2 Jatuh Cinta Begitu Mendalam

Tidak disangka-sangka, Giavana diberitahu ibunya bahwa kakak perempuan yang sangat dia sayangi sebentar lagi akan menikah!

"Wuaahh, Kak! Hebat!" Raut gembira terpancar jelas dari wajah Giavana dan itu benar-benar tulus.

Selama ini, Giavana selalu merasa sedih setiap teringat akan kakaknya yang menderita penyakit jantung semenjak kecil.

Sedari kecil, sudah berulang kali dia menyaksikan sang kakak yang meringis menahan sakit ketika penyakit itu kambuh. Bahkan kadang kakaknya akan merosot terduduk ke lantai jika saking tak kuatnya menahan rasa sakit di dadanya.

Ayahnya sudah pernah membawa Magdalyn berobat hingga ke Jerman, tapi ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Dokter mengatakan bahwa kondisi jantung Magdalyn berbeda dari penderita jantung bawaan lainnya dan sejak itu Magdalyn tak bisa lepas dari obat seumur hidupnya.

Penyakit itu memang warisan dari kakek, menurun ke ayahnya dan kemudian ke Magdalyn, namun yang diderita Magdalyn lebih parah ketimbang kakek dan ayahnya. Itu bagaikan penyakit kutukan saja, sungguh membuat Giavana menitikkan air mata jika teringat akan kondisi kakaknya.

Kakaknya, Magdalyn, adalah seorang perempuan yang sangat cantik dan lembut serta anggun ketika bergerak maupun bertutur. Jarak usia mereka hanya terpaut 5 tahun jauhnya.

Giavana teringat dulu ada banyak lelaki yang ingin menjadi pacar Magdalyn, tapi sang kakak lebih banyak menolak ketimbang menerimanya karena dia tak yakin apakah ada lelaki yang mau menerima kondisi rapuhnya begitu. Apalagi ketika memasuki tahun SMA, Magdalyn terpaksa mendapatkan home-schooling karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

Sakit jantung Magdalyn akan kambuh dengan parah apabila dia terlalu memikirkan sesuatu atau jika syok.

Maka dari itu, saat ayah mereka tiada, Magdalyn hampir menyusul jika tidak karena penanganan cepat dari ibu yang memanggil ambulans disaat mereka sedang sibuk mengurus pemakaman sang ayah.

Tak heran, ketika Giavana mendengar bahwa kakaknya akan menikah, itu seakan meletupkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Ia menginginkan kakaknya bisa bahagia.

Di meja makan, topik itu tentu dibahas ketat oleh Giavana. "Kak, berarti kalian sudah bertunangan?"

"Tentu saja sudah!" Magdalyn memamerkan cincin indah di jari manis tangannya.

"Lihat! Lihat! Aku harus lihat!" Giavana meraih tangan kakaknya untuk melihat lebih jelas cincin itu.

"Aihh, Va, apaan, sih? Kenapa sebegitunya kau ingin melihat cincin kakakmu?" Bu Jena sampai menegur pelan si bungsu.

"Aku ingin tahu apakah cincinnya mahal? Apakah dia lelaki pelit atau berani royal untuk Kak Lyn, he he he …," kilah Giavana sambil menatap ibunya sebelum matanya tertuju lagi ke cincin itu. "Wah, ini cincin mahal kalau melihat dari desain dan batu-batu berliannya, sih! Kak, kau sudah cek ini berlian asli atau palsu?"

"Astaga, Bontot!" Magdalyn mencubit cuping hidung adiknya dengan gemas.

"Dia itu lelaki yang baik dan sabar, loh Va!" Bu Jena lekas menimpali.

"Yakin, Ma? Bukan karena pencitraan saja?" Mata Giavana mengerling nakal ke ibunya.

"Hiss!" Bu Jena mengibaskan tangan di depan wajah bungsunya. "Mereka sudah berpacaran selama setengah tahun!"

"Wah, termasuk lama, tuh!" Giavana menaikkan alisnya. "Memangnya kalian bertemu di mana, Kak?"

"Bertemu di rumah sakit waktu Kakak sedang medical check up rutin." Magdalyn tersipu, pipinya merona merah. Dari situ saja sudah ketahuan bahwa gadis itu sedang jatuh cinta setengah mati. Giavana bisa melihat tanda itu di kakaknya, ia pun tersenyum bahagia.

Sangat jarang melihat senyum kakaknya seperti itu, menandakan sang kakak memang menemukan pria yang sangat luar biasa melebihi pria-pria manapun sebelum ini yang seringkali tidak sabaran menghadapi kondisi Magdalyn.

"Sepertinya Kak Lyn jatuh cinta berat, nih! Ehek! Cieee … cieee …." Giavana menggoda kakaknya.

"Apa sih, kamu itu …." Magdalyn benar-benar tersipu layaknya remaja baru mengenal cinta pertamanya.

"Tapi, Kakak jangan terlalu excited ke dia, yah! Aku tak mau jantung Kakak kambuh." Giavana mengingatkan itu ke Magdalyn. "Oh ya, namanya siapa, Kak?" Dia sudah mulai penasaran ingin tahu sosok yang sudah membuat sang kakak begitu jatuh bangun mencintai.

"Vigo, itu nama dia." Magdalyn menjawab masih dengan membawa jejak rona di wajahnya. Pastinya dia langsung mengingat sang tunangan yang sangat dia cintai ketika nama itu disebut.

"Vigo? Seperti nama orang Amerika Latin saja." Bibir Giavana mencibir, ingin menggoda sang kakak.

"Bukan orang Latin, kok Va. Wajahnya malah mirip seperti artis Korea!" Bu Jena yang menjawab penuh semangat.

Melihat sang ibu yang berulang kali membela tunangan kakaknya ini, Giavana bisa melihat betapa ibunya sangat menghargai lelaki itu.

"Aku jadi penasaran! Lihat fotonya, dong! Aku ingin tahu orang seperti apa yang sudah membuat kakak aku termehek-mehek begini!" Dua tangan Giavana yang memegang sendok dan garpu segera menabuhkan dua perkakas makan itu ke piringnya, menimbulkan suara riuh.

"Hei! Anak gadis tak baik bertingkah barbar begitu di meja makan, aihh!" Bu Jena melotot galak ke putrinya, tapi tentu saja itu tidak membuat Giavana takut karena dia tahu ibunya hanya melakukan gertak sambal saja padanya.

"Wah, maaf saja, Va, dia tidak pernah memperbolehkan kalau aku memiliki fotonya." Magdalyn menjawab dengan senyum kecilnya.

"Hah? Kenapa? Kenapa dia tak mau Kak Lyn punya fotonya? Bahkan foto di ponsel pun nggak boleh?" Giavana sampai terheran-heran.

"Iya, aku tak punya satupun foto dia, baik itu fisik atau pun digital."

"Ehh? Kenapa? Kan kalian pacaran bahkan udah tunangan!"

"Dia ingin begitu dengan alasan … agar aku selalu merindukan dia."

Mata Giavana membelalak lebar mendengar jawaban dari Madgalyn. "Hah? Alasan macam apa itu, ya ampun!"

"Vava, itu makanan di mulut kunyah dulu, astaga sampai hampir jatuh itu, eiii mulut jangan melongo lebar begitu, ihh kamu ini anak gadis, ingat itu!" Bu Jena mulai ribut melihat kelakuan anak bungsunya. Tapi itu malah ditimpali tawa renyah si bungsu sambil melanjutkan mengunyah.

"Iya, Va, dia tidak ingin aku menyimpan fotonya agar aku setiap hari merindukan dia. Kalau aku punya fotonya, aku bisa menuntaskan rindu dari foto. Dia tak mau itu." Inilah penjelasan yang disampaikan Magdalyn.

"Duhaaiii … puitisnya pangeranmu itu, Kak! Aha ha ha! Aku nggak kuat dengarnya, ha ha ha!" Giavana terus menggoda sang kakak setelahnya.

Hingga Bu Jena berkata, "Nanti malam dia akan ke sini. Dia biasa datang dua atau tiga hari sekali untuk menengok kakakmu. Dia itu sangat perhatian!"

"Wow … oke, nanti malam akan aku inspeksi dengan ketat dia dari ujung rambut atas sampai ujung rambut bawah!" Kepala Giavana mengangguk tegas.

"Ehh, bocah ini! Malah bicara rambut atas dan rambut bawah! Kau ini … tak pantas ahh bicara macam itu, Va!" Bu Jena lagi-lagi harus mengoreksi tingkah putri bungsunya yang sungguh berbeda dengan si sulung yang tenang dan sangat kalem.

"Ehek! Berarti justru Mama yang berpikir jorok! Kan rambut bawah itu rambut yang ada di jempol kaki, Ma! Semua orang pasti punya itu, ya kan? Aihhh … pikiran Mama cantikku ini ternyata … hi hi hi!" balas Giavana sambil tertawa cekikikan.

Wajah Bu Jena memerah diledek putri bungsunya. "Kau ini! Sudah berani memprotes mamamu, yah!"

"Ampun, duhai kanjeng mami ratu!" Giavana malah berlagak bagai sedang menghormat dengan menangkupkan dua tangan di depan wajah dan kepala ditundukkan.

Magdalyn malah terkekeh geli melihat itu. "Kalian ini … baru saja bertemu sudah seperti kucing dan anjing. Tapi kalau berjauhan saling mewek di telepon, hi hi hi!"

"Aku kucingnya!" Giavana lekas mengangkat tangan. "Berarti Mama …."

"Vava!" jerit Bu Jena makin dibuat kesal dan bungsunya pun tertawa keras.

.

.

Malam harinya, Giavana tak sabar ingin melihat tunangan kakaknya.

Ketika akhirnya terdengar suara mobil berhenti di depan pagar depan, Giavana pun menggandeng kakaknya untuk menyambut sang pangerannya.

"Nak Vigo!" seru Bu Jena sambil membukakan pintu depan.

"Selamat malam, Ibu. Ini kebetulan tadi lewat di dekat kios buah." Lelaki bernama Vigo itu mengangsurkan sekeranjang besar buah-buahan mahal ke Bu Jena.

Sementara Bu Jena sedang tersipu senang melihat apa yang dibawa calon menantunya, dan Magdalyn tersipu karena menahan rindu, tidak demikian dengan Giavana.

Mata Giavana membeku saat dia melihat siapa lelaki bernama Vigo ini. Dia adalah Ren, mantan pacar dia saat di Australia! Apa maksudnya ini!

avataravatar
Next chapter