1 Bab 1. Tewasnya Rhea.

Hari Sabtu sore adalah hari yang paling Evan tunggu, setelah menunggu selama 5 tahun untuk menaklukan hati Rhea. Hari ini akhirnya Evan dan Rhea bisa bersatu dalam ikatan suci pernikahan.

Setelan jas berwarna putih yang dikenakan Evan membuatnya tampak semakin gagah dan tampan, senyum bahagia tak henti-hentinya mengembang dari bibir Evan.

Tema pernikahan Evan dan Rhea adalah white rose wedding yang di laksanakan di outdoor dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai hutan mini penuh bunga yang indah. Gapura, tempat duduk, kue pengantin dihias sangat indah dengan bunga mawar putih.

Bahkan langit-langitnya pun dihiasi Ronce bunga, sungguh sangat indah dan romantis bagaikan di negeri dongeng. Bahkan ketua mafia terkuat di Italy dari klan keluarga Lorenzo, yang wajahnya terlihat sadis dan dingin bisa menjelma menjadi lelaki yang sangat romantis kepada wanitanya.

"Selamat, Evan. Akhirnya kamu dan Rhea bisa bersatu," ucap Peter, sahabat sekaligus tangan kanan Evan yang memberikan pelukan hangat.

"Terima kasih ... apakah aku terlihat tampan hari ini? Apakah aku terlihat seperti hantu? Kalau bukan Rhea yang memimpikan pesta pernikahan dengan tema white dress code, aku tidak akan pernah mau mengenakan setelan jas seperti ini." Evan mendesah panjang sambil mematut penampilannya di depan cermin berukuran besar yang terpajang di hadapannya, untuk pertama kalinya dalam hidup ia merasa sangat gugup.

Evan berbalik badan, kini ia dan Peter saling berhadapan. Kegugupan yang Evan tunjukkan, malah membuat Peter tersenyum geli.

"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang aneh dengan penampilanku?" tanya Evan sambil mengerutkan kening penuh tanda tanya.

"Kamu terlihat sangat tampan, bahkan terlihat sangat tampan seperti pangeran Elf dari Woodland," canda Peter yang dihadiahi tonjokan pelan di lengan kekarnya dan keduanya pun tertawa.

Evan kembali menatap ke cermin sambil membayangkan Rhea yang memakai gaun putihnya. "Aku sudah tidak sabar, pasti Rhea terlihat sangat cantik saat memakai baju pengantinnya. Sepertinya kamu juga harus menikah Peter, supaya hidupmu menjadi lebih berwarna, bukan hanya hitam saja," canda Evan sambil tersenyum senang.

"Tidak! Kamu saja dulu, aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajahmu yang sedang kebingungan saat sedang mengganti popok anakmu. Pasti lucu dan seru," ejek Peter.

"Hey! Apa kamu mau mati?!"

Evan dan Peter saling menatap lalu tertawa, pernahkah kalian melihat ketua mafia yang terlihat kejam dan penuh wibawa sedang mengganti popok anaknya? Sepertinya Evan yang akan menjadi ketua mafia pertama yang akan melakukannya.

"Sudah tiba waktunya, cepatlah pergi dan temui pengantinmu." netra Peter berkaca-kaca.

Pukul 04.15 sore ....

Ekspresi wajah Evan dan tamu undangan yang jumlahnya tak lebih dari 50 orang itu kini terlihat tak tenang dan gelisah, karena iringan pengantin Rhea tak kunjung datang. Apa yang sebenarnya terjadi?

Mungkinkah Rhea melarikan diri seperti di film-film? Ataukah Rhea berubah pikiran? Segala kemungkinan buruk itu kini berkecamuk di pikiran Evan. Tidak mungkin kalau Rhea melarikan diri, mengingat hubungan keduanya yang sudah tidak terpisahkan lagi.

Entah apa yang telah terjadi, sehingga Peter tiba-tiba saja berlari melintasi aisle setelah mendapat panggilan telepon dari anak buahnya. Perasaan Evan tiba-tiba diselimuti perasaan takut dan cemas, apa yang sebenarnya telah terjadi?

hanya beberapa menit, Peter terlihat berjalan di ujung aisle. Namun ada yang aneh dengan ekspresi wajahnya, pria bertubuh tinggi tegap itu wajahnya terlihat mendung.

Namun, ada yang lebih mengejutkan lagi. Tepat di belakang Peter, anak buah Evan terlihat menggotong sebuah peti mati berwarna putih, bukannya iringan pengantin.

"Mana Rhea? Berani sekali kalian! Kenapa kalian malah membawa peti mati itu melewati aisle?! Apa kalian ingin sudah bosan hidup," bentak Evan kasar, ia tidak terima dengan perbuatan tidak sopan Peter dan anak buahnya karena telah berani menggotong sebuah peti mati di aisle yang seharusnya dilalui oleh calon pengantinnya bukan iringan pembawa peti mati.

Anak buah Evan meletakkan peti mati itu tepat dihadapan Evan, dan membuat wajah Evan seketika berubah merah padam.

"Jawab pertanyaanku, Peter! Dimana Rhea? Dan kenapa kalian malah meletakkan peti sialan ini tepat dihadapanku?!" Evan mencengkeram kerah baju Peter dan menuntut sebuah jawaban dari sahabat sekaligus orang kepercayaannya itu, tapi Peter hanya membisu tak mau menjawab pertanyaan Evan.

Kepala Peter hanya tertunduk, tak berani menatap wajah Evan. "Maafkan kami Evan," ucapnya sembari bersimpuh di depan peti lalu membuka tutup peti dengan perlahan.

Betapa terkejutnya Evan saat melihat tubuh Rhea terbujur kaku di dalam peti mati, dengan memakai gaun pengantin yang berlumuran darah. Para tamu wanita dari keluarga Rhea menjerit histeris, setelah melihat mayat Rhea.

Evan terlihat syok, dengan langkah terseok ia mendekati mayat Rhea, tak mampu berkata-kata. Lutut Evan seketika lemas lalu ia terjatuh bersimpuh di atas tanah.

"Rhea, bangun!"

"Buka matamu, Rhe!"

Tak ada jawaban, gadis bergeming meskipun sang calon suaminya berkali-kali memanggil namanya.

"Rhea! Apa kamu tidak mendengarku?! Cepat buka matamu!"

"Evan! Rhea sudah meninggal, Van."

Mata Evan melotot, dikeluarkannya pistol dari balik saku jas lalu ia todongkan pistolnya tepat di kening Peter.

"Siapa yang melakukan ini?! Siapa yang sudah membunuh Rhea-ku?!" mata Evan nyalang, rahangnya mengeras dan otaknya tak bisa berpikir dengan jernih.

"Julian! Apakah Julian yang telah membunuh Rhea?! Cepat katakan kepadaku, Peter!" Evan mendesak Peter untuk berbicara dan Peter hanya mengangguk pelan dan menyulut kobaran api kemarahan Evan.

"Aku akan bunuh mereka semua! Aku akan habisi mereka semua! Akan kubunuh Julian dan melempar tubuhnya ke hutan," teriak Evan penuh emosi dengan pistol di tangan kanannya ia pun berjalan melewati aisle.

Peter dengan cepat berlari dan menghadang Evan, pria berusia 27 tahun itu merentangkan kedua tangannya.

"Evan tenanglah! Sekarang bukan waktunya untuk membalas dendam, yang kita harus lakukan saat ini adalah mengurus jasad Rhea. Kasihan Rhea, Van," ucap Peter sambil memegang kedua bahu Evan untuk mencegahnya pergi.

Tatapan Evan kini beralih ke arah Peter, netranya kini berkaca-kaca, tubuh Evan langsung tumbang terduduk di atas Aisle. ia meremas rambutnya kuat-kuat, dan air mata penuh penyesalan mengalir deras membasahi pipinya.

"Aku hancur, Peter! Aku pikir penantianku akan berakhir dengan kebahagiaan, tapi kenapa malah berujung duka seperti ini?!"

"Rhea!! RHEEAAAAA!!"

Di sisi lain .....

"Apakah paman Felix sudah mengirimkan kado spesial dariku kepada Evan?" tanya seorang pria berusia sekitar 27 tahun, berpakaian serba hitam dengan ekspresi wajah dingin dan bengis terlihat sedang duduk di tepi kolam renang menikmati segelas wine bersama dengan gadis-gadis sexy.

"Sudah, Paman sudah mengirimkannya kepada Evan," jawab Felix

"Bagus! Lalu, bagaimana dengan operasi cangkok jantung Iris? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?"

"Operasi Iris berjalan dengan lancar, jangan khawatir."

"Terima kasih paman, tolong paman pastikan untuk menjaga kerahasiaan identitas Iris."

Felix menghela napas berat. "Kau sudah keterlaluan Julian! Perbuatanmu sudah melewati batas, dan Evan tidak akan pernah melepaskanmu ataupun keluargamu setelah dia mengetahui semuanya."

"Aku tidak peduli! Selama adikku bisa bertahan hidup, aku tidak akan segan untuk mengorbankan nyawa siapa pun untuk Iris." dengan ekspresi wajah yang datar, Julian melepas bath robe lalu ia melompat ke kolam renang.

Dengan santainya Julian bisa berkata seperti itu, setelah apa yang sudah ia perbuat. Felix hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki berusia 50 tahun tersebut sadar akan konsekuensi yang akan diterima oleh keluarganya setelah insiden pembunuhan calon istri Evan.

Percuma saja Felix ceramah panjang lebar, karena Julian tidak akan pernah mau mendengarkannya. Akhirnya Felix pergi meninggalkan Julian yang masih asyik berenang sambil ditemani oleh gadis-gadis sexy.

****

Di rumah sakit ....

Sebelum dikremasi, jasad Rhea terlebih dahulu diautopsi. Terlebih Evan yang ingin tahu penyebab pasti meninggalnya Rhea, tidak butuh waktu yang lama. Evan hanya menunggu 1-2 jam saja, setelah itu hasil autopsi bisa keluar.

"Peter, bagaimana hasilnya?"

Peter menghela napas kasar, ia terlihat enggan memberitahukan Evan. Sorot matanya terlihat sedih, namun ia tidak mau menyembunyikan fakta tentang kematian Rhea yang sesungguhnya.

"Rhea tewas akibat pukulan benda tumpul di kepalanya, juga ...." Peter tak melanjutkan kata-katanya.

"Juga apa, Peter? Cepat katakan kepadaku! Jangan membuatku semakin tersiksa," desak Evan tidak sabaran.

"Organ jantung dan kornea mata Rhea telah diambil, dan yang lebih parah lagi. Rhea sedang dalam keadaan hamil 2 bulan, Van," jelas Peter yang seketika membuat wajah Evan terlihat sangat syok.

"Apa?! Rhea hamil 2 bulan? Tapi kenapa dia tidak mem–" Evan menghentikan perkataannya barusan.

Evan teringat kejadian seminggu yang lalu, ia sempat berdebat dengan calon istrinya karena terlalu sibuk bekerja. Waktu itu Rhea sempat ingin mengatakan sesuatu kepadanya , tapi karena terlalu sibuk makanya Evan lupa.

Evan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi.

"Bodoh! Aku memang sangat bodoh! Seandainya saja aku tidak terlalu sibuk, pasti aku bisa melindungi Rhea dan calon anakku dengan baik," sesal Evan seraya meremas rambutnya.

Beberapa saat kemudian beberapa perawat terlihat mendorong brankar, Sementara itu Peter segera minggir untuk memberikan jalan saat brankar itu melintas tepat di sampingnya. Namun, tiba-tiba tangan sang pasien terhempas dan tidak sengaja membuat tangan tersebut bersentuhan dengan kepala Evan.

Entah kenapa, jantung Evan berdegub kencang setelah tersentuh oleh tangan sang pasien. Telinga Evan sayup-sayup mendengar nama Iris disebut oleh salah seorang perawat.

"Evan! Kita harus segera pergi dari sini, kita jasad Rhea akan segera dikremasi," ajak Peter sambil menepuk bahu Evan pelan.

Evan hanya menatap wajah Peter, lalu ia berdiri dan bersama-sama dengan Peter menuju ke Crematorio di Lambrate.

Evan dengan setia menunggu prosesi kremasi jenasah Rhea dari awal hingga tubuh Rhea menjadi abu. Abu Rhea kemudian dimasukkan ke dalam guci dan disimpan dalam rumah abu atau columbarium.

Evan juga meletakkan sepasang cincin pernikahan di dekat guci abu Rhea.

"Rhea!! Aku bersumpah, dengan kedua tanganku. Aku akan menghabisi Julian, dan seluruh klan Zeus tanpa terkecuali. Akan aku buat mereka merasakan semua rasa sakit yang kamu rasakan. Aku bersumpah atas namamu dan atas nama calon anak kita." kedua tangan Evan mengepal kuat.

To be continued

avataravatar
Next chapter