2 Bab 2. Revenge Begin: It's Just The Beginning.

Sejak kehilangan Rhea, sifat Evan kini berubah drastis. Tak ada lagi senyuman ataupun canda tawa kebahagiaan yang selalu terdengar memenuhi luxury mansion yang dibangun oleh Evan sedemikian megah hanya untuk mengukir senyuman di bibir Rhea.

Keteduhan sorot mata Evan kini telah lenyap dan berubah menjadi sangat tajam, bagai sorot mata seorang pembunuh berdarah dingin yang haus akan darah. Evan sudah menghapus kata maaf dan juga kata ampun dalam memory-nya, Evan sudah mensetting otaknya untuk menjadi seorang pembunuh kejam yang tak mengenal kata ampun.

"Peter! Cari tahu semua identitas anak buah Julian yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Rhea! Juga ... cari tahu kapan Julian akan mendistribusikan obat-obatan terlarang dalam jumlah yang sangat besar. Dan yang terakhir, carilah keluarga miskin yang sedang membutuhkan donor mata dan jantung," perintah Evan seraya membelai kelopak bunga mawar putih yang sudah hampir mengering di dalam vas bunga di ruang kerjanya.

Dahi Peter mengernyit, pria bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan itu tampak sedikit bingung dengan perintah Evan. Meskipun ia dan Evan sudah bersahabat sejak mereka masih kecil, Peter masih saja tidak bisa menebak jalan pikiran Evan saat ini.

"Kenapa wajahmu terlihat bingung seperti itu? Apakah ada yang salah dengan perintahku?!" meskipun hanya sekilas melihat wajah Peter, Evan sudah tahu kalau sahabatnya itu sedang bingung.

"Aku hanya bingung, kenapa aku harus mencari keluarga miskin yang membutuhkan donor mata dan jantung?"

Evan menghela napas panjang lalu berdiri dari kursi singgasananya, pria itu kemudian berdiri di depan jendela yang sedang terbuka lebar dan menatap kebun bunga mawar putih yang terhampar luas, semua bunga mawar itu ditanam oleh Rhea.

Dan saat ini semua bunga-bunga mawar itu sedang bermekaran, sehingga mansion Evan berbau sangat harum.

"Mereka membunuh Rhea karena kebencian! Dan aku akan membunuh mereka dengan alasan cinta, karena aku akan mendonorkan semua organ tubuh para bajingan itu kepada orang-orang miskin yang sedang membutuhkan donor organ tubuh," jelas Evan.

Peter mengangguk perlahan. "Baiklah, aku mengerti. 1 jam lagi aku akan laporkan semuanya kepadamu, dan malam ini juga akan kujajarkan semua mayat anak buah Julian di depan rumahmu." kini Peter paham dengan perintah aneh dari Evan.

Evan seketika berbalik dan menatap wajah Peter.

"Peter, aku hanya menyuruhmu untuk mencari tahu identitas semua anak buah Julian yang telah terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Rhea. Bukan untuk membunuh mereka!"

"Karena aku sendiri yang akan membunuh para bajingan itu dan dengan kedua tanganku, akan kubuat mereka merasakan siksaan yang teramat perih sebelum mereka meregang nyawa," imbuh Evan cepat sembari menatap tangan kekarnya yang penuh otot.

"Baiklah, Evan. Aku pamit dulu, akan kuselesaikan tugasku secepat mungkin," ucap Peter lalu ia pergi meninggalkan Evan yang kembali menatap kebun mawar putih.

1 Jam kemudian ....

"Terlambat 15 detik," ucap Evan sembari meninju, menendang samsak tinju berwarna merah.

"Maaf, Evan."

"Aku sudah menghapus kata maaf di memory otakku! Tapi aku beri pengecualian untukmu," ucap Evan sambil terus meninju samsak.

"Evan, tengah malam nanti Julian akan menyelundupkan 2 kontainer berisi heroin dan 3 kontainer senjata ilegal ke Amerika. Dan ini adalah daftar identitas anak buah Julian yang terlibat langsung dalam penculikan dan pembunuhan Rhea, total ada 10 orang dan salah satu diantaranya adalah seorang Dokter Spesialis Bedah . Dan ini adalah daftar keluarga miskin yang membutuhkan donor mata dan juga jantung," Peter memberikan beberapa lembar kertas kepada Evan.

Evan mengambil kertas-kertas dari tangan Peter dan langsung membacanya dengan teliti.

"Bagus, Peter! Kamu adalah orang yang bisa diandalkan dan kamu tidak pernah mengecewakanku," puji Evan lalu menepuk pundak Peter pelan.

Peter hanya tersenyum simpul mendengar pujian dari Evan.

"Peter, bersiaplah! Ada yang harus kita kerjakan sekarang," suruh Evan.

"Kita mau kemana? Bukankah setelah ini kita ada meeting penting dengan pengusaha dari Milan?"

"Aku sudah membatalkannya! Pakai baju biasa saja dan jangan terlihat mencolok." Evan berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti baju.

Peter bergegas pergi ganti baju di kamarnya, ia selalu menuruti semua perintah Evan tanpa bantahan. Di mansion milik Evan. Peter juga mendapat jatah kamar, karena Peter sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Evan.

Sebenarnya Evan mau mengajak Peter pergi kemana? Kenapa juga harus memakai baju biasa?

Beberapa menit kemudian, Peter keluar dari kamarnya dengan memakai kemeja berwarna hijau tua yang dilipat sampai ke siku dan dipadukan dengan celana jeans, tak lupa ia memakai sepatu kets, topi dan juga kaca mata.

Penampilan Peter terlihat seperti anak muda pada umumnya, lain halnya dengan Evan. Evan memakai kemeja hitam serta celana hitam, tak ada bedanya dengan penampilan sehari-hari. Malah Evan bisa dengan mudah dikenali sebagai seorang pimpinan mafia.

"Bagus! Penyamaran yang sempurna, ayo kita pergi." Evan berjalan memimpin di depan diikuti Peter dari belakang.

Peter terus-terusan menatap tubuh Evan dari atas ke bawah.

"Bukannya tadi dia yang bilang sendiri kalau tidak boleh memakai pakaian yang mencolok? Tapi kenapa malah dia sendiri yang berpakaian mencolok? Dasar Evan," gerutu Peter dalam hati.

"Apa kamu tadi berbicara sesuatu tentangku?" tanya Evan tiba-tiba menoleh ke Peter, seolah-oleh tahu kalau Peter sedang menggerutu di belakangnya.

Peter terkejut, netranya membulat. "Tidak!"

Jawaban yang singkat namun jelas, jelas bisa menyelamatkan Peter dari omelan Evan.

****

Mobil yang dikemudikan Peter berhenti tepat di depan rumah sakit San Giovanni–rumah sakit terbesar di Roma. Evan dan Peter tidak langsung turun dari mobil, mereka terlihat sedang mengamati situasi.

"Parkirkan mobilnya, dan kita langsung masuk ke dalam."

Peter mengangguk dan menuruti instruksi Evan, mereka lalu masuk ke dalam rumah sakit sambil terus mengamati situasi disekitar.

"Apa kamu sedang mencari informasi tentang dokter Alberto?"

Evan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin memastikan saja, apa hubungan Julian dengan dokter Alberto? Apakah dokter itu juga terlibat dalam perdagangan organ tubuh manusia yang Julian jalani saat ini."

"Kalau begitu, kita harus menemukan kantor dokter Alberto. Siapa tahu, ada sebuah petunjuk di dalam kantornya," usul Peter.

"Apa kamu tahu dimana kantornya?" tanya Evan.

"Tentu saja aku tahu! Aku tidak pernah setengah-setengah kalau mencari sebuah informasi," jawab Peter santai.

"Bagus! Cepat tunjukkan jalannya kepadaku."

Peter kini memimpin di depan untuk menunjukkan jalan, tidak sulit baginya untuk menemukan ruangan Dokter Alberto mengingat banyaknya anak buah dan mata-mata yang berada di bawah kekuasaan Evan.

Kini Evan dan Peter melewati sebuah lorong panjang, keduanya terlihat berhenti sejenak. Peter bergegas meraih ponselnya dan menyuruh anak buahnya untuk mematikan cctv yang dipasang di dekat kantor dokter Alberto.

"Waktu kita tidak banyak, Evan! Hanya 3 menit, karena dokter Alberto sebentar lagi akan kembali ke kantornya." instruksi Peter yang ditanggapi anggukan kepala oleh Evan.

Evan pun segera masuk ke dalam ruang dokter, sedangkan Peter menunggu di luar. Evan memeriksa meja kerja dokter Alberto, dibukanya satu per satu map dan amplop, dan hasilnya nihil. Lalu ia kini beralih membuka satu per satu laci, dikorek-koreknya seluruh laci namun hasilnya tetap nihil.

Kini Evan beralih lagi ke rak buku mini yang menempel di dinding, digeledahnya semua buku dan berharap bisa menemukan satu petunjuk, namun Evan tak kunjung menemukan satu pun bukti.

Diluar, Peter terlihat sangat cemas karena Evan tak kunjung keluar juga. Waktu semakin habis, sudut mata Peter menangkap sosok Alberto sedang berjalan diujung lorong dan terlihat sedang sibuk menatap layar ponselnya, Peter bergegas membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam.

"Evan! Alberto datang! Cepat keluar!!"

"Aku masih belum menemukan apa-apa, Peter!"

"EVAN!! Cepat! Tidak ada waktu lagi!"

"Ulur waktu," perintah Evan.

Langkah kaki Alberto semakin dekat, suasana pun berubah menjadi tegang. Peter harus memikirkan cara untuk bisa mengulur waktu supaya Alberto tidak menangkap basah dirinya dan Evan. Peter mencoba memeras otaknya.

Tapi, bagaimana caranya?

Peter meremas rambutnya agar ia bisa berpikir, tak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah tombol fire emergency. Tanpa pikir panjang, Peter langsung menekan tombol dengan jari telunjuknya.

Alarm berbunyi sangat keras, para pengunjung rumah sakit dan semua pasien yang bisa berjalan berusaha berlari untuk menyelamatkan diri. Para perawat dan dokter berusaha mengevakuasi pasien, Alberto berbalik arah dan ia ikut membantu proses evakuasi.

"Evan, cepat keluar! Kita harus segera pergi dari sini sebelum ketahuan!"

Evan hanya mengangguk, saat ia hendak keluar. Netra Evan terpaku pada tong sampah bersih yang penuh dengan kertas, tanpa pikir panjang, Evan langsung menyambar plastik sampah itu lalu pergi keluar bersama Peter.

Evan dan Peter berjalan melewati lorong, mereka melangkahkan kaki dengan cepat. Evan melihat ada seorang perawat yang sedang mendorong kursi roda, seorang pasien perempuan dengan mata yang diperban duduk diatasnya.

'Evan!'

Langkah kaki Evan seketika berhenti, Evan mengenal suara itu. Suara yang tiba-tiba memanggil namanya, itu adalah suara Rhea. Tatapan mata Evan menatap perempuan yang sedang duduk di kursi roda.

Entah kenapa jantung Evan tiba-tiba berdegup sangat kencang saat melihat perempuan itu. Wajah perempuan asing baginya, tapi kenapa hati dan debaran jantung Evan bisa mengenali perempuan itu.

Siapa perempuan itu sebenarnya?

"Evan !! Cepat!! Kita harus segera pergi dari sini!" tepukan tangan Peter dipundaknya langsung membuyarkan lamunan Evan.

Peter memberi isyarat untuk segera pergi, tatapan mata Evan masih menatap ke arah perempuan itu seolah enggan untuk meninggalkannya. Siapa sebenarnya perempuan itu?

"Cepat lindungi nona Iris," titah Felix kepada anak buahnya.

****

Malam Harinya ....

"Apa kamu sudah siap, Peter?"

"Always ready my lovely, Bos," jawab Peter setengah bercanda agar tidak terlalu tegang.

Evan, Peter serta semua anak buah mereka menggunakan Earpiece sebagai alat komunikasi jarak jauh. Evan dan Peter berada di dalam mobil yang berbeda, saat kontainer sudah meninggalkan gudang rahasia milik Julian.

Mobil Evan, Peter serta 5 mobil anak buah Evan mulai beraksi dengan mengikuti 5 kontainer itu dari belakang, saat mereka berada di tempat yang sepi. Mobil Peter dan yang lain mulai mensejajarkan posisi di samping kontainer.

Mobil Evan kemudian melaju dengan kecepatan tinggi lalu berhenti di tengah jalan dengan posisi melintang untuk menghentikan laju ketiga kontainer milik Julian, meski sudah diklakson berkali-kali. Mobil Evan tetap tak mau minggir.

Pada Akhirnya, kelima kontainer itu terpaksa berhenti. Karena tidak mungkin juga untuk menabrak mobil Evan, karena terlalu berisiko.

Saat para pengemudi kontainer dan anak buah Julian turun dari kontainer, Evan langsung menembaki mereka tanpa ampun. Tak butuh waktu yang lama, akhirnya Julian kontainer bisa dikuasai oleh anak buah Evan.

"Apa yang harus kita lakukan setelah ini?" tanya Peter.

"Bawa semua kontainer ini ke depan mansion Julian," perintah Evan cepat. "Apa kalian sudah membawa barang yang kuminta?" tanyanya lagi.

"Semuanya sudah beres."

"Bagus! Lakukan semuanya sesuai dengan instruksiku!"

Dan semua anak buah Evan bergerak menuju ke mansion Julian dengan membawa semua kontainer berisi obat-obatan terlarang dan juga senjata api.

Sampai di depan pagar mansion mewah Julian, anak buah Evan menembaki penjaga pintu gerbang mansion dan memarkir 5 kontainer itu secara berderetan. Peter dengan cepat memasang bom waktu di dalam kontainer yang waktunya disetting 60 detik .

"JULIAN!! KELUAR!! Aku datang untuk memberimu sebuah hadiah!" Evan berteriak kencang dengan memakai sebuah alat pengeras suara.

Julian yang sedang tertidur pulas langsung, tersentak kaget lalu berlari menuju balkon dari kejauhan ia bisa melihat Evan beserta 5 kontainer miliknya ternyata sudah berada di depan pagar.

"Selamat menikmati hadiahmu, Julian!!"

"Ayo kita pergi," ajak Evan dan semua anak buahnya langsung masuk ke dalam mobil dan segera pergi menjauh.

"3 2 1."

BOOM!!

BOOM!!

Kelima kontainer itu meledak bersamaan, diikuti ledakan dari gudang anggur dan juga gudang senjata yang berada di dekat mansion Julian.

"It's just the beginning, Julian!! Perang baru saja dimulai."

To be continued.

.

avataravatar
Next chapter