1 Bab 2 "Manis, OM"

Arka kembali ke kamar disusul para sahabat yang ternyata juga ada papanya. Mereka masih sama-sama diam karena melihat Arka sedang berusaha menahan marahnya. Arka tahu Daren memang suka sekali mengerjainya, tapi kali ini ia tidak bisa menebak jika lelaki itu akan membuatnya mencium pembantu di rumhnya. Dan parahnya lagi di hadapan banyak orang. 'Sialan,' umpat Arka dalam hati. Ingin sekali dia memberi Daren pelajaran. Tapi tidak mungkin, ia tidak akan melakukan kekerasan jika itu bukan untuk masalah yang serius.

"Ternyata lo gercep juga ya Ka," kata Adrian yang sengaja ingin melihat reaksi Arka setelah kejadian tadi.

"Sialan si Daren," maki Arka. Yang dimaki justru tertawa.

"Gimana rasanya?" tanya Restu.

"Manis," jawab Arka yang disambut gelak tawa.

"ARKA!"

Tamatlah riwayat Arka hari ini.

"Iya pa." Arka menghela napas panjang. Ia sudah tahu kalau papanya pasti salah memahami kejadian tadi. Ia sudah bersiap dengan semua kemarahan sang papa juga mama.

"Gimana rasanya?" tanya Dharma pada Arka. Lelaki paruh baya itu segera menyela kerumunan pemuda dan duduk diantaranya. Ia menatap lekat wajah anak lelakinya sembari menunggu jawaban.

Arka yang masih bingung hanya menatapnya dalam diam. Ia menikmati wajah penasaran para sahabat juga papanya.

"Manis om," jawab Daren disambut tawa riuh kaum lelaki beda usia itu mengisi ruangan 4x4. Ruangan yang menyimpan semua hal privasi Arka itu menjadi saksi bagaimana kelakuan yang tidak normal dari komplotan beda generasi itu.

"Gerak cepat Ka," kata Dharma mencoba mempengaruhi Arka.

"Latihan Paskibraka emang?" kesal Arka. Awalnya ia mengira sang ayah akan menghantamnya dengan bogem mentah. Tapi nyatanya tidak. Sang ayah justru membuat suasana semakin tidak kondusif.

"Jadi langkah selanjutnya?" kali ini suara Adrian menghentikan tawa yang semula masih menggema.

"Arka harus bertanggung jawab," kata Dharma tegas. Ia menerawang bagaimana wajah Maira tadi. Gadis polos itu pasti sangat malu dab merasa direndahkan karena hal tidak senonoh yang didalangi Arka.

"Tanggung jawab apa Pa?" tanya Arka yang bingung. Ia tidak merasa melakukan kesalahan lalu apa yang harus dipertanggungjawabkan?

Dharma berdecak kesal kemudian menoyor kepala putra sulungnya. "Kamu sudah mencium Maira. Lalu kamu mau lari gitu aja?" kali ini Dharma menghela napasnya pelan.

"Itu kan nggak sengaja Pa. Nih kelakuan setan satu ini." Arka menendang kuat Daren yang duduk di dekat kakinya. "Kalau ada yang harus tanggung jawab ya dialah," tambahnya.

"Tapi yang nyium Maira kamu," protes Dharma. "Masa Daren yang tanggung jawab. Malu kita Ka, malu."

"Iya Om. Kan Arka yang nyium masa Daren yang tanggung jawab," sela Daren yang sebenarnya ingin sekali menertawakan wajah buruk Arka yang merasa kesal, malu, dan juga korban.

"Ini semua karena otak sialan lo itu tahu nggak?" maki Arka karena Daren justru memojokannya. Sahabat macam apa itu?

"Saya setuju kalau Om bilang Arka harus tanggung jawab," timpal Adrian yang diangguki saja oleh Restu.

"Lo semua bersekongkol buat lawan gue?" kali ini Arka memicingkan matanya untuk memindai wajah tengil Adrian dan Restu.

"Karena lo emang salah udah nyium Maira Ka," kata Restu.

"Tapi nggak sengaja. Itu juga karena gue didorong Daren," bela Arka tak terima. Bagaimana mungkin sahabatnya tidak ada yang membela padahal sudah jelas jika kejadian tadi tidak disengaja.

"Aduh banyak alasan kamu Ka. Udah ini keputusan Papa. No debat," kata Dharma kemudian beranjak meninggalkan sang anak bersama para sahabatnya.

Mereka semua diam menatap Arka yang tampak kesal. Lelaki itu mengepalkan tangannya erat. Pasalnya sang papa tidak akan mundur dari keputusannya dengan mudah. Jadi ia harus memikirkan cara untuk membuat semua ini mudah baginya.

"Lo nggak lagi mikir mau ngusir Mai kan Ka?" tanya Restu yang sepertinya bisa membaca isi kepala Arka.

"Kalau itu jalan satu-satunya gue bisa selamat dari pertanggung jawaban, why not?" sahut Arka santai.

"Sakit lo. Kalau Bokap tahu bisa dicoret dari KK," timpal Adrian yang diangguki oleh Daren.

"Ini semua karena kelakuan lo tahu nggak!" sembur Arka lagi. "Hidup gue jadi ribet," tambahnya.

"Ya udah, gue aja yang tanggung jawab," sahut Daren santai sembari beranjak. "Eh bisa bayangin nggak?" ia kembali ke sahabatnya dan duduk dengan santai.

"Apaan?" tanya Restu. "Nggak usah dijawab. Gue udah tahu otak jorok lo," putusnya setelah melihat wajah Daren yang berubah. Ia sudah tahu ke arah mana kata-kata yang akan keluar dari mulut lelaki brengsek itu.

Daren tertawa. Ia bisa menebak kalau Restu tahu apa yang dipikirkannya. "Kok lo tahu sih? Ah jangan-jangan lo juga bayangin ya?" kali ini Daren meledek Restu yang sudah kelimpungan.

Mereka semua tertawa. Mencoba membuat Arka terhibur sedikit agar bisa berpikir dengan wajar dan memilih jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah pertanggung jawaban. Arka adalah orang yang paling tidak bisa ditebak jika sudah dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jadi mereka akan berusaha membantu Arka kembali ke jalan yang lurus. Arka bisa menggunakan banyak cara untuk membuat Maira tiba-tiba menghilang.

Acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Keluarga besar Dharma dan Wirasti memang selalu kompak untuk acara seperti ini. Mengingat usia juga akhirnya perayaan kali ini dilakukan di kediaman keluarga Pangestu. Selain banyak kamar yang bisa digunakan untuk menginab, rumah jika tidak akan memiliki batasan sampai jam berapa acara mereka akan digelar. Jadi mereka bebas jika ingin berlama-lama berbincang.

Selesai makan malam, Arka tidak mengaja melihat Maira sedang membantu Bi Ratih untuk merapikan meja bersama pelayan yang lain. Banyak pelayan, banyak kamar jadi kalian sudah bisa tahu seberapa besar kediaman mereka dan bagaimana gaya hidupnya. Tidak usah diperjelas karena hanya dunia novel yang memiliki kehaluan paling hakiki.

Ia mengikuti Maira yang sedang membawa piring ke tempat pencucian. Tanpa suara dan tanpa kata. Arka hanya berjalan dibelakang Maira. Entah maksudnya apa. Maira yang diikuti pura-pura tidak melihat. Jujur saja ia merasa sangat malu dengan kejadian yang tidak sengaja tadi. Semua keluarga Pangestu ada disana. Selain itu, ada juga anggota keluarga lain yang tidak sengaja mengabadikan momen itu. Ia sudah meminta maaf karena kejadian tidak menyenangkan ini, walaupun bukan sepenuhnya kesalahannya. Arka saja abai.

"Den Arka ngapain sih? Mau makan atau minum?" tanya Maira yang kini sudah tidak bisa menahan diri. Ia merasa tidak nyaman karena terus diperhatikan dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti itu.

"Nggak," jawab Arka singkat.

"Terus Den Arka disini mau ngapain? Cuci piring? Nggak usah udah ada mesin," kata Maira sembari melempar pandang ke arah lain. Ia tidak ingin bertemu pandang dengan lelaki yang dengan tidak sengaja sudah menciummnya itu.

"Dih Mas Arka ngapain coba? Mau godain Mba Maira lagi?" suara Dini menginterupsi pandangan Arka.

Arka menoyor kepala adiknya pelan. "Bocah ingusan nggak usah ikut campur," kata Arka kemudian berlalu. Ia sudah memikirkan banyak kata sebelum menjumpai Maira tadi, tapi setelah berhadapan semuanya hilang seperti sampah yang dibawa pergi oleh angin. Mulutnya tidak bisa terbuka. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Maira pun ia harus mengumpulkan banyak tenaga. 'Kenapa sama Arka?' entahlah. Hanya Arka dan Tuhan-nya yang tahu.

Maira menggeleng pelan melihat kelakuan kakak-beradik Pangestu itu. Ia baru sehari disini, tapi sudah banyak yang terjadi.

avataravatar
Next chapter