar menuju dapur dan mempersiapkan makanan yang mereka beli tadi. Saat azan berkumandang, mereka berbuka puasa dalam diam dan menunaikan tiga rakaat masing-masing. Wanita itu jadi teringat dengan mendiang sang suami dan ayahnya karena biasanya mereka akan salat berjamaah.

Setelah melipat sajadah, Annisa merebahkan diri di kasur. Sebentar lagi akan masuk waktu Isya dan dia akan ke masjid untuk menunaikan Salat Tarawih.

"Nis," panggil Bima di luar pintu.

"Ya?" jawab wanita itu sembari bangun dan membuka sedikit daun pintu.

"Attar masih tidur?" tanya Bima gugup Sebenarnya dia ingin masuk ke kamar, hanya saja bingung bagaimana caranya.

"Memang dari tadi dia tidur," jawab Annisa.

Bima terdiam beberapa saat, lalu akhirnya dia berkata lagi, "Gamisnya cocok gak?"

"Belum dicoba."

Bima memberanikan mendorong gagang pintu dan mengintip. Melihat Annisa yang diam saja, akhirnya dia bergegas masuk.

"Cobain dulu. Aku mau lihat," katanya sembari berjalan menuju ke arah boks bayi.

Annisa mengambil satu paper bag dan hendak ke luar kamar untuk mengganti pakaiannya, ketika Bima kembali berkata, "Ganti di sini saja. Aku gak lihat."

Wanita itu membuka pintu lemari dan berganti pakaian di belakangnya. Setelah selesai, dia menutupnya lagi dengan ragu.

"Cantik," puji Bima berjalan mendekat. Dia masih berusaha hingga kini, hanya saja menggunakan cara yang halus.

"Nisa. Aku minta maaf atas semua yang pernah aku lakukan. Aku berdosa sama kamu. Aku udah nyakitin lahir batin kamu dengan seenaknya," ucap laki-laki itu seraya menarik napas panjang.

"Aku cuma mau ngelindungin kamu, menebus semua kesalahan dengan membahagiakan kalian. Jadi, izinkan aku melakukannya," lanjutnya lagi.

Bima mulai meraih jemari istrinya dan merengkuh tubuh yang sedang gemetaran itu.

"Aku gak nyakitin kamu lagi. Aku janji," ucap Bima sungguh-sunguh seraya meraih dagu istrinya.

"Kamu percaya?"

Annisa menggeleng. Dulu dia pernah menaruh harap kepada Bima, tetapi laki-laki itu malah menghianatinya.

"Beri aku kesempatan kedua, Nisa. Bukankah Tuhan itu Maha Pengampun. Lalu kenapa kamu gak mau?"

Setetes air mata Annisa terjatuh di jemari sang suami. Bima mengusapnya dengan lembut, lalu memeluk wanita itu erat.

Ketika istrinya terdiam dan dan tak memberikan respons, Bima mengangkat tubuh mungil itu dan menggendongnya ke tempat tidur.

"Nisa, ingatlah satu hal bahwa ... akulah suami kamu saat ini. Kepadakulah, kamu harus berbakti. Dan kalian yang akan menjadi tanggung-jawabku."

Annisa masih menggeleng karena belum mampu menerimanya.

"Apa yang pernah aku lakukan dulu kepadamu adalah dosa besar yang kelak akan aku pertanggungjawabkan. Tapi apa yang akan kita lakukan malam ini adalah ibadah, ladang pahala."

Bima mengusap rambut Annisa, lalu membisikkan sebait doa. Harusnya mereka menunaikan salat dua rakaat, tetapi laki-laki itu sudah tak sabar. Dengan pelan, dia membuka gamis yang dipakai sang istri sembari membisikan kata-kata cinta agar tak ada penolakan lagi.

Seketika Annisa menjadi gemetaran dengan perasaan tak menentu, karena rasa takut itu kembali muncul. Dia memejamkan mata ketika sang suami menuntut haknya.

Bima mengecup dahi Annisa dengan lembut dan menyentuh pipi istrinya dengan penuh rasa sayang. Maka di malam itu, haknya terpenuhi tanpa banyak perlawanan.

***

Baca ceritaku yang lain, ya. Pengantin Pengganti, Me & My Ex, Pesona Bos Tampan.