26 Melamar Kerja dan Diterima

Bu Jena dan juga Magdalyn tak menyangka Giavana sudah gerak cepat melamar pekerjaan.

"Wah, sepertinya perusahaan besar, yah Va."

"Iya, Kak. Tapi nanti aku harus masuk ke sistem percobaan dulu selama setengah tahun, Kak."

"Begitu?"

"Iya, untuk melihat kinerja aku. Kalau baik, maka bisa berlanjut menjadi karyawan semi resmi dan harus menjalani percobaan lagi selama setengah tahun ke depan dan kalau lulus, aku akan diangkat jadi karyawan tetap."

"Berarti kamu harus diuji selama setahun, begitu yah Va?"

"Benar, Kak. Setidaknya harus menjalani ujian kerja selama setahun dulu sebelum bisa jadi karyawan tetap."

"Kalau tidak lulus? Langsung dipecat?"

"Sepertinya begitu, Kak."

"Kalau kamunya yang merasa tidak cocok di bulan ketiga masuk ke sana, bagaimana?"

"Hm, sepertinya karena ada ikatan kontrak di awal, aku nggak bisa minta berhenti seenaknya, Kak. Akan kena sangsi ini dan itu. Yah, begitu yang aku baca di website perusahaannya, sih. Kecuali misalkan aku nggak betah di sana, aku bisa malas-malasan kerja agar dalam uji coba setengah tahun itu aku dinyatakan gagal."

"Kamu hanya memasukkan lamaran di sana saja, Va?" Magdalyn bertanya.

"Enggak di sana saja, sih Kak. Aku juga masukkan lamaran ke CV Limas Medika, PT Serotina, dan Larita Group. Tapi harapan terbesar aku sih yang Multi Panca Sentosa tadi, Kak."

Magdalyn angguk-anggukkan kepalanya. "Semoga lancar seperti yang kamu harapkan, yah Va."

"Iya, Kak, amin! Minta doanya yah, Kak, Ma!"

"Yah, tentu saja kami pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu, Va." Bu Jena menanggapi.

-0—00—0-

Setelah berhari-hari menunggu kabar dengan harap-harap cemas, akhirnya datang sebuah surat dari sebuah perusahaan ke Giavana. Bu Jena menampilkan wajah sumringah Beliau ketika mengantarkan surat itu ke putri bungsunya di kamar.

"Va! Datang, Va! Datang!" pekik tertahan Bu Jena disertai binar ceria pada wajah Beliau.

"Hm? Apa, Ma?" Giavana melepas headset di telinganya dan tegakkan tubuh dengan benar dari rebahnya.

Bu Jena menyerahkan sebuah surat ber-kop dengan tulisan sebuah nama perusahaan di sudut atasnya. "Kamu diterima! Ya, kan?"

Giavana membaca nama perusahaan itu dan sedikit kecewa. Tidak menjawab langsung pertanyaan ibunya yang berapi-api, tangannya mulai membuka surat itu dan membaca apa saja yang tertera di dalamnya. "Um, iya Ma, aku diterima."

"Loh? Kok kamu seperti nggak senang, sih Va?" Wajah Bu Jena surut seketika melihat respon datar Giavana usai membaca surat tersebut.

Giavana mendongakkan kepala menatap ibunya dan menjawab, "Ini bukan surat penerimaan yang aku harapkan, Ma. Ini dari CV Limas Medika. Bukan Multi Panca Sentosa Group."

"Aihh! Kamu ini!" Bu Jena pun duduk di tepi ranjang, dekat putrinya. "Harusnya kamu senang meski ini bukan perusahaan yang kamu incar. Yah, tak masalah kalau ini yang merespon, kan? Siapa tahu justru di sinilah rejeki kamu bermula."

"Hm, yah … mungkin, Ma." Giavana masih agak enggan. Harapan tingginya atas perusahaan yang dia incar malah pupus, itu membuat wajahnya sedikit mendung.

"Heh, anak Mama ini … jangan murung begitu." Bu Jena menasehati bungsunya. "Siapa tahu ini adalah batu loncatan untukmu. Kalau nanti kau tidak betah di sana, kau bisa pindah ke tempat lainnya, setidaknya kau sudah memiliki pengalaman kerja."

Giavana menatap ibunya yang penuh antusias akan dirinya yang diterima kerja di salah satu perusahaan, meski bukan yang dia inginkan. Tak tega menyurutkan harapan sang ibu, ia pun mengangguk. "Iya, Ma. Tapi aku akan tunggu beberapa hari lagi. Kalau tidak ada pengumuman lolos lainnya, mungkin aku memang harus masuk ke CV Limas Medika ini."

Bu Jena tersenyum senang, menepuk sekali bahu putrinya sebelum Beliau terbang keluar menuju ke kamar sulungnya untuk mengabarkan bahwa Giavana diterima salah satu perusahaan yang dilamar.

Segera, Magdalyn pun mendatangi adiknya di kamar dan menyatakan suka citanya dan memberi ucapan selamat ke Giavana agar sang adik bisa lebih senang atas penerimaan yang didapatkan.

Karena tak mau mengecewakan kakak yang telah menyemangatinya, Giavana pun ikut tersenyum membalas sang kakak.

.

.

"Va, besok belanjalah baju-baju untuk kamu kerja." Bu Jena masuk ke kamar putrinya pada malam itu sambil memberikan berlembar-lembar uang warna merah yang masih dibundel oleh kertasnya.

"Hm? Ini …." Giavana menerima uang itu dan menghitungnya, ada sekitar 5 juta rupiah jika dihitung-hitung dari jumlah bundle kertas. "Ma, ini terlalu banyak." Ia menyerahkan kembali uang tersebut ke ibunya.

"Sudah, terima saja. Ini bisa untuk beli keperluan kamu untuk persiapan kerja." Bu Jena mendorong pelan tangan putri bungsunya pertanda Beliau merelakan uang itu untuk Giavana.

"Tapi, nanti Mama—"

"Mama masih ada banyak peninggalan dari papa, kok." Bu Jena seakan memahami apa yang ingin diucapkan bungsunya. Ditambah senyuman ikhlas, Bu Jena benar-benar ingin uang itu dipegang Giavana. "Mama nggak pernah kasi kamu uang banyak selama kamu kuliah dulu, anggap saja ini permintaan maaf dari Mama. Terima, yah!"

Mata Giavana berkaca-kaca. Dia paham kondisi keuangan keluarganya sejak sang ayah meninggal karena sakit jantung. Tak mungkin dia mendendam jika ibunya tak bisa mengirim banyak uang untuk dia di negeri orang. Dia memahami kesulitan keluarganya, oleh karena itu dia tak mempermasalahkan jika dulu selama kuliah, dia tak bisa bersenang-senang membeli apapun yang diinginkan layaknya gadis muda menikmati hidup.

Giavana sudah menerima keadaannya saat itu, makanya tidak pernah ada perasaan sakit atau tak rela. Apalagi biaya pengobatan untuk kakaknya tentu menyita fokus finansial keluarga. Meski harta peninggalan ayahnya banyak, namun Bu Jena berusaha berhemat sebisa mungkin demi putri-putrinya karena Beliau tidak bekerja, hanya mengurus rumah saja.

Inilah mengapa Bu Jena merasa bagaikan dikirimi malaikat penyelamat ketika Gyarendra datang ke keluarga mereka dan membahagiakan Magdalyn. Bahkan Gyarendra juga seolah berbagi beban dengan Bu Jena dalam merawat Magdalyn. Itulah sebabnya Beliau sangat mengidolakan Gyarendra.

Giavana menarik napas dalam-dalam dan menahan tangisnya. Dia tak mau air matanya keluar, nanti ibunya juga akan ikut menangis kalau dia menangis. "Terima kasih, Ma. Terima kasih. Ini benar-benar besar untuk aku, dan Ma … aku sama sekali tidak pernah mendendam pada Mama hanya karena Mama tidak memberiku banyak uang ketika aku kuliah. Sama sekali tidak, Ma. Aku paham kondisi di sini."

Si bungsu meraih ibunya untuk dia peluk. Bu Jena membalas pelukan dengan senyum haru.

-0—00—0-

Keesokan harinya, Giavana mengajak Nada untuk mengantarnya mencari baju-baju kerja yang pantas di mall.

"Kamu diterima kerja di mana, Gi?" tanya Nada sambil sibuk memilihkan setelan kerja untuk Giavana, dan menyodorkan satu yang sudah dia pilih ke sahabatnya.

Giavana menggeleng pada apa yang disodorkan Nada dan menjawab, "Di CV Limas Medika, Nad."

"Perusahaan apaan tuh? Medika? Berkaitan dengan dunia medis?"

"Iya. Semacam perusahaan yang menyediakan peralatan medis untuk rumah sakit."

Sementara, di tempat lain, Gyarendra bertanya ke anak buahnya melalui video call, "Semua yang kuperintah sudah kau laksanakan?"

"Sudah, Bos! Gadis itu masuk ke anak perusahaan Bos sesuai rencana."

avataravatar
Next chapter