30 Menerima Penyerangan Lagi

Sewaktu Giavana dan ketiga sahabat dekatnya sedang makan malam di sebuah restoran cepat saji di sebuah kawasan, dia melihat datangnya Gyarendra yang masuk bersama kawannya serta duduk di meja depannya.

Oleh karena geram dengan sang mantan, Giavana bertindak sok mesra pada Gauzan seperti perjanjian mereka, akan bertingkah layaknya sepasang kekasih dimabuk asmara di depan Bu Jena, Magdalyn, dan calon kakak iparnya ini.

Meski Gauzan merasa risih jika harus berlakon semacam ini, dia tak bisa menolak permintaan Giavana. Yah, sejak dulu dia memang terlalu lemah jika itu mengenai Giavana. Entah kenapa.

Sementara itu, Gyarendra justru terkekeh santai saja melihat kelakuan mesra Giavana dan Gauzan di depannya, seakan dia tidak terganggu sama sekali dengan pertunjukan yang sedang dimainkan. Dia sudah mengetahui dengan yakin bahwa itu memang sebuah pertunjukan semata, bukan kenyataan.

Kemudian, selang setengah jam berikutnya, Gyarendra mengajak kawannya untuk pergi dari restoran itu karena sudah selesai makan dan bersantai sejenak.

Giavana lega bukan main melihat mantan brengseknya telah keluar dari tempat tersebut. Dia seperti terkena sesak napas dadakan setiap melihat Gyarendra. Masih teringat jelas pelecehan apa saja yang telah lelaki itu torehkan padanya. Sentuhan-sentuhan yang membuat dia tak nyaman, bahkan ciuman paksa.

Jika mengingat itu lagi, tubuh Giavana akan merinding dengan sendirinya dan bulu kuduk seolah meremang tanpa diminta. Ia trauma sekaligus sangat membenci insiden seperti itu.

Sungguh beruntung dulu dia tidak pernah mengiyakan ajakan Gyarendra untuk berhubungan intim ketika di Australia. Nyatanya, pilihan teguh Giavana mengenai itu begitu tepat, karena tak berapa lama, borok ras selingkuh Gyarendra ketahuan di depan matanya sendiri.

Giavana hanya akan mempersembahkan kesucian istimewanya pada lelaki istimewa pula. Mungkin teman-temannya tak akan percaya jika mendengar Giavana masih belum tersentuh keperawanannya. Tapi, ini memang hal yang sangat gigih dipertahankan Giavana, sejatuh cinta apapun dia.

Setelah Gyarendra pergi, sikap Giavana dan Gauzan kembali seperti semula, keduanya saling menjauh beberapa sentimeter seperti sedia kala.

"Hah?" Nada tak bisa menahan kebingungannya. "Sebenarnya kalian ini sedang apa, sih? Tadi tiba-tiba mesra sampai aku hampir muntah lihatnya, dan sekarang tiba-tiba kayak magnet di kutub yang sama, saling tolak gitu?"

Widad yang terus menjadi pengamat sejak tadi, memberikan celetukan pelan ke Giavana, "Apa kalian sengaja begitu jika ada orang atau situasi tertentu?"

Hati Giavana seakan diketuk palu raksasa. Kenapa Widad begitu pintar sampai bisa menyimpulkan sejauh itu? Ia menggosok tengkuknya dengan gerakan kikuk. "Yah … gimana, yah?" Apa yang harus dia ucap?

"Apakah orang tadi?" kejar Widad belum ingin usai.

Lagi-lagi, Giavana merutuki kecerdasan Widad. Kenapa lelaki itu begitu pintar menganalisis sesuatu? Kenapa sahabatnya harus mempunyai pacar secerdas itu?

"Iya."

Mata Giavana melotot ke sebelah. Bisa-bisanya Gauzan langsung saja menjawab secara gamblang!

Gauzan membalas tatapan Giavana dengan ucapan, "Apa lagi yang mau disembunyikan, sih? Memang kenyataannya begitu, kan?"

"Maksudnya gimana, sih? Aku lumayan terbelakang nih kalau soal mengamati atau analisis!" Nada mengerang meminta dijelaskan.

"Tingkah mesra mereka bisa mendadak muncul kalau ada seseorang muncul atau pada situasi tertentu, sayank." Widad tidak keberatan menjelaskan pada kekasihnya dengan suara lembut mendayu ditambah senyuman terindahnya. Apa sih yang tidak untuk Nada tercinta?

"Seseorang? Muncul? Siapa? Mana?" Nada makin bingung.

"Itu yang tadi duduk di depan meja kita." Widad masih santai ketika mengatakannya.

"Detektif satu ini susah dibohongi kayaknya, yah!" Giavana menyerah, lalu dia menjelaskan kepada Nada dan Widad. "Kalian masih ingat kan bahwa aku ini mau dijodohin? Nah, laki-laki yang tadi dimaksud Boim itu adalah calon kakak iparku."

"Hah? Dia calon kakak iparmu? Tapi kenapa dia kagak nyapa kamu, Gi?" Nada masih bertanya-tanya. Rasanya terlalu banyak plot hole di sana dan sini dari penjelasan Giavana.

"Dia sepertinya sengaja kagak menyapa aku karena ngeliat aku lagi ama Gauzan. Mama minta tolong dia untuk carikan teman dia yang bisa dijodohin ma aku." Betapa lancarnya aliran kebohongan dari mulut Giavana meski sebenarnya dia bukan tipe pembohong.

"Ohh … sekarang terang benderang, deh! Jadi paham aku tuh!" Nada pun angguk-anggukan kepalanya setelah dia benar-benar mengetahui duduk perkaranya. "Lain kali kalo kalian mau akting mesra lagi, kasi tau dulu dong ke aku, biar aku bisa jadi pemeran pendukung!"

"Iya! Iya!" Lalu Giavana tersenyum. Namun, masih sebuah tanda-tanya baginya di hati, kenapa reaksi Gyarendra hanyalah tertawa santai saja tanpa terlihat terganggu dengan tingkahnya tadi?

-0—00—0-

Sudah seminggu lebih sejak kejadian di restoran cepat saji itu dan semenjak itu, Giavana terus saja waspada setiap berada di kantor. Selama seminggu ini dia kerap berusaha tidak sendirian di manapun di lingkungan kantor.

Dia tak ingin kejadian lalu terulang lagi.

Dan kini, sudah seminggu lebih sejak peristiwa tersebut dan Giavana hanya bisa bernapas lega, mungkin Gyarendra sudah bosan padanya. Terbukti dari datar dan santainya reaksi lelaki itu ketika dia dan Gauzan bertingkah mesra seminggu lalu.

Kalau memang begitu, bagus! Dia memang membutuhkan kedamaian saat bekerja.

Pagi ini, Giavana bersama banyak staf lainnya mulai mendata barang-barang di gudang. Produk dari supplier sudah datang dan mulai menumpuk di area depan gudang sehingga para staf sibuk hilir-mudik mengangkut ke dalam gudang.

Sementara itu, Giavana dan beberapa admin lainnya mulai mendata sambil mendekap tablet mereka masing-masing. Giavana terus berjalan ke rak-rak sambil matanya tidak melewatkan satu pun barang yang baru diletakkan staf.

Satu jam … dua jam … tidak terasa berlalu, hingga Giavana merasa dirinya sudah mencapai bagian paling sudut dari gudang. Menyadari posisinya saat ini, dia merinding dan berpikir lebih baik kembali saja ke ruangannya secepatnya karena trauma dengan yang sudah-sudah.

Baru saja Giavana melangkah memutar badannya, dia langsung menabrak dada lelaki yang berdiri di belakangnya. "Arkh!" Dia memekik kaget, tak mengira ada Gyarendra telah ada di dekatnya, bahkan terlalu dekat!

Giavana berteriak, tapi dia heran karena sepertinya tak ada yang merespon. "Tolong! Tolong!"

Yang ada malah senyum menyeringai Gyarendra padanya dan mulai menarik dia dalam dekapannya. "Untuk apa berteriak? Mereka semua sudah aku halau menjauh dari gudang ini. Percuma walau kamu berteriak seperti rocker sekalipun, manisku, kucing nakalku."

Hah?! Semua karyawan sudah disuruh pergi dari gudang? Sial!

"Kenapa, Gee? Bingung? Ingin marah? Harusnya aku yang marah karena kau berani-beraninya menyentuh lelaki rendahan itu! Kamu sungguh berani bertingkah mesra di hadapanku, hm? Kau yakin sudah siap menerima konsekuensinya, kucing nakalku?" bisik keras Gyarendra sambil terkekeh di dekat wajah Giavana.

Giavana memberontak sebisa mungkin. Tubuhnya gemetar luar biasa. Dia tak ingin mengalami ini lagi. Dia tak mau!

Tapi, dekapan Gyarendra semakin ketat dan telapak tangannya mulai menjelajah ke mana pun dia ingin. Giavana sampai merasa limbung dan suaranya bagai tersedak di tenggorokan.

Seharusnya, Giavana bisa tetap tenang dan terkendali saat diserang begini. Bagaimana pun, dia ini pernah belajar taekwondo. Mana mungkin dia bisa mudah dikuasai seperti saat ini.

Sayangnya, rasa syok dan gemetarnya terlalu besar menguasai dirinya sehingga dia tak sanggup bergerak dan bahkan berteriak lagi pun tak mampu. Tak ada siapapun di dekatnya sekarang. Apakah dia harus menyerah?

avataravatar
Next chapter