1 Preliminary

[ KISAH INI TERDAPAT UNSUR KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN. DILARANG KERAS UNTUK DITIRU ]

Kebencian seseorang akan tumbuh saat mereka tersakiti. Balas dendam menjadi jalan satu-satunya untuk melepaskan kebencian tersebut. Perasaan itu tak akan hilang walaupun seseorang sudah membalaskan dendamnya. Justru, dia semakin menjadi-jadi dan tak karuan. Sampai-sampai melibatkan diri ke dalam dunia kriminalitas. Sama halnya dengan yang terjadi kepada seorang anak muda. Dia rela kehilangan segalanya demi membalaskan dendam. Walaupun rintangan yang dia lalui sangat sulit, tapi dirinya tak pernah menyerah bahkan tak ingin berhenti untuk melakukan kriminalitas. Kehidupannya sudah berubah semenjak dia menjadi korban perisakan. Karena hal tersebutlah dirinya menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya.

***

Aku bangun dari tidurku setelah mendengar alarm di kamar berbunyi. Hari ini adalah hari pertamaku ke sekolah setelah sekian lama liburan semester. Tiba-tiba saja aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku beberapa kali. Saat aku lihat, ternyata bundaku menyuruhku untuk segera mandi dan bersiap berangkat. Tanpa pikir panjang, aku langsung mandi dan pergi sarapan. Setelah itu berangkat ke sekolah menggunakan mobil pribadiku.

Kau tahu? Perisakan yang selalu ada sejak dulu kini semakin meluas di penjuru negeri. Terutama di kota tempat tinggalku yaitu Beverly Hills, Los Angeles. Aku adalah korban perisakan di sekolah oleh kakak kelasku. Sejak pertama masuk sekolah pun aku langsung dirisak habis-habisan. Entah itu menyakiti tubuhku, hatiku dan bahkan mereka semua mengejek kedua orang tuaku. Aku masih ingat siapa saja kakak kelas yang sudah merisakku itu. Mereka bernama Walter, Harry, Boy dan Jeffrey. Aku tak bisa mengadukan hal ini kepada siapapun termasuk orang tuaku. Kenapa? Karena mereka memiliki sebuah rekaman memalukan di mana pakaianku dilucuti oleh mereka. Orang-orang itu akan mengancamku kalau aku mengadu. Karena tak mau hal itu terjadi, aku lebih memilih pasrah daripada harga diriku ditertawakan orang lain. Ditambah aku tak ingin orang yang merisakku bertambah banyak. Untung saja, sekarang mereka sudah lulus. Setidaknya aku tak akan diperlakukan seperti orang bodoh lagi.

Selain kakak-kakak kelas itu, ada pula anak pemilik sekolahan yang suka merisak orang lain. Dia bernama Alvin. Bersama teman-temannya, dia sering sekali membuat masalah kepadaku maupun kepada orang lain. Kalau ada yang melawan, mereka akan menghajar orang itu. Ku dengar, hajaran mereka menyakitkan. Karena tak mau wajahku babak belur, terpaksa aku menerima perbuatan mereka. Setidaknya mereka tak sekejam Walter dan teman-temannya.

Saat hendak masuk ke dalam kelas, Alvin, Nathan, David dan Lee sudah bersiap untuk menghadangku. Mereka mengelilingku dan meminta uang.

"Lu mau ini atau ngasih uang ke kita?" tanya Alvin sembari menunjukkan kepalan tangannya. Aku sempat berpikir. Kalau aku memberi mereka uang, aku tak akan makan siang. Namun kalau aku menolak, maka wajahku yang akan menjadi sasaran. Sial! Apa yang harus aku lakukan?

"Gu-gua lagi gak ada uang," jawabku pelan.

"Hah? Lu mau bohong sama gua?" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku.

"Gua beneran gak bawa uang."

"Hajar dia!"

BUG!!!

Tanpa melakukan kesalahan apapun, aku langsung dihajar oleh mereka. Aku memegangi pipiku yang ditonjok oleh Nathan. Pukulannya cukup keras dan rasanya sangat menyakitkan.

"Awas lu kalo besok gak bawa uang!" ancam Alvin lalu pergi begitu saja bersama teman-temannya. Sungguh menyebalkan! Apakah orang tua mereka tak memberi mereka uang hingga berani memaksa dan menghajar orang lain untuk mendapatkannya? Tak habis pikir, bagaimana bisa mereka melakukan hal seperti itu padahal orang tua mereka kaya raya. Aku menduga mereka tak mendapatkan banyak uang untuk berfoya-foya.

Tak lama bel masuk berbunyi, aku pun memutuskan untuk berjalan menuju kelasku sembari memegangi pipi yang masih terasa sakit. Hari ini aku tak ingin tertinggal pelajaran. Setelah memasuki kelas, tak lama seorang guru datang untuk mengajar. Ia memberikan tugas yang cukup banyak, untung saja aku bisa menyelesaikannya hingga jam istirahat berbunyi. Perutku mulai keroncongan, aku harus segera mengisinya. Aku pun pergi ke kantin. Oh ya, sebenarnya aku berbohong kepada Alvin dan teman-temannya, hari ini aku membawa sedikit uang yang ku sembunyikan di kaus kakiku. Aku tak ingin uangku diambil oleh mereka, aku membutuhkan uang ini untuk makan.

Setibanya di kantin, aku memesan mashed potato. Ku rasa satu menu ini cukup untuk mengisi perutku. Setelah pesanan tiba, aku segera memakan makananku dengan cukup cepat. Aku tak ingin Alvin dan teman-temannya melihatku makan, aku tahu mereka pasti akan sangat marah karena telah membohongi mereka. Namun tanpa aku duga, mereka datang sembari melempar seekor cicak di tempat makanku. Aku yang terkejut segera menjauh dari meja tempatku makan tadi, terdengar tawa mereka yang begitu kencang.

Lalu Alvin mendekatiku dan berkata, "Makanya jangan berani bohong sama kita. Lu bilang gak punya uang tapi sekarang lu bisa makan. Bego!"

Ia pergi dengan diikuti teman-temannya, aku melihat kepergian mereka dengan penuh kebencian. Jujur, aku sudah tidak tahan diperlakukan seperti ini oleh anak-anak sialan itu. Jika diperbolehkan, aku ingin sekali membunuh mereka, hanya saja aku masih memiliki hati untuk tak menyakiti keempat orang itu.

Perutku masih terasa lapar, namun uang yang ku punya sudah habis. Aku memutuskan untuk kembali ke kelas dan berdiam diri di sana hingga bel masuk berbunyi.

Beberapa jam kemudian, bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku langsung berjalan menuju ke parkiran setelah selesai merapikan alat tulisku. Di perjalanan, aku melihat Alvin dan para prajuritnya berjalan berlawanan denganku, aku menunduk tak ingin melihat wajah menyebalkan mereka.

BRUG!

Tanpa aku duga, aku ditabrak dengan sengaja oleh Alvin hingga aku jatuh ke lantai. "Sorry sengaja! Jangan lupa besok bawa uang, kalau gak muka lu bakalan ancur!" ancamnya lalu pergi meninggalkanku. Sial! Aku rasa aku semakin membenci mereka. Aku pun bangkit dari jatuhku lalu kembali melangkahkan kaki.

BRUG!

Ck! Lagi-lagi seseorang menabrakku. Kali ini bahuku yang dia tabrak. Aku menolehkan kepalaku untuk melihat siapa orang yang sudah menabrakku itu. Dia seorang gadis, memakai masker, bertubuh pendek dan memakai jaket. Dia melirikku lalu langsung pergi begitu saja. Siapa dia? Aku tidak pernah melihatnya di sekolah. Apakah dia murid baru? Hm, entahlah. Aku segera berjalan menuju ke mobil lalu menancapkan gas mobilku menuju rumah. Sesampainya di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di sofa.

Oh ya, namaku Mario Federico Dickson, biasa dipanggil Rio. Aku adalah seorang anak berumur 13 tahun. Aku memiliki seorang adik, dia bernama Raynaldo Dickson. Aku dan Ray berbeda dua tahun, kini dia menduduki kelas 6 sekolah dasar sedangkan aku menduduki kelas 2 sekolah menengah pertama.

Aku malas mengganti pakaian, ku baringkan saja tubuh ini di atas sofa dan menyalakan televisi. Ku lihat di televisi ada berita pembunuhan sadis di salah satu rumah sekitar Los Angeles.

"Seorang lelaki tua telah membusuk di sekitar perumahan Beverly Hills. Menurut polisi, lelaki tua itu telah dibunuh oleh seseorang. Beberapa luka tikaman terlihat sangat jelas, sepertinya si pembunuh menikam lelaki tua itu dengan cepat. Entah motif apa yang dimiliki si pembunuh sampai ia membunuh lelaki tua yang tidak berdosa ini. Dari ciri-cirinya membunuh, polisi menduga kalau Rio Vicious yang melakukannya. Dia …."

Hm? Rio Vicious? Luka tikaman? Dilakukan dengan cepat? Aku pun terkekeh pelan.

Bersambung …

avataravatar
Next chapter