6 Mengenai Gauzan, Si Sahabat Lama

Sungguh beruntung Giavana karena berhasil kabur dari rumahnya. Meski Nada, sahabatnya sejak masa SMA tidak bisa menjemputnya, namun Nada menghubungi sahabat Giavana lainnya untuk datang.

Dia adalah Gauzan, memakai supra tua kebanggaannya, datang menjemput Giavana setelah puluhan menit gadis itu menunggu.

Gauzan sebenarnya ingin bertanya banyak mengenai kegelisahan Giavana malam itu ketika mereka bertemu. Bahkan ucapan Giavana yang mengatakan mereka harus lekas pergi, makin meningkatkan penasaran dia.

Tapi karena Giavana terus memukuli dia untuk cepat pergi dari sana, maka tak ada pilihan bagi Gauzan untuk memacu motornya secepat yang disanggupi si Jeki, nama supra tua itu.

"Gi, emangnya harus begitu yah, kamu pakai gaun putih kayak gitu?" tanya Gauzan sambil melajukan motor dalam kecepatan sedang. Memangnya bisa sengebut apa motor Supra tahun 1998?

"Jangan bawel, ntar aja aku ceritakan di tempatmu." Giavana menepuk punggung Gauzan.

"Bukan begitu, Gi maksudku, soalnya … kan jadi aneh kalau kau pakai gaun tapi dudukmu ala laki-laki gitu." Gauzan melirik ke belakang dan ke bawah dimana dua paha mulus Giavana menjepit pinggulnya.

"Ihh, aku nggak terbiasa duduk ala perempuan unyu-unyu! Makanya buruan, jangan terlalu lama di jalan begini." Giavana mencubit gemas bahu Gauzan.

"Lah, Gi, kau tau sendiri Jeki lahir tahun berapa. Apalagi kalo ngebut dikit, harus aku pegangi kepalanya."

"Iya, iya, dia sudah aki-aki, paham dah aku!"

"Ssttt! Gi, jangan nyebut dia aki-aki, ntar dia ngambek! Siap dorong emangnya?"

Giavana pun tidak lagi membalas ucapan Gauzan dan hanya memutar bola matanya dengan bosan. Tapi karena aneh jika diam tanpa mengobrol, ia pun menyahut pada akhirnya, "Lagi pula … kamu juga aneh, motor sebutut begitu masih aja kamu pakai. Kenapa kagak beli yang kekinian, sih?"

"Wah, kagak bisa, Gi. Motor ini tuh warisan bokap tercinta sebelum Beliau tiada. Aku gak sampai hati meninggalkan Jeki. Apalagi Mas Danu menolak Jeki, yah aku ambil saja, hitung-hitung merawat warisan bokap."

Giavana terdiam. Dia dan Gauzan memang sama-sama anak yatim. Bedanya, keluarganya lebih berkecukupan dibandingkan Gauzan.

Sejak SMA, Gauzan sudah memakai motor Supra itu meski teman-teman mereka yang lain memakai motor keluaran terbaru di tahun itu, namun Gauzan tidak pernah minder sedikitpun, malah dia merasa bangga dengan Supra-nya.

"This is amazing heritage!" Begitu ucap Gauzan setiap teman-temannya menggoda dia mengenai Supra-nya.

Banyak yang mencibir Gauzan hanya karena anak janda miskin, namun itu tidak menyurutkan niat Giavana untuk berteman baik dengan lelaki itu.

Apalagi, Gauzan memang lelaki yang benar-benar baik dan bisa diandalkan dalam beberapa situasi. Terlebih lagi, Gauzan juga sopan tidak macam-macam terhadap Giavana. Hanya saja, tingkat bercanda mereka yang kadang di level tidak terbayangkan oleh orang lain.

Saat di SMA, Giavana termasuk tomboy walau rambutnya menjuntai bak model iklan sampo. Inilah kenapa dia dan Gauzan cocok, mereka bisa saling slebor tanpa risih akan gender masing-masing.

Saking slebornya, dulu Giavana pernah iseng bertanya saat sedang berkumpul dengan Nada dan Gauzan, "Ehh, gimana sih caranya numbuhin titit?"

Dan pertanyaan itu menghasilkan semburan minuman soda dari mulut Nada dilanjutkan batuk-batuk gadis itu dan Gauzan tertawa ngakak. Sungguh masa-masa SMA yang menyenangkan bagi Giavana.

Karena Giavana diam cukup lama, Gauzan bertanya, "Gi, kau masih di belakang, kan?"

Giavana tersadar dari lamunannya dan menjawab jahil, "Aku bukan Gia, Mas … hi hi hii …."

"Kagak usah begitu, Gi, atau aku ceburin kamu ke kali item, nih!" ancam Gauzan begitu mendengar tawa cekikikan dari belakangnya.

"Ha ha ha! Kamu ini kenapa, sih Zan? Parno amat ama mbak Kun, yah?" Giavana tertawa lepas sambil menampar pundak Gauzan.

"Tsk! Diem kau!" Hanya itu saja jawaban dari si pemuda. Dia tak ingin membeberkan kisah pengalaman horor dia ketika pulang larut malam sendirian pada suatu masa. Bisa-bisa Giavana tertawa ngakak sampai terkencing-kencing nanti kalau dengar.

Tak berapa lama, motor butut itu pun tiba di sebuah bangunan yang cukup luas. Motor berhenti dulu agar Gauzan bisa membuka pagar, dan kemudian motor kembali melaju masuk ke area luas.

Itu adalah kompleks kos-kosan. Mungkin mirip seperti mess. Bangunannya luas, hanya 1 lantai saja namun kamar kos berjumlah hampir 20 buah, dan di tengah-tengah deretan kos yang melingkar secara persegi itu terdapat tanah lapang yang dipaving sederhana.

Biasanya itu dijadikan area parkir untuk motor dan mobil para penghuni maupun pengunjung.

Di depan pintu kos banyak berderet motor, dan ada pula yang memarkir mobil di dekat pintu masing-masing.

Kosnya sendiri bukan jenis yang mewah, hanya sebuah kamar kos sederhana namun tempatnya nyaman dan ada kamar mandi dalam serta gratis wifi. Inilah yang membuat kos campuran itu selalu ramai. Meski murah meriah, memiliki wifi gratis.

Cuma, harap maklum jika wifi di sana sedikit lambat. Yah, bisa dibayangkan bila 1 wifi di-gangbang belasan kamar, itu pun belum termasuk masing-masing kamar memiliki berapa gadget.

Motor Gauzan berhenti di depan pintu kosnya. Giavana turun dari motor dan menjumpai suasana kos yang masih ramai. Beberapa orang masih duduk santai di semen pembatas depan kos mereka bersama teman-temannya, ada pula yang bermain gitar atau bermain karambol.

Sungguh sebuah hunian kos yang sangat hidup meski sudah larut malam.

Sebenarnya Giavana juga tak akan menolak jika harus tinggal di tempat semacam itu. Tapi, pasti ibunya akan teriak tak setuju.

Dan dengan kemunculan Gyarendra di lingkungan Giavana, dia semakin membesarkan niatnya untuk pindah rumah dan menyewa kos saja daripada bertemu lelaki sialan itu.

Tapi … bagaimana cara dia untuk meminta restu dari ibu dan kakaknya jika ingin keluar dari rumah dan mengontrak rumah sendiri?

"Ehh, Zan! Tumben bawa cewek," sapa salah satu tetangga kos Gauzan yang sedang keluar kamar untuk membuang sampah. Sepertinya dia berumur dikisaran 30 tahun. Mungkin dia seorang karyawan.

"Ohh, iya Mas Jo. Ini pacarku." Gauzan menjawab santai.

"Ahh, sip dah!" Lelaki yang disebut Mas Jo tadi pun meringis sambil acungkan ibu jarinya ke Gauzan.

Pacar? Mata Giavana langsung mendelik, tapi Gauzan memberi kode agar Giavana diam saja. "Ssstt! Yuk, masuk!" ajak Gauzan sambil membuka kunci kamar kosnya.

Padahal ingin sekali Giavana menampar kepala Gauzan yang seenaknya mengenalkan dia sebagai pacar. Kenapa harus pacar, sih? Apakah lebih aman jika dikatakan begitu di lingkungan kos ini?

Ahh, Giavana tak paham. Pastinya ada alasan bagi Gauzan menyatakan dia sebagai pacar pada teman kosnya. Sebelum masuk, Giavana sempat melihat tatapan beberapa lelaki di koridor yang sedang bersantai dengan kawan-kawannya terarah ke dia.

Ya sudah, bersandiwara sebagai pacar Gauzan sepertinya baik-baik saja.

avataravatar
Next chapter