24 Benci

Dimalam yang sama, sepasang suami istri yang berada dikamar saling berbicara. Lebih tepatnya, sang istri yang memulai pembicaraan disaat suaminya masih mengerjakan berkas pekerjaannya. Wanita itu jelas bercerita tentang bagaimana anak bungsu mereka yang semakin hari tumbuh dengan sangat baik. Tak lupa juga, wanita itu juga membicarakan anak pertama mereka.

"Mas, hubungan mas belum bisa baik dengan Bara?" tanya sang istri.

Seketika jemari sang suami menghentikan kegiatan mengetiknya, dia menoleh pada istrinya yang tengah berbaring di ranjang. Senyum tipis disertai gelengan kecil adalah jawabannya. Tanpa perlu dijelaskan secara gamblang, sang istri mengerti apa jawaban dari suaminya. Dia hanya bisa menghela nafas panjang, rasanya lelah sekali menyaksikan bagaimana interaksi yang dibuat Bara pada sang suami.

Dua orang dewasa disana saling terdiam, dalam batin sang istri, dia sangat berharap jika keluarganya bisa menjadi keluarga yang harmonis tanpa adanya konflik antar anggota keluarga. "Nanti aku akan coba bicara lagi pada Bara. Maaf ya, mas," ucap istrinya lagi.

Paginya sang ibu yang tengah memasak sarapan untuk suami dan kedua anaknya, seorang remaja laki-laki menghampiri ibunya dan berdiri dibelakang sang ibu dengan senyuman hangat dipagi hari. "Pagi, Bunda," sapa Bara pada ibunya.

"Pagi juga, sayang,"

Bersamaan dengan sang ibu yang mematikan kompor, Bara bergerak membantu sang ibu mengambilkan piring untuk masakan yang baru saja matang. Itu kebiasaannya sejak kecil, tidak tahu siapa yang mengajarkannya, tapi ibunda Bara senang melihat putranya seperti ini.

Disuruhnya putranya untuk duduk dimeja makan sembari menunggu ibunya membawa hidangan ke sana. Bara hanya menurut apa yang diperintahkan ibunya, dia juga sudah membawa satu gelas air mineral sebagai pelarut makanannya nanti. Seperti itulah Bara, dia selalu berusaha melakukan semuanya seorang diri.

Sang ibu baru saja meletakkan satu porsi nasi goreng dengan telur mata sapi tepat didepan tubuh Bara. Itu adalah sarapan Bara pagi ini. Lantas ibunya turut duduk melihat bagaimana putranya melahap satu persatu suapan. Dia tersenyum sebelum mulai membuka suaranya. "Bara," panggil sang ibu dengan suara lirih.

"Bunda ingin tahu, apa alasan dirimu tidak menyukai ayah?"

Bara menghentikan menyuap makanannya, masih menatap makanannya dengan tatapan kosong. Topik pembicaraan pagi ini sudah membuat Bara tidak selera untuk melanjutkan makan paginya. Laki-laki itu segeralah menyelesaikan kunyahan dan meneguk segelas air dan mengambil tas yang berada dibawah meja makan. Mencoba untuk tetap tersenyum, Bara menatap lekat kedua bola mata sang ibu seraya berkata. "Bunda, Bara berangkat sekarang," pamitnya yang langsung pergi setelah mencium tangan sang ibu.

Dengan hati yang setengah kesal, Bara berjalan menuju halte bus terdekat. Sebenarnya pagi ini dia sedang tak ingin merasakan kekesalan apapun, karena itu dia bangun dan bersiap lebih awal—untuk menghindari orang yang tak ingin dia temui. "Lagipula, Bunda juga akan tetap membelanya," gumamnya sendiri.

Waktu yang pas untuk menaiki bus yang baru saja tiba. Sebenarnya masih cukup terlalu pagi, tapi berhubung hatinya sedang tidak enak jika harus berlama di rumah, Bara memutuskan untuk berangkat lebih awal. Siapa yang akan menyangka, jika keberangkatannya pagi ini justru membuat dirinya bertemu dengan Zara. Entahlah, tak tahu apa ini hanya kebetulan atau sebuah takdir.

Bara abai, dan dia memilih bangku yang kosong dan jaraknya beberapa bangku dari tempat Zara duduk. Gadis itu juga masih tak menyadari jika ia akan satu bus lagi dengan Bara, karena terlalu fokus dengan ponselnya. Barulah beberapa detik setelahnya dia menyadari ada siswa yang menggunakan seragam yang sama dengan miliknya. Tanpa Zara harus berpikir panjang, sudah sangat terlihat jika laki-laki itu adalah Bara. Sedikit mengganggunya sepertinya menyenangkan.

Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melempar ke arah Bara. Sedikit susah juga mencarinya, lantaran bus ini sangat terjaga kebersihannya. Untung saja tepat dibawah bangkunya, dia menemukan dua karet gelang merah. Sudah pasti benda itu yang akan dia gunakan untuk mengerjai Bara. Dengan segera ia melontarkan karet itu pada rambut Bara, dan agar tidak disadari Bara, Zara segera kembali pada posisi awalnya yang tengah menghubungkan earphone diponsel pada telinganya.

Zara pikir itu akan berhasil, sayangnya Bara tidak sebodoh itu. Bus ini hanya berisikan empat orang, dua orang adalah sepasang suami-istri yang usianya nampak diatas lima puluh tahun, dan dua sisanya adalah dia dan gadis itu. Tidak mungkin kedua orang tua itu akan melakukan hal konyol seperti ini padanya.

"Sudahlah, tidak usah berpura-pura," Bara menarik salah satu earphone yang terpasang ditelinga kiri Zara.

"Apa yang kau lakukan?!," protesnya.

Karet gelang yang terjepit dijari telunjuk dan ibu jarinya dia ulurkan tepat didepan tubuh Zara. "Tak mungkin mereka yang melakukannya," balas Bara yang menunjuk orang tua dengan dagunya.

Baiklah, Zara sudah tidak bisa mengelak, dia terdiam sembari menatap wajah Bara yang masih terlihat kusut. Tanpa ragu, diapun menarik tangan Bara untuk duduk disebelahnya, dan itu membuat Bara sedikit terlonjak dengan apa yang Zara lakukan barusan.

"Lagipula, kau ini kenapa? Masih pagi sudah memasang wajah seperti itu?" tanya Zara.

"Wajahku memang seperti ini,"

"Ck," Zara berdecak dan membuang pandangannya ke lain arah. Dia ini bisa tahu perbedaan wajah kesal dengan wajah datar Bara. Sangat kentara sekali. "Berhenti berkata bohong. Katakan saja, jika aku tidak bisa membantumu, setidaknya aku bisa menjadi teman pendengar yang baik," lanjutnya.

Suara mesin bus itu jauh lebih mendominasi, dan keduanya masih terdiam. Tidak, Bara yang masih terdiam setelah mendengar kalimat Zara. Wajahnya juga tak bisa memberikan jawaban apapun. Diliriknya sekilas mata Zara yang sudah berbinar setelah menjadi relawan untuk mendengar ceritanya.

"Aku benci suami dari ibuku," ucapnya tiba-tiba.

Sontak Zara langsung melayangkan pukulan pada lengan kiri Bara. Dia tidak habis pikir ada anak yang berkata seperti itu pada orang tuanya. Bahkan, dia menyebut ayahnya dengan sebutan 'suami dari ibunya'. Sebutan itu memang tidak salah, tapi sangatlah tidak sopan jika digunakan oleh anaknya sendiri.

"Bara, dengarkan aku," Zara memberi jeda pada ucapannya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu dengan ayahmu, atau bahkan dengan keluargamu. Jika kau membenci ayahmu karena sesuatu yang pernah ia lakukan dimasa lalu, cobalah untuk berdamai dengan masa lalu itu dan juga ayahmu. Kau tak akan mungkin akan hidup selamanya dengan kebencian pada ayahmu. Bagaimanapun juga, dia yang akan selalu memasang tubuhnya untuk melindungi keluargamu," tutur Zara panjang lebar.

Kini berganti Bara yang berdecak remeh karena semua kalimat Zara. "Untuk disaat yang seperti ini, kau tidak pantas untuk menjadi penyemangat. Apa kau sendiri sudah memaafkan kejadian dimasa lalumu? Apa kau sudah tahu bagaimana baiknya ayahmu?" balas Bara. Dia bukan sedang menyudutkan gadis didepannya itu, mereka berdua memiliki masalah dengan ayah mereka.

"Ah iya, kau benar," pungkas Zara dengan suara parau.

avataravatar
Next chapter