webnovel

Misteri Sebuah Gedung

Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya.

"Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Dana yang lebih mumpuni, teknologi yang lebih canggih. Juga..." dia menjeda ucapannya.

"Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi.

"Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."

Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya.

"Apa itu masuk akal?"

"Anda lebih tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.

Riana duduk di kursinya, menopang dagu, mengetuk-ngetuk jari di atas meja.

"Jadi, mengapa mereka mengincar putraku, Paul?"

Pria yang dipanggil Paul itu berdehem pelan, "Maaf, tapi kami tidak menemukan petunjuk apa pun tentang itu."

Riana menghela napas, "Informasi apalagi yang kau ketahui?"

"Keamanan mereka mengendur, mungkin karena pergantian pimpinan juga mengganti beberapa ketentuan. Kurasa, jika begitu terus akan mudah untuk kita menyusup. Namun, masalahnya..." Paul lagi-lagi menjeda ucapannya.

"Apa?"

Pria itu meraih tablet, memperlihatkan beberapa foto yang berhasil dia ambil pada Riana.

"Pelatihan para calon prajurit lebih keras dibanding saat masa kita. Mereka tidak tanggung-tanggung."

Penjelasan Paul membuat Riana kembali menghela napas. Wanita itu menyugar rambutnya yang dia biarkan tergerai itu ke belakang.

Mendadak, Riana merasa pening. Dia harus berpikir rasional sekarang. Satu langkah salah akan menghancurkan semuanya.

"Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Paul.

Riana merapatkan bibir, menggeleng tidak tahu. Jika dirinya bertindak sekarang, dia tidak tahu resiko apa yang akan dihadapi ke depannya.

"Kita bisa mulai mempersiapkan rencana penyerangan-"

"Tidak! Jangan gegabah. Berapa banyak orang yang mereka punya?"

"Perkiraan kami, sekitar tiga ribu orang."

"Lalu, berapa orang yang kita punya?"

"Lima puluh orang, Nona."

"Dan, kau berniat menyerang mereka dengan perbandingan sebesar itu?!"

Paul mengangguk mantap. Membuat Riana hampir saja melemparkan walkie-talkie kepada Paul, namun urung.

"Lalu, apa yang akan Anda lakukan?" Paul mengulang pertanyaan.

"Kupikir mengawasi mereka sedikit lebih lama adalah keputusan yang tepat. Sembari kita mencari celah menghancurkan mereka." putus Riana.

"Tapi, putramu terancam." sanggah Paul.

"Aku tahu. Karena itu, aku ingin meminta seseorang mengawasi putraku diam-diam. Dan, selalu melapor setiap kali ada hal yang mencurigakan."

"Siapa yang Anda inginkan?"

"Siapa pun itu, yang bisa diandalkan."

Paul mengangguk, pria itu tidak membantah karena paham. Bahwa Riana tidak akan pernah membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak hal, "Akan segera saya siapkan."

Paul akan segera berlalu, namun suara Riana lebih dulu menginterupsi.

"Ada satu hal lagi, Paul," Paul berbalik, "Claire. Bisakah kau mencari tahu tentang dia? Dia... awal mula dari segalanya."

~~~~~~

Sementara Randu masih berkutat dengan dunianya. Menelusuri gedung. Mencari tahu apa yang dilakukan ibunya di sini.

Semakin Randu masuk, semakin pemuda itu tidak mengerti.

Tempat ini dipenuhi senjata. Senapan, bom, misil, rudal, dan senjata lain yang tidak Randu ketahui namanya.

Selain senjata juga ada perlengkapan tempur individu. Tempat ini lebih pantas jika disebut markas militer.

Randu membuka salah satu ruangan, begitu pintu terbuka dia disuguhkan berbagai macam makanan juga minuman.

Di dalam ruangan itu juga terdapat pintu lain. Mungkin pintu penghubung antar ruangan.

Dengan langkah pelan, Randu membuka kembali pintu di dalam ruangan tersebut. Dan, lagi-lagi yang dia temukan adalah tempat penyimpanan.

Kali ini adalah tempat penyimpanan peluru. Dengan berbagai jenis dan juga ukuran.

Randu menghela napas kasar, tak ada satu pun hal di sini yang bisa dia jadikan petunjuk.

Pemuda itu juga tidak menemukan orang lain selain ibunya dan juga seorang pria berkepala plontos. Juga beberapa orang dari ruang kendali tadi.

Seharusnya tadi Randu ikuti saja ibunya. Bukan malah kembali ke luar, memenuhi rasa penasarannya. Yang ternyata tidak membantu apa-apa.

Kenapa pula ini menjadi begitu rumit. Padahal, jika ibunya benar selingkuh seperti yang Randu pikirkan. Mungkin akan lebih mudah untuk pemuda itu.

Randu hanya perlu menyerat ibunya pergi dari sini. Dan, meninggalkan pria yang menjadi kekasih gelapnya.

Tapi, rupanya ini sangat jauh dari bayangan Randu. Gedung ini, dan seluruh misteri di dalamnya membuat pemuda itu sakit kepala.

"Argh!! Kenapa gak ikutin aja, sih, tadi?!" Randu putus asa. Memilih untuk pergi, memutuskan untuk mencari tahu nanti.

Baru saja Randu menutup pintu, suara langkah kaki menyapa telinganya. Dentang kaki yang begitu berat.

Randu yang tidak ingin ketahuan terpaksa kembali masuk ke dalam ruangan. Mengintip sedikit lewat celah pintu.

Tiga orang pria berjalan beriringan. Ketiganya sama-sama terlihat sangar. Tubuh mereka proposional, namun raut wajah mereka datar.

Randu pikir mereka akan tetap berjalan lurus. Namun, ternyata mereka berbelok hendak masuk ke dalam ruangan tempat Randu bersembunyi.

Randu yang panik ketar-ketir mencari tempat sembunyi. Lalu, memutuskan untuk masuk ke ruangan tempat penyimpanan peluru.

Ketiga pria itu masuk, Randu menajamkan indera pendengarannya. Siapa tahu, ia bisa mendapatkan informasi dari orang-orang itu.

"Kalian tahu kenapa aku memanggil kalian ke sini?" tanya Paul kepada kedua orang lainnya.

"Jangan bertele-tele, Paul."

"Nona memintaku menempatkan seseorang untuk diam-diam mengawasi putranya." jelas Paul.

"Putra Nona?" tanya Randu dalam hati.

"Tapi, kami tidak pernah melihat wajahnya." sahut pria bersuara serak.

"Ah, benar juga." Paul membenarkan.

"Nona tidak pernah memberitahu kita tentang putranya. Kita hanya mengetahui bahwa ia memiliki seorang putra. Bahkan kami berpikir bahwa kabar itu hanyalah sebuah rumor." ujaran itu dilontarkan si pria bersuara berat.

"Kenapa mereka gak sebut nama aja gitu biar lebih gampang!" gumam Randu menggerutu.

"Jangan bahas itu," Paul menyodorkan sebuah foto, "Nona sungguh memiliki seorang putra. Namanya Randu Fardian."

"What?!!"

Randu menutup mulut tak percaya. Jadi sepanjang pembicaraan mereka, seseorang yang dipanggil Nona adalah Riana ibunya?

"Kenapa tiba-tiba Nona meminta kami mengawasi putranya?" si pria bersuara serak bertanya.

Untuk sesaat Paul terdiam, "Mereka... mengincarnya. Rey, Felix, kalian berdua tentu tahu. Siapa mereka yang kumaksud."

Lalu, 'mereka' yang dimaksud para pria itu siapa? Apa orang yang sama yang dia temui beberapa saat lalu? Dua pria yang mendapat bogeman dan tamparan dari sang ibu?

Tapi, apa hubungannya?

Randu termundur, hingga tak sadar dia menabrak rak hingga dirinya jatuh dan menimbulkan bunyi debaman.

Ketiga pria itu seketika menoleh ke asal suara. Sadar mungkin ada penyusup, ketiganya sigap segera menghampiri ruangan.

Randu mengumpat dalam hati, celingak-celinguk mencari sesuatu yang bisa menyembunyikan tubuhnya.

Merutuki dirinya sendiri, bagaimana dia bisa seceroboh ini dalam situasi genting. Jika begini, Randu akan ketahuan.