webnovel

I Love You Mas G

Dipa, Kakak tingkat pujaan hati Vika yang super ganteng, tinggi, putih, hidungnya mancung, bohay, suaranya merdu, dan suamiable, ternyata adalah seorang gay. Apa yang harus dilakukan Vika sekarang? "Kalo lo sukanya sama yang bertitit, ya gue bisa apa selain berusaha balikin lo ke jalan yang lurus?" -Alvika Mayra-

Sunflower_ · LGBT+
Not enough ratings
6 Chs

(4) T E R K U A K

"Untuk divisi dekorasi dan dokumentasi, ada Dipa Bagus sebagai koordinator, dengan anggotanya yaitu Aldo, Alvika, dan Nara."

Andai ini bukan forum umum, gue pasti bakalan jingkrak-jingkrak waktu ketupel acara nyebutin bahwa gue satu divisi sama Kak Dipa. Jadi ceritanya gue udah lolos seleksi kepanitiaan volunteer dan hari ini adalah rapat perdana buat perkenalan anggota sekaligus pembagian job description. Selain Kak Dipa si pujaan hati, gue satu divisi sama Nara, temen sekelas gue di beberapa mata kuliah, dan Aldo, temen sekelompok gue pas ospek. Bisa dipastikan gue nggak bakal canggung sama anggota divisi gue.

"Kalau begitu rapat bisa kita akhiri, silahkan berkumpul sesuai divisinya masing-masing untuk mendiskusikan timeline yang telah diberikan." Sang ketupel menutup rapat

perdana hari ini, para panitia kemudian saling bergeser tempat duduk sesuai dengan divisinya.

"Ya Ampun Kak Dipa, nggak nyangka ya, kita satu divisi." ujar Aldo, si cowok gagah gemulai setengah lekong, sambil mencolek pinggang Kak Dipa.

Kak Dipa tertawa. "Duh, jangan colak colek sembarangan deh Al, ntar kalo gue colek balik, lo malah pingsan lagi."

"Tergantung, apanya dulu yang dicolek ?" Aldo mengedip nakal ke arah Kak Dipa, sedangkan Kak Dipa hanya menggelengkan kepalanya.

Anjir. Geli banget ngeliatnya. Aldo terang-terangan godain Kak Dipa dan ditanggepin dengan santainya. Gue iri, sebagai cewek tulen harusnya bisa selangkah lebih maju dari Aldo.

"Vik, liat deh Kak Dipa, masa digodain manusia jadi-jadian nggak ada risih-risihnya." Nara berbisik ke gue.

"Mungkin udah kebal kali, kayaknya mereka juga udah akrab, buktinya nggak formal gitu ngomongnya." sahut gue juga sambil berbisik, berhubung orang yang jadi topik gibah ada di depan mata.

Ah polos banget lo jadi orang! balas Nara.

"Emang ada apa sih?" tanya gue kepo.

"Eh kalian berdua dari tadi kok bisik-bisik mulu sih, ikutan ngegossip dong!" Aldo tau-tau ikutan nimbrung di tengah obrolan kami, dan otomatis hal tersebut membuat kami bungkam.

"Ntar aja gue kasih tau." Bisik Nara pada gue.

Kak Dipa berdehem pelan. "Daripada ngegossip, gimana kalo kita mulai bahas konsep dekorasi buat acara ?"

Dengan sedikit rasa bersalah, kita bertiga mengangguk.

"Jadi begini ...." Kak Dipa mulai menjelaskan rancangan konsep yang telah ia cicil.

"Untuk konsep detailnya bisa kita diskusiin bareng di rapat selanjutnya, jadi, apa udah jelas?" tanya Kak Dipa setelah selesai menjelaskan rancangan konsepannya.

"Kayaknya udah cukup jelas Kak." sahut Nara.

"Untuk kameranya, kamu bisa cari tambahan pinjaman kan Vik?" Kak Dipa kembali bertanya.

"Bisa Kak, kebetulan saya ada kenalan anak fotografi." ujar gue menyanggupi.

"Kalo gitu rapat bisa kita akhiri ya?" Kak Dipa menutup rapat kali ini, "see you…."

***

Acara ulang tahun jurnalistik dimulai, yang diisi dengan talk show bedah buku oleh penulis yang baru launching, stand up comedy, dan musik akustik. Gue sebagai bagian dari divisi dekorasi dan dokumentasi, bertugas berkeliling kesana kemari buat mengabadikan setiap momen dengan kamera dan mengontrol keamanan properti dekorasi.

Walaupun sangat melelahkan, tapi gue tetap merasa senang karena acara berjalan lancar sebagaimana mestinya. Pas lagi istirahat sejenak, gue melihat sosok yang sangat nggak asing di sini. Rio. Lagi ngobrol bareng Kak Dipa. Ngapain Rio kesini? Tumben-tumbenan juga dia kelihatan ganteng. Eh Astaghfirullah, otak gue rada konslet kayaknya. Kok bisa-bisanya lagi ngeliatin kak Dipa malah salfok ke Rio.

Kalo dipikir-pikir Rio emang kampret ya. Udah jelas-jelas dia kenal deket sama Kak Dipa, harusnya kan dulu dia bantuin gue buat kenalan. Biar gue nggak perlu capek-capek modus jadi volunteer gini.

"Nara, sini!" Gue memanggil Nara yang kebetulan tengah mengambil minum.

Nara menghampiri gue. "Kenapa Vik?"

Gue tersenyum cengengesan. "Gue mau nanya soal gibah kita tentang kak Dipa yang tertunda waktu itu, gue masih kepo."

Nara menepuk jidatnya. "Astaga Vik, kirain ada apa."

Lagi-lagi gue cuma nyengir. "Jadi, gossip apa yang nggak gue tahu, Ra?"

Nara membisikkan sesuatu di telinga gue dan membuat gue melotot ke arahnya. "SUMPAH LO?"

***

Kak Dipa Gay.

Bisikan Nara tempo hari jadi kayak semacam bisikan iblis di telinga gue. Terus menggema dan mengganggu pikiran.

Kak Dipa gay? Demi apa? Emang sih, banyak yang bilang kalo cowok ganteng biasanya sukanya sama yang ganteng, tapi ... masa pernyataan itu juga berlaku buat kak Dipa sih. Pasti yang nyebarin gossip itu iri sama kak Dipa soalnya wajahnya kalah ganteng.

Sumpah yaa, gue masih belum bisa terima. Kak Dipaku yang ganteng gay? Ada masalah apa sih di hidupnya? Pengen rasanya gue jedotin kepalanya ke tembok biar dia sadar.

Masih tergambar jelas percakapan antara gue dan Nara kemarin.

"Kak Dipa Gay." bisik Nara.

"SUMPAH LO?" Gue melotot ke arah Nara. Cowok seganteng dan sememesona Kak Dipa, gay? Mana mungkin gue bisa percaya gitu aja.

"Dari beberapa gesture dan cara ngomongnya juga keliatan kali, Vik." ujar Nara.

"Ya walaupun kak Dipa orangnya agak lemah gemulai tapi kan bukan berarti dia hombreng," sangkal gue, nggak terima kak Dipa nama baiknya tercemar, "emang lo tau gossip aneh gini darimana sih?"

"Dia kakak kelas gue waktu SMA, dulu dia pernah pacaran sama cowok, tapi sejak mereka putus, gue udah nggak pernah denger dia pacaran sama cowok lagi," tatapan Nara menerawang, "moga-moga aja Kak Dipa udah tobat."

"Vik, lo kenapa sih?" tanya Rio yang membuyarkan lamunan gue, "kok muka lo kayak habis kena razia gitu?"

Gue menengok ke arah Rio dengan lesu. "Gue nggak papa kok, Yo."

Rio berdecak. "Dih, penyakit kecewekannya kumat. Nggak usah sok strong lo, kalo butuh sandaran bilang aja, entar gue pinjemin bahunya Porno."

"Lo aja sono yang nyandar di bahunya Porno," sahut gue sebal, "gue kan maunya nyandar di bahunya kak Dipa."

Duh, inget kak Dipa lagi jadi galau lagi kan.

"Plot twistnya kak Dipa maunya gue yang nyandar di bahu dia, hahaha." Rio tertawa. Ah, penyakit kampretnya kumat.

"Kampret, gue lagi sensitif nih kalo ngomongin soal kak Dipa, lo ngeselin banget sih."

"Kenapa sih kenapa? Sini cerita sama Om."

"Kata Nara ... kak Dipa ... anu, Yo."

Gue masih menimbang-nimbang harus ceritain hal ini atau enggak, soalnya menyangkut nama baik seseorang.

"Anu apaan Vik? Kak Dipa kenapa?" tanya Rio penasaran.

"Kata Nara, kak Dipa gay. Waktu SMA dia pernah pacaran sama cowok. Tapi nggak tau deh sekarang dia masih gay apa nggak." jawab gue sedikit berbisik.

Nggak ada raut terkejut sama sekali di raut wajah Rio. Apa jangan-jangan, sebenernya ... Rio udah tau?

"Emang kalo dia gay kenapa Vik?"

"Ya gue nggak terima lah Yo. Gue terluka. Bayangin, cowok ganteng idaman gue ternyata sukanya sama cowok. Gue kalah jauh sama manusia bertitit. Adek syedih Bang, Adek terluka." jelas gue frustasi.

"Vika ... Vika ..., yang sabar yaa." Rio mengacak rambut gue pelan. Mendadak bikin darah gue berdesir. Anjiiiir lah, otak gue jadi eror kebanyakan mikirin kak Dipa nih.

"Gue nggak rela Yoo."

"Lagian ya, kalo misal kak Dipa ternyata nggak gay, emang dia bakalan mau sama lo?" tanya Rio.

"Ah Kampret, omongan lo ngejleb banget sih, Yo!" sahut gue kesal. Rio kampret, suka ngejleb deh ngomongnya.

Rio tertawa. "Gimana Vik? Nggak bisa jawab kan?"

Gue memukul lengan Rio agak keras. "Ya jelas lah dia belum tentu mau sama gue!"

"Terus, apa yang lo permasalahin ? Emang lo sesuka itu sama Kak Dipa?"

Gue diem. Mencoba mencerna kata-kata Rio. Selama ini, gue emang naksir berat sama kak Dipa. Sempet sih berandai-andai jadi pacarnya, tapi cuma sebatas ngayal halu. Nggak bener-bener pengen jadi pacarnya. Kak Dipa ganteng, tapi nggak terjangkau. Kayaknya bisa kenal deket aja udah cukup.

"Mending lo mulai nyari yang pasti-pasti aja deh, yang pasti doyan sama cewek," ujar Rio, "dan yang paling penting, pasti mau sama lo."

"Tapi udah nggak ada lagi makhluk Tuhan yang wajahnya tamvan dan menantang kayak Kak Dipa, Yo."

"Makasih." Rio menyahut dengan senyum yang dimanis-manisin. Bikin yang ngeliat jadi pengen nabok. Walaupun sebenarnya kalo diliat-liat, tampangnya Rio lumayan manis juga sih. Duh, ngaco lagi kan otak gue.

"Bukan elo anjiiir!"

Rio masih tertawa. "Udah jangan terlalu dipikirin. Gue nggak mau lo makin terluka. Ntar kalo terluka, lo curhatnya ke gue, dan gue males jadi tempat sampah."

"Lo so sweet banget sih Yoo," ucap gue tulus, "jadi baper deh."

"Faaak, baper aja sama Parno sono!" balas Rio sebal.

"Nggak mau lah, mending sama lo aja!" sahut gue sambil menjulurkan lidah.

"Ogah," jawab Rio, "eh pujaan hati lo lewat tuh!"

Gue mengedarkan pandangan. Ada Kak Dipa diujung koridor. Kayaknya baru dateng. Semakin lama semakin dekat ke arah gue dan Rio.

"Vik ...." Kak Dipa menyapa gue, dan gue balas dengan senyuman termanis yang pernah gue miliki. Kemudian dia melihat ke arah Rio, sambil mengerlingkan sebelah matanya. What the hell. Gue nggak salah liat kan? Gue menatap Rio, dan dia cuma tertawa ngakak ngeliat gue.

"Yo, gue tadi nggak salah liat kan? Lo tadi dikedipin sama Kak Dipa Yo? Demi apa?"

Rio masih aja tertawa, sedangkan gue masih nggak paham sama situasi barusan.

"Lo punya ribuan hutang penjelasan ke gue Yo!"

Siapa yang nggak kaget coba, gue masih belom bisa terima informasi bahwa kak Dipa gay, terus barusan gue liat kak Dipa ngedipin Rio. Sumpah yaa, otak gue mendadak buntu nggak bisa mikir.

Rio mulai berhenti tertawa. "Yang sabar ya Vik, sebenernya ada banyak hal yang belum gue omongin ke elo."