webnovel

Sepuluh

Suasana ruangan Koby menjadi Hening. Koby dan Anna memandangi Marie yang tengah menundukkan kepalanya dengan serius. Han hanya terdiam, menyilangkan kaki, dan tangan kanan memegang dagunya.

Pernyataan Marie mengenai Ibunya yang membunuh Ayahnya tidak mendasar bagi Anna dan Koby. Tanpa alat pembunuhan, bukti, dan saksi pada pembunuhan Tuan Baker, kasus ini tidak akan ditindak lanjuti oleh kepolisian. Itulah yang terlihat dari pandangan Marie. Kenyataannya, dalam pikiran dua orang di hadapannya, semua cerita Marie bisa dijadikan sebuah petunjuk yang berharga dan mengurangi poin-poin tidak penting. Hanya satu kata dalam pikiran Anna dan Koby. Hypnosis.

Hipnosis bisa dilakukan oleh siapa pun termasuk seorang anak sekolah dasar. Anna yakin tidak menemukan keanehan apa pun dalam tindakan paman Marie. "Nona Baker, apakah paman anda datang seorang diri memenuhi undangan ayah anda? Atau beliau datang atas kemauannya sendiri?" Tanya Anna.

Marie terperanjat. Marie mencoba mengingatnya dengan tangan kanan di dagu dan pandangan matanya ke arah kanan atas. "Saya rasa Paman Alex datang sendiri. Kalau tidak salah, enam bulan yang lalu, sebelum malam natal. Waktu itu kami sekeluarga selesai sarapan. Ayah awalnya menolak dengan keras dan mengusirnya, tapi Paman Alex membisikinya sesuatu. Saya tidak tahu apa yang Paman Alex katakan. Saya hanya ingat setiap Paman Alex datang, Ayah tidak pernah mendengar panggilan saya maupun Brandon. Terasa seperti berbicara dengan patung." Jawab Marie dengan wajah kebingungan memandangi Anna dan Koby secara bergantian.

Anna melirik Koby dan sebaliknya. Mereka berdua secara bersamaan menganggukkan kepalanya. "Nona Baker, apakah hari ini Paman anda datang?" Tanya Koby menatap tajam Marie.

Marie memandangi Koby dengan wajah terkejut. "Tidak. Beliau menginap sejak kemarin. Beliau akan tinggal di rumah selama beberapa hari. Ada apa?" tanyanya dengan wajah penasaran. "Apakah Paman saya yang melakukan pembunuhan tersebut?" tanyanya lagi seraya menatap tajam Koby yang tengah menulis sesuatu di atas kertas.

"Tidak ada bukti yang menunjukkan hal tersebut. Apakah anda berkenan makan siang bersama kami?" tawar Anna seraya tersenyum.

Marie menggelengkan kepalanya. "Saya harus segera pulang. Banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Nona Anna Holmes, setelah ini, saya ingin kerja sama kita tetap berlangsung. Demi Ayah saya." Marie memandangi Anna dengan wajah memohon.

Anna tersenyum lembut mengedipkan kedua matanya sekali dan memandangi Marie dengan tatapan lembut. "Tentu. Saya tidak akan memutuskan kontrak, kecuali ada pelanggaran ataupun hal lainnya."

Marie tersenyum dengan tenang. "Terima kasih. Saya harus kembali. Nona Holmes, apakah anda berkenan minum teh di kediaman saya hari minggu besok?" tawar Marie seraya berdiri.

"Saya akan datang." Jawab Anna seraya berdiri.

Marie menganggukkan kepalanya seraya tersenyum memandangi Anna. Anna dan Han mengantar Marie menuju pintu keluar dari bangunan. Koby yang berpakaian rapi mengambil topinya dan meminta induk semangnya mengantar sebuah telegram.

Tangan kiri Koby melingkar di pinggul Anna. Anna yang memandangi punggung Marie yang menjauh sedikit terkejut dengan perlakuan Koby yang mendadak. "Nona muda, apakah anda akan ikut saya menikmati makan siang dan menonton teater?" tawar Koby.

Anna mendorong tubuh Koby menjauh dari tubuhnya. "Terima kasih. Saya harus bersiap pergi ke kediaman Smith. Apakah anda tidak ingin pergi ke sana?" Tanya Anna dengan tatapan menyelidik.

Koby menunjukkan wajah kecewanya. "Kenapa anda datang ke pestanya? Kalian berdua sudah tidak memiliki hubungan apa pun. Bukan Anna Holmes jika menolak undangan pesta. Kita bertemu di sana. Sampai jumpa." Koby menepuk kepala Anna seraya tersenyum dan pergi.

Han memandangi kelakuan Koby dengan wajah kesal. Anna hanya terdiam memandangi Koby yang berjalan berlawanan arah dari perginya Marie. Anna menghela napas, berbalik memandangi Han, berkecak pinggang, dan tersenyum.

Anna mengembuskan napas berat. "Jangan besar kepala saat aku mengatakan tubuhmu lebih bagus dari Tuan Harris. Kita mampir ke toko roti dan pulang." Ajak Anna.

Han tersenyum membungkukkan badannya dan kiri menyentuh dadanya. "Saya akan tetap menganggap hal tersebut sebagai pujian. Jika diperbolehkan, saya ingin mendengar rencana anda." Ujarnya.

Anna berdiri hendak memasuki mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan depan bangunan rumah yang disewa oleh Koby. "Lindungi aku seperti biasanya." Angin kecil menyentuh pipi kanan Anna. Lubang kecil baru membekas di tembok belakang Anna.

Anna menoleh apa yang dia rasakan dan segera menunduk. "Han!" panggilnya. Han menganggukkan kepalanya dan mengejar orang yang ingin membunuh nona mudanya. Anna membuka roknya, sebuah kantong senjata berada di pahanya. Anna segera menyusul Han setelah pelayannya memberi tanda dari jendela lantai dua.

Sebuah bangunan berlantai dua yang terletak di seberang jalan dari bangunan rumah Koby adalah bangunan kosong yang ditinggalkan dan masih mempertahankan dindingnya tanpa di cat. Hanya pintu kayu yang menjadi pintu masuk dan jendela hanya terpasang di lantai satu.

Anna memasukinya dengan revolver yang sengaja dia simpan. Cahaya matahari menjadi penerang di bangunan kosong tersebut. Debu dan aroma jamur menyambut kedatangan Anna. Dia segera menuju lantai dua setelah menemukan tangga yang tidak jauh dari pintu masuk.

Seseorang berpakaian serba hitam terduduk di atas lantai. Han berdiri di depannya mengawasi. Anna berdiri di samping kiri Han. Orang serba hitam mengenakan penutup wajah. Anna menghampirinya, berjongkok, dan membuka penutup wajahnya.

Anna mengerutkan dahinya setelah menyingkirkan penutup wajah orang yang terduduk di hadapannya. "Bangunkan dia!" titahnya seraya berdiri. Anna membalikkan badan dan memijit pelipisnya.

"Nona muda." Panggil Han. Anna membalikkan badannya seraya tersenyum. Seorang laki-laki berusia empat puluhan, rambut hitam panjangnya terikat dengan asal, berjanggut, dan tatapan mata yang tajam menatap lurus ke Anna.

"Siapa yang memerintah Anda?" Tanya Anna. "Tembakkan anda tidak mungkin meleset. Pasti ada seseorang yang memerintah anda untuk tidak mengenai saya." Imbuhnya. Laki-laki itu hanya terdiam dan memalingkan wajahnya.

Anna mengembuskan napas panjang. Tangan kirinya membantu tangan kanan memasukkan mulut revolver Anna ke mulut laki-laki tersebut. "Saya bukan orang yang memiliki kesabaran tinggi. Tolong katakan, siapa yang memerintah anda?" Tanya Anna lagi.

Laki-laki tersebut tidak menunjukkan ketakutan. Tatapan tajam matanya memandangi Anna. Beberapa detik terus berputar dan laki-laki itu tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan. Anna menjauhkan dirinya. "Lepaskan dia! Kita tidak punya banyak waktu." Perintah Anna seraya membelakangi Han dan laki-laki tersebut.

"Nona muda, apa anda yakin ingin melepasnya?" Tanya Han dengan wajah kebingungan. Anna tersenyum seraya meraih tangan kanan Han dan menggenggamnya dengan erat. Han tidak menunjukkan keterkejutannya. Dalam hati dia ingin berteriak senang. Namun, harus terhenti saat Anna menyerahkan revolver di atas tangannya.

"Tembakan ini pada wajahku. Dia akan puas jika ada luka sedikit." Ucap Anna dengan tenang. Han menganggukkan kepalanya. Anna berjalan mundur dan menjauh dari Han.

Han mengembuskan napas panjang. Laki-laki yang masih terduduk di atas lantai hanya mengerutkan dahi dan menggesekkan giginya. Han mengarahkan revolver ke Anna yang telah berdiri sejauh lima meter darinya. "Hentikan!" teriak laki-laki itu dengan keringat dingin di wajahnya. Han dan Anna memandangi laki-laki tersebut dengan wajah terkejut.

"Seperti yang anda katakan, saya diperintah agar tembakan saya tidak mengenai anda sedikit pun. Jangan buat diri anda terluka hanya karena saya melaksanakan perintah beliau." Imbuhnya seraya menatap tajam Anna.

Anna tertawa lirih. "Lakukan, Han!" Perintahnya. Han menoleh ke Anna. Tanpa Ragu Han menarik pelatuk dan suara tembakan menggema ke seluruh bangunan. Anna tetap berdiri dan menatap lurus Han. Laki-laki itu memalingkan wajahnya setelah mendengar letusan tembakan.

"Anda pasti gila!" cerca laki-laki tersebut. Dia memandang Anna dengan wajah terkejut. Anna hanya tersenyum puas membiarkan darah mengalir di pipi kanannya. ���Rumor itu benar. Anna Holmes adalah orang yang gila akan kematian. Kenapa anda melakukannya? Menggores kulit anda berarti melanggar kesepakatan beliau." Tambahnya.

"Jika seperti itu, beritahu saya. Siapa yang memerintah anda?" Tanya Anna seraya duduk di sebelah laki-laki tersebut. "Saya hanya ingin tahu. Luka ini hanya goresan kecil dan bisa ditutupi dengan riasan. Katakan, siapa yang memerintah anda?" Laki-laki tersebut hanya tersenyum dan memandang rendah Anna.

Anna hanya tertawa lirih dan berdiri. "Baiklah. Apabila keberuntungan berada dipihak anda, kita akan bertemu lagi. Mari kita pergi, Han!" Ajak Anna seraya mengambil revolver dari tangan Han.

Anna mengangkat gaunnya dan mengembalikan revolver ke kantung di pahanya. Han mencoba menutupinya dengan tubuhnya. "Nona muda, tidak baik seorang gadis mempertontonkan pahanya. Nona muda, sejak kapan anda membawa senjata api?" Tanya Han dengan wajah penasaran.

Laki-laki tersebut memijit pelipisnya dengan wajah muram. "Beliau akan membunuhku." Decaknya.

Alunan musik dansa menggema ke seluruh ruangan. Orang-orang yang mengenakan topeng, setelan jas, gaun, dan perhiasan terbaik mereka. Pandangan mereka tertuju pada pintu masuk.

Dua orang berbeda jenis kelamin berdiri di tengah pintu masuk. Laki-laki bertubuh jangkung mengenakan setelan texudo hitam, rambut klimis, topeng hitam berlapis emas menutupi sebagian wajahnya, dan bibir merahnya membentuk senyuman tipis. Di sebelah kirinya, orang yang menggandeng lengannya dengan erat. Seorang perempuan menenakan gaun dengan warna senada bermotif mawar dan bunga mawar merah menjadi ikat pinggang di pinggulnya, rambut coklat dibiarkan tergerai hingga menutupi seluruh punggungnya, dan topeng hitam berlapis emas menutupi sebagian wajah. Senyuman lebar dan menunjukkan kebanggaan terlihat di bibirnya. Mereka berdua diikuti oleh seseorang yang mengenakan topeng coklat muda dan mengenakan setelan pakaian kepala pelayan.

"Banyak sekali orang yang datang. Anna, lebih baik kita tidak berpisah." Bisik Ardian dengan wajah menatap lurus ke depan. Anna hanya tersenyum dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Orang-orang yang sebelumnya memandangi mereka dengan tatapan terpana memulai perbincangan dengan Anna dan Ardian Holmes.

"Apakah itu Holmes bersaudara? Seperti biasa mereka terlihat seperti sepasang kekasih." Bisik salah satu tamu

"Sudah pasti itu Holmes bersaudara. Apakah mereka sungguh saudara kandung? Banyak rumor mengenai hubungan terlarang diantara keduanya." Bisik seorang laki-laki ke teman sebelahnya.

"Apa Nona Anna Holmes memutuskan pertunangannya agar bisa bersama dengan kakak laki-lakinya?" Tanya orang lain lagi.

"Kenapa Keluarga Smith mengundang mereka setelah kejadian tersebut?" Tanya tamu lain.

Bisikan tamu undangan yang datang hanya seperti angin berlalu bagi kakak beradik tersebut. Telinga mereka berdua telah terbiasa. Mereka berdua berhenti di dekat sebuah piano yang di pojok terdalam ruangan yang besar itu.

Seorang laki-laki berambut hitam dan putih klimis, mengenakan setelan texudo biru tua, dasi kupu-kupu melingkari lehernya, dan mengenakan topeng putih berlapis emas menutupi sebagaian wajahnya. Senyuman tersungging di mulutnya menghampiri Anna dan Ardian.

"Saya senang anda berdua bersedia memenuhi undangan pesta dansa saya." Sapanya dengan ramah.

Anna melepaskan genggaman tangannya di lengan Ardian. Ardian dengan senyuman di wajahnya mengulurkan tangan kanannya. "Terima kasih banyak atas undangan anda, Tuan Charles Smith."

Tuan Smith menerima uluran tangan Ardian. Mereka bersalaman dengan kuat. Anna sedikit terbatuk melihat kedua orang tersebut yang tidak segera saling melepaskan. Tuan Smith menatap ramah Anna dan menyalaminya.

"Andrew sedang menyiapkan diri. Nona Holmes, apakah anda berkenan duduk di sampingnya? Hanya untuk penampilannya malam ini." tawar Charles Smith.

"Ayah, jangan memaksanya untuk melakukan hal yang tidak dia sukai. Meskipun dia terkenal, bukan berarti dia ingin muncul di hadapan orang lain." Seorang laki-laki berambut pirang, mengenakan setelan jas hitam, dasi kupu-kupu melekat di lehernya, dan topeng keemasan menghiasi sebagian wajahnya. "Anna, tidak. Nona Holmes, anda tidak perlu menghiraukan permintaan Ayah saya." Ujarnya seraya berjalan menghampiri mereka. Pandangannya terus menatap Anna.

Han berdiri di belakang Anna dalam jarak yang sangat dekat. "Nona muda, laki-laki itu tidak ada di sekitar tempat ini." bisiknya. Anna hanya menganggukkan kepalanya.

Anna tersenyum memandangi Andrew Smith. "Tentu, Tuan Andrew Smith. Anda sangat mengenal saya. Apa yang akan anda mainkan? Saya selalu mengagumi permainan piano anda."