3 3. MAUKAH KAU MENJADI TEMANKU

Aku langsung berdiri dan mengejar dengan berlari kecil di atas rumput hijau ini. Aku terus berusaha agar aku bisa berada di sampingnya. Gadis itu berjalan dengan cepat seperti seorang model dengan tinggi dan kurus tubuhnya.

"Hei, tunggu aku! Kau mau kemana?" tanyaku dengan keras.

Dia menoleh dengan tatapan tajam lalu berbalik lagi dan kembali berjalan cepat. Aku berusaha mengikutinya dan aku menyebrang jalan seperti dirinya. Aku terus mengikutinya meski aku cukup bernafas cepat.

Kenapa gadis itu tidak pulang saja ke rumahnya kalau ingin kabur dariku. Sebenarnya dia ingin pergi kemana? Aku sangat tertarik dengan gadis penuh misteri ini.

Kini tiba-tiba aku terkejut karena ternyata aku sampai di depan sebuah danau. Ya gadis itu berdiri di sisi danau bercahaya terkena sinar matahari. Dia menekuk kedua lengannya di depan dada.

Gadis itu menatap ke danau dengan tatapan kosong. Entahlah mungkin pikiranku sedang berkecamuk atau mungkin dia sedang merasa kesal denganku. Aku mencoba lebih dekat dengan berdiri di sampingnya. Aku merasa menjadi seorang kakak yang baik untuknya. Karena aku tahu. Aku dan dia berbeda jauh umurnya.

Aku berusaha tidak mengatakan apapun saat berada di dekatnya. Karena menurutku dia seperti sedang menikmati pemandangan atau mungkin dia sedang melampiaskan semua yang dia rasa kepada luasnya danau di depannya.

"Bicaralah," ucap gadis itu dengan lirih namun mata itu tetap saja tertuju ke depan. Apa dia takut melihat wajahku?

"Oh ya, hm, aku ingin meminta maaf kepadamu karena aku tidak cepat menolongmu saat itu. Kau mau memaafkan aku?" tanyaku dengan sopan. Kulihat wajahnya dari samping yang tampak manis sekali.

"Iya aku maafkan. Sebenarnya kau tidak perlu meminta maaf juga sih," katanya dengan santai.

"Terimakasih kalau begitu," ucapku lalu berhenti sejenak.

"Hm, oh ya memangnya malam itu kau kenapa? Matamu lebam dan bibirmu berdarah ya? Aku tidak salah lihat 'kan?" tanyaku sedikit ragu. Aku takut dia akan kesal.

"Ya aku hanya terluka saja. Aku di pukul oleh seseorang jadi aku ketakutan. Aku bersembunyi di mobilmu karena seseorang berusaha mencariku," jelasnya membuat aku semakin ingin tahu tentang gadis itu.

"Lalu kau baik-baik saja setelah malam itu? Siapa orang yang sudah memukulmu dan mengejarmu? Kau sudah menelpon polisi?" tanyaku dengan cepat.

Dia tersenyum kecil. Aku sempat melihat senyum itu yang sangat manis.

"Kau bertanya terlalu banyak. Bahkan aku tidak mengenalmu," katanya dengan kini menoleh melihat ke wajahku.

"Oh, maaf. Aku lupa menanyakan namamu. Mari kita berkenalan. Namaku Aslan dan namamu?" tanyaku masih menggenggam tangannya.

"Jihan Karbela. Panggil saja Jihan," jawabnya lalu melepaskan tangannya.

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dia kembali lagi melihat danau di depannya.

"Setelah malam itu tentu aku tidak merasa baik-baik saja dan aku tidak bisa mengatakan kepadamu siapa yang memukulku. Aku juga tidak berniat melaporkan orang itu ke polisi," kata gadis itu lalu memandang sunyi danau lagi.

Aku terkejut saat dia mengatakan itu padaku.

"Sungguh, kau wanita penyabar," pujiku dengan melihatnya dari samping. Aku tidak ingin mendesaknya untuk bercerita terlalu jauh. Dia juga sepertinya tidak ingin menceritakan ceritanya kepadaku.

"Terimakasih," jawabnya sambil tersenyum kepadaku.

"Aku sungguh terkesan denganmu. Karena kau memujiku. Kau yang pertama kali memujiku seperti itu. Oh ya, siapa namamu?" tanya gadis manis itu.

"Aku sudah mengatakan namaku," jawabku dengan menyipit melihatnya.

Dia mengangguk-angguk seperti teringat sesuatu.

"Oh ya, namamu adalah ... Aslan, benarkan?"

Aku mengangguk tegas sambil menarik kedua ujung bibirku.

"Kenapa kau tadi menghindar dariku?" tanyaku penasaran. Aku penasaran saja. Karena sejak kami berdua berada di depan danau dia terlihat berbeda sekali. Dari jutek menjadi sangat manis.

"Sebenarnya semua yang mencoba untuk mendekat kepadaku. Aku pasti menghindar," jawab gadis di sampingku itu tanpa melihatku. Dia terus melihat danau di depannya.

"Hah? Kau serius? Lalu kenapa kau melakukan itu?"

"Ya karena aku memang tidak suka bercakap dengan orang. Itu tidak penting bagiku," seru gadis bernama Jihan dengan wajah datar.

"mungkinkah aku istimewa karena bisa bercakap denganmu?" tanyaku dengan berlagak tampan.

"Hanya kau yang sampai mengikuti aku sampai ke sini. Kau juga terus mengikuti aku sejak di toko roti itu. Iya 'kan?"

Gadis dengan tampilan seperti model ini melihat wajahku sambil tersenyum.

"Sombong sekali kau ini. Ya, memang sih. Kau ini mungkin berbeda dengan yang lain. Tapi bukan berarti kau istimewa. Aku hanya salut saja denganmu. Kau bisa mengikuti aku sampai sini. Itu lumayan membuat hatiku terhibur," jelasnya dengan sangat terlihat bersinar. Hidung mancung dan bibir tipisnya sangat indah. Rambut pirangnya panjang bergelombang.

"Kau terhibur olehku?" tanyaku dengan tak percaya.

Aku menunduk sejenak dan tersenyum kepadanya.

"Terimakasih banyak Jihan," ucapku menatap matanya. Mata indah berwarna coklat karamel itu membuatku meleleh.

Gadis itu hanya tersenyum sambil memandang air bercahaya sinar matahari.

"Memangnya kau bekerja dimana? Kerjaanmu datar sekali ya? Sampai-sampai kau senang sekali karena terhibur olehku."

"Aku bekerja sebagai ... " dia tampak bingung mengatakan sesuatu.

"Ya, kau tidak perlu tahu pekerjaanku," katanya dengan tegas.

"Oh, oke baiklah kalau begitu."

"Bagaimana denganmu, Aslan?" tanya gadis manis ini dengan melihat ke arahku.

Dia memanggil namaku. Aku merasa senang sekali.

"Aku bekerja sebagai seorang CEO di perusahanku sendiri. Perusahaanku di bidang fashion."

"Keren sekali! Kau orang kaya ya?" seru Jihan dengan memandang aku dari ujung kaki sampai kepala dengan wajah terkejut.

"Ya begitulah kata orang-orang. Tetapi aku berusaha tidak sombong. Maksudku aku hanya ingin sederhana saja dan aku ingin berteman dengan siapa saja. Termasuk dirimu. Kita berteman 'kan hari ini?" tanyaku dengan tersenyum.

"Kau seperti anak kecil. Kau tidak pantas dengan wajah tuamu itu," kata Jihan meledekku dengan melirik jijik.

"Hah? Aku berwajah tua? Ya Tuhan tega sekali kau," keluhku berwajah kasian.

"Aku tahu umurmu pasti 28 tahun. Benar 'kan?" kata Jihan seolah percaya diri.

"Dan kau berumur sembilan belas tahun. Benar begitu?" tanyaku dengan tidak mau kalah.

"Sial! Kau benar sekali," katanya dengan menunduk.

"Ya umurku juga 28 tahun. Tebakanku benar," jawabku menyenggol lengan atasnya.

Jihan hanya tersenyum kecil sambil memandang danau dengan senang. Kedua matanya menyimpan sesuatu. Dia seolah merasa tenang saat melihat danau.

"Kau tidak suka dengan umurmu? Kenapa kau menunduk tadi?" tanyaku dengan berani.

"Hei Aslan, kau selalu menebak-nebak tentang aku," serunya berwajah jijik melihatku.

Aku tertawa dengan kalimatnya.

"Maaf, maaf. Aku hanya mencoba bercakap lagi denganmu. Jadi aku tanya sesuatu. Mungkin hanya itu yang ada di benakku. Tenang saja Jihan, kau tidak perlu menjawab semua pertanyaan aku," ucapku dengan jelas di sampingnya.

"Ya aku tahu itu. Kau tidak perlu meminta maaf. Aku hanya tidak menikmati umurku ini. Mungkin karena aku tidak banyak berteman dengan seumuranku," jawab Jihan dengan senyum seolah memaksakan diri menerima takdir.

"Kau sendiri 'kan yang menghindar bercakap dengan orang yang menurutmu tidak penting."

"Ya memang sih, tapi harusnya mereka sepertimu."

"Kau suka sekali ya? Di kejar-kejar seperti tadi," kataku lalu tertawa kecil. Jihan juga ikut tertawa.

"Kalau kau tidak keberatan. Aku bisa menjadi temanmu yang seumuran sembilan belas tahu. Aku akane coba untuk menjadi seumuran denganmu," kataku dengan percaya diri.

Dia terlihat berpikir. Wajahku tetap ke arah danau. Mungkin dia tidak percaya denganku atau dia tidak yakin aku bisa menyimpan rahasi. Tapi aku berharap aku bisa melihat dan bercakap dengan Jihan. Karena Jihan adalah wanita yang berbeda yang pernah aku temui.

avataravatar
Next chapter