webnovel

Aku, Marsya, dan Kejujuran

Suara nada dering ponsel membuatku terjaga. Kulihat di layar ponsel, tertera nomor dari apartemenku. Marsya?

"Halo," tegurku pelan.

"Kamu di mana? Semalam kenapa tidak pulang? Aku hubungi nomormu berkali-kali tapi tidak tidak aktif. Aku khawatir terjadi apa-apa," Marsya menyahut dari seberang sana.

"Aku ketiduran di kantor. Semalam lembur. Maaf, ponselku low bat dan aku lupa mengabarimu." Aku terpaksa berbohong kepada Marsya.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti pulang pukul berapa?"

"Jam makan siang aku usahakan pulang." Aku lalu mematikan telepon.

Setelah menerima telepon dari Marsya, aku membuka pintu mobil. Ternyata sudah pagi. Sepertinya semalam aku mabuk cukup parah hingga tak sadarkan diri dan tertidur di dalam mobil di tepian pantai. Aku keluar dari mobil menuju sebuah warung untuk memesan kopi, tetapi sebelumnya aku menumpang ke kamar mandi untuk mencuci muka. Marsya pasti mencemaskanku.

Aku merasa bersalah kepada Marsya karena membuatnya khawatir. Ah, ini semua gara-gara si Samuel berengsek itu.

Usai ngopi sekadar menyegarkan badan, aku segera pulang. Aku tak ingin membiarkan Marsya terus cemas dan berpikir semakin negatif tentangku. Aku memutuskan bahwa harus segera jujur tentang kondisi hidupku sesungguhnya.

***

"Sandi?" Marsya menyambutku hangat ketika berada di depan pintu. "Katanya pulang pas jam makan siang? Aku belum menyiapkan makanan buat kamu," lanjutnya.

Aku memeluknya. Entah kenapa itu harus aku lakukan. Padahal selama ini aku selalu menjaga sikap terhadapnya.

Saat melihat Marsya, hasratku terdorong untuk memeluknya. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. "Maaf karena aku sudah membuatmu khawatir. Pasti kamu menungguku semalaman."

"Tidak usah dipikirkan. Aku tidak apa-apa." Marsya melepaskan pelukanku.

Dia menatapku. Dia melihat air mataku terjatuh, lalu mengusapnya. "Kamu menangis?" tanyanya bingung.

"Sya ...." Aku menyentuh pipi Marsya yang halus dan terawat. "Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentangku."

Entah mengapa suaraku tertahan di tenggorokan. Sulit sekali untuk mengatakan bahwa aku sayang kepadanya, sedangkan Marsya masih menungguku berbicara.

"Iya. Ada apa?" Marsya semakin dalam menatapku.

Aku melangkah menuju sofa. Marsya segera mengikuti. Kami duduk. Aku menyandarkan punggung pada kursi dan berpikir, apa benar semua harus aku ceritakan?

"Kamu sedang ada masalah apa, San?" tanya Marsya sungguh-sungguh.

Aku menatapnya. "Aku harap kamu tidak membenciku setelah tahu bagaimana aku sesungguhnya?"

"Tentang kamu pengguna narkoba?"

Aku terkejut. "Jadi, kamu sudah tahu kalau aku pengguna narkoba?"

Marsya mengangguk dan tersenyum. "Itulah yang membuatku sering mencemaskanmu, San. Aku takut kamu celaka di jalan atau tertangkap polisi."

Aku memutar tubuh, menghadap Marsya sepenuhnya. "Kenapa kamu tidak membenciku?"

"Tidak ada alasan untuk membenci orang yang telah menyelamatkan nyawaku," jelas Marsya.

Aku menarik napas sedikit lega. "Terima kasih, Marsya. Namun, ada satu lagi tentangku yang mungkin akan membuatmu benci terhadapku."

"Apa itu?"

"Aku dituduh sebagai gay. Dan, semua itu gara-gara si Samuel, pria yang tempo hari datang ke apartemen ini."

"Hanya dituduh atau memang kenyataannya kamu gay?" Marsya tetap menjawab tenang.

"Hanya tuduhan, Sya. Sumpah. Aku laki-laki normal yang setiap kali dekat denganmu berahiku naik. Hanya, aku selalu berhasil menahannya."

Marsya tersenyum dan malah menggodaku. "Kenapa ditahan? Toh, aku juga belum tentu menolak. Kalaupun aku menolak, toh kamu pasti berhasil memaksaku."

Sial. Marsya justru menantangku. "Tidak, Sya."

Aku pun menceritakan semuanya. Tentang Samuel. Dari pertama kenal hingga terjadi peristiwa yang membuatku membencinya. Juga tentang fitnah dari Samuel yang tersebar di perusahaan. Andai di kantor aku tidak mempunyai jabatan, sudah pasti orang satu kantor mem-bully-ku.

Marsya mendengarkan dengan saksama. Tiba tiba tangannya menggenggam tanganku. Ada getaran halus mengalir dalam aliran tubuhku.

"Aku percaya kamu, San. Sebenarnya kamu orang baik, kamu orang yang mampu menjaga kehormatan wanita dan kehormatan diri sendiri."

"Terima kasih, Sya." Aku menatapnya dalam.

"Masih ada lagi yang ingin kamu ceritakan?" tanya Marsya.

Aku menarik napas dalam. Wajah Papa terbayang. Entah kenapa juga aku harus begitu terbuka kepada Marsya. Aku ceritakan semua tentang diriku. Tentang Mama, Papa dan tentang diriku yang pernah merasa benci kepada wanita. Berpikir bahwa wanita hanyalah benalu bagi laki-laki.

"Hingga aku bertemu denganmu dan pandanganku kepada perempuan berubah. Kamu benar-benar bisa mengubah pola pikirku."

Marsya meremas tanganku. Tiba-tiba dia memelukku. Hangat dan tenteram. "Lupakan semua. Jika kamu inginkan, aku akan selalu ada buatmu. Aku ..." ucapnya pelan.

"Aku apa?" tanyaku sambil mengusap-usap punggungnya.

"Nanti kamu akan tahu dan merasakannya," jawab Marsya sambil melepaskan pelukannya.

"Sebaiknya kamu makan dulu, terus istirahat. Pasti capek, 'kan?"

Aku tersenyum. Bahagia sekali hidup ini mendapatkan perhatian tulus dari seorang wanita.

Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Marsya kalau aku butuh dia. Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya untuk mengatakannya. Marsya lalu mengajakku ke dalam.

"Kamu duduk saja di sini. Aku akan memasakkan makanan spesial buat kamu." Marsya mendorongku untuk duduk di sofa, tetapi aku tidak bisa diam saja.

"Makanan semalam bagaimana? Maafkan aku ya, kamu sudah capek-capek masak buat makan malam kita tapi aku malah pergi."

"Sudahlah lupakan saja. Sekarang aku mau masak dulu ya. Kamu duduk duduk manis saja di situ."

"Mau aku bantu?"

"Memang kamu bisa masak?"

"Bisa, dong." Aku beranjak dari tempat duduk.

"Masak apa coba."

Aku menghampiri Marsya. Kudekatkan mulut di telinganya.

"Masak air," candaku setengah berbisik.

"Ah, kamu. Ya sudah, ayo kita ke dapur."

Sadar atau tidak, Marsya menyeretku dengan menggandeng lenganku menuju dapur.

***

Sejak semalam Samuel terus menerorku. Dia akan menghancurkan hubunganku dengan perempuan yang berada di apartemenku. Namun, aku tidak pernah menanggapinya. Awas saja kalau sampai dia berani melakukannya. Aku tidak akan segan-segan menghajar dia.

Apa dia tidak ada kerjaan lain apa selain mengangguku? Terkadang, aku punya kekhawatiran sendiri terhadap apa yang akan dilakukan Samuel. Bukannya aku takut sama dia, melainkan aku takut dia akan menyakiti Marsya yang tidak tahu apa-apa. kata orang, makhluk seperti Samuel bisa berbuat nekad di luar perkiraan.

Ah, sudahlah. Aku sebagai laki-laki akan melindungi perempuan yang aku sayang.

Tunggu. Sayang? Benarkah aku sayang sama Marsya? Semudah itukah aku mengucapkan kata sayang? Walau pada kenyataannya, kini hatiku mulai ada rasa terhadapnya. Sungguh, sepertinya aku jatuh cinta pada Marsya.

***

Besoknya, aku mengajak Marsya jalan-jalan. Layaknya orang berpacaran, kami menghabiskan waktu berdua ke mal, belanja, berwisata kuliner.

Setelah puas keliling Kota Surabaya, kuputuskan untuk menempuh jarak lebih jauh lagi.

"Kita mau ke mana?" tanya Marsya.

Aku tersenyum dan melirik kepadanya. "Nanti juga kamu akan tahu sendiri." Sebetulnya aku sendiri juga tidak tahu mau ke mana. Aku masih ingin berlama-lama bersama Marsya.

Sore menjelma malam. Sudah hampir dua jam mobil melaju di jalanan. Di sepanjang sisi jalan, belum kutemukan tempat yang tepat untuk beristirahat. Marsya sampai ketiduran, membuatku merasa kasihan kepadanya.

Tak berapa lama, aku sudah memasuki Kota Malang. Kebetulan, aku memiliki vila di kawasan Batu. Sebaiknya aku ke sana saja ketimbang tidur di penginapan.

Lima belas menit kemudian, aku sudah sampai di vila.

"Sya, kita sudah sampai," tegurku sembari membangunkan Marsya yang tengah tertidur pulas.

"Kita di mana?" tanya Marsya.

"Malang."

"Apa?"

Entah kenapa Marsya seperti kaget mendengar nama Kota Malang.