webnovel

0.0 Summer Festivals

Di pusat kota suatu kerajaan kecil wilayah barat daya di luar kekaisaran, seorang penjelajah dan rombongannya baru saja menginjakkan kaki di tengah hiruk pikuk ramainya aktivitas warga. Harum roti dan gemerincing uang koin di kantong seakan siap untuk menjajakan apapun yang dilihat sore itu.

Pertunjukan musik di jalan, nyanyian yang saling bersahutan di dekat papan siaran. Para orang tua berkumpul membaca koran, para remaja yang sibuk mengobrol dan bertukar mata. Semua orang larut dalam kegiatannya masing-masing.

~Kemurkaan penghuni langit

Reruntuhan surga

Leburlah di balik batu~

"Nona, ini bukan saat yang tepat untuk berjalan-jalan."

Para bangsawan berjalan dengan anggun dengan pakaian mewah dan wangi parfum. Sesekali menolehnya yang lewat dengan gaun tak biasa dan memuji penampilannya.

"Anda terlalu mencolok, buatlah penyamaran yang lain." Peringatan itu seperti angin lalu, si nona malah berjalan menuju kerumunan penonton pembawa lagu. Tak lupa nona itu mengibaskan rambut pirang panjangnya dengan senang.

"Bagaimana penyamaranku ini? Apakah cocok denganku?" Gumamnya kemudian tanpa peduli reaksi si kurir yang terlihat khawatir akan ucapannya yang bahkan tidak diindahkan.

~Di antara dedaunan...

Di sekitar kita

Berlalu dalam angin~

"Kita telah melakukan perjalanan jauh. Tidak ada salahnya untuk berjalan-jalan." Senyumnya mengembang, mengitari satu persatu toko seakan mengabsen penjual dengan wajah cantik terbarunya.

~Berbaur dalam tanah

Beredar dalam darah~

Gemerincing koin yang ditukarnya dengan makanan, roda kereta kuda yang mengiringi langkah kakinya. Para penjelajah lain sibuk menawarkan banyak hal baru padanya.

~Cahaya di atas kepala...

Dan bayangan menari di kaki kita~

Suara nyanyian terdengar bersahutan, membuat hatinya lebih damai di sore hari ini. Menghilangkan segala kekhawatiran dan rasa penuh curiga. Kota ini seakan menyambut kedatangannya, dengan para penjelajah lain yang mengekorinya, meminta untuk diberi kebebasan dalam membeli.

~Memegang keseimbangan~

Semakin mendalam, langkahnya kembali mengitari tempat asing ini. Berlatarkan langit jingga sore itu, penduduk terlihat memenuhi pusat kota dengan penuh suka cita. Baru si nona menyadari disana ada festival musim panas. Bendera-bendera dipasang saling bertaut antar toko, anak-anak berlarian membawa permen dan roti. Para ayah dan ibu yang menggandeng tangan anak-anaknya. Padat merayap dan makin ramai seiring menyingsingnya matahari.

~Bagai kebajikan dan keburukan

Seluruh kesetaraan

Kekuatan surga~

Seorang pelukis jalanan duduk melukiskan muda-mudi bangsawan yang menjalin kasih. Kedua bangsawan elok yang berpose dengan anggun. Tangannya saling bertaut, tidak ingin terpisah satu sama lain.

Senyumnya terbentuk segaris tipis melihat pemandangan yang tenang itu.

~Merawat cahaya dalam jiwa-jiwa

Perintah Dewa, sebarlah kebajikan~

"Sungguh menggemaskan, membuatku iri. Bukan begitu, Nona?" Si nona menganggukkan kepala mendengar ucapan asal salah satu teman jelajahnya. Lelaki itu tertawa kemudian.

"Apakah Nona sudah memikirkan siapa teman debut pada upacara kedewasaan Anda?" Namun pertanyaan itu menggantung dengan senyuman, si Nona lebih memilih untuk berjalan lagi dan melihat kios-kios yang menarik.

"Itu tidak penting sekarang. Lagipula aku bisa mengajak Leonel sewaktu-waktu. Dia terlalu fokus pada serikat. Pun masih ada Escarlot ataupun Aron. Harusnya aku tidak perlu kebingungan mencari partner." Jawabnya tanpa acuh.

"Ini sudah tahun kelima Nona melewatkan upacara kedewasaan anda. Duke bahkan meminta yang lain untuk terus menanyakan pestanya pada anda...." Teman jelajahnya yang lain kembali berjalan di samping sang nona, terus merayunya untuk melakukan permintaan sang ayah.

"Sudahlah. Lagipula tidak ada waktu untuk pesta bagiku, kan?" Menghindari pertanyaan lagi, si nona berlari menjauh dari teman-temannya.

~Merawat cahaya dalam jiwa-jiwa

Perintah Dewa, pertahankan sinarnya~

"Apakah kita perlu memesan kamar saat ini juga?" Kereta kuda miliknya ikut berhenti ketika sang Nona terdiam di tengah keramaian menatap sang kusir yang terlihat letih.

"Saya hanya menuruti kemauan, Nona."

Nona itu menoleh teman-teman jelajahnya yang masih bertransaksi dengan para penjual. Sebuah roti, cemilan, senjata kecil, mereka saling memamerkan satu-sama lain. Pemandangan hangat yang Nona saksikan ini rasanya enggan ia tinggalkan.

"Kita tidak pernah merasa sebebas ini kan? Menurutku sekarang kau bisa mencari penginapan agar mereka bisa beristirahat dengan nyaman." Kereta kuda itu berjalan pergi menjauh menuruti perintah sang nona.

Karena Nona itu juga ingin berhenti menikmati roti yang baru saja disodorkan oleh temannya yang tiba-tiba datang.

"Bagaimana rasanya, Nona?"

Senyumnya kembali mengembang, membuat temannya ikut senang.

"Kupikir kalian lupa memberiku makan."

~Apabila kegelapan berkuasa

Perintah Dewa, pintalah ampunan~

"Lagu yang aneh."

"Apa ini lagu kebangsaan? Tidak mungkin juga lagu kebangsaan terdengar tanpa makna begini." Mulut si nona terus bergumam meskipun dalam kepalanya jelas terngiang sahut nyanyian para penduduk.

"Mereka terlihat biasa menyanyikan ini ketika festival musim panas, Nona." Sahut salah satu temannya menanggapi gumaman rendah yang sempat ia lontarkan.

"Nona, lebih baik kita berhenti sementara di kedai. Ada yang perlu disampaikan." Mata si Nona mengerjap dengan cepat menyadari telinganya telah terbuai nyanyian asing yang ia dengarkan sepanjang jalan. Para penduduk seakan sudah hapal nyanyian itu, suara mereka saling menyahut bahkan remaja yang lewat pun menggumamkan lagu yang sama.

"Saya mendapat informasi terbaru dari satuan khusus." Bisikan itu membuat telinganya terfokus dan matanya melirik cepat menyadari jika memang ini bukan waktunya untuk bersantai. Sesaat sang nona penjelajah terlena akan kehidupan yang diinginkannya dan sesaat berikutnya, kenyataan menamparnya lagi. Nona itu tidak kemari tanpa tujuan sehingga tangannya dengan kesadaran penuh meraih jubah dan tudungnya, kembali menutupi diri.

"Satuan khusus yang mana? Apa itu Morgenstern?"

"Benar Nona."

"Baiklah, kita berhenti sebentar di kedai itu." Tunjuknya pada kedai teh dan makanan tak jauh dari tempatnya berdiri.

~Apabila bayangan sampai kepala...

Perintah Dewa, mohonlah keadilan~

"Satu bulan ini Tuan Putri bermalam di Casterol Grimson." Bisik salah satu teman jelajah mengganggu konsentrasinya. Informasi yang cukup baik dan cukup buruk dalam waktu bersamaan.

"Apa yang terjadi sehingga Putri diasingkan dari kastil timur?" Si nona menautkan kedua alisnya dengan tidak senang.

"Untuk itu saya kurang tahu, Nona. Saya hanya mendapat informasi jika Tuan muda Maximillian tidak ada di menara barat. Putri menugaskannya untuk mencari sesuatu."

"Selalu bergerak tanpa berbicara. Apakah Caster Mitterand kini berada di Casterol Grimson?"

"Sementara sebagai penjagaan, Tuan muda Aron memanggil Tuan muda Mitterand untuk datang kesana."

"Sebenarnya tanpa dipanggil oleh Aron pun, Caster akan selalu datang ke Casterol Grimson jika putri disana."

"Baguslah. Setidaknya Kaisar tidak akan melakukan apapun jika Mitterand atau Maximillian ada di sekitar Putri." Si Nona menjawab dengan tenang, tangannya mencomot salah satu camilan yang telah dipesannya dan mengamati suasana festival di luar yang semakin padat. Seakan semua penduduk keluar dalam satu waktu.

"Sampaikan untuk mengawasi interaksi apapun yang dilakukan oleh Putri."

"Baik Nona."

"Apakah ada informasi lain?" Si nona melirik temannya yang lain, mereka saling menikmati cemilan meskipun membicarakan situasi kekaisaran terkini.

~Jiwamu kan naik ke surga

Kembali murni jadi cahaya~

"Pergerakan Tuan muda Maximillian tidak terlacak saat ini."

"Dua minggu lalu pergi dari Rowena menuju perbatasan Esoteris dan pergerakannya menghilang di Shadowvalley."

"Astaga. Julukan burung lepas kastil barat terdengar bukan tanpa alasan." Napasnya keluar dengan kasar namun nona itu memejamkan mata sedikit lebih lama, seakan ingin mengistirahatkan tubuh lelahnya.

"Tapi bukankah aneh jika Putri memintaku ke Ecaplcasto, Aron ke perbatasan Aramis dan Maximillian ke suatu tempat yang tidak diketahui? Apakah Caster juga ditugaskan di suatu tempat tapi belum dijalankannya?" Ucapnya kembali dengan mata terpejam. Dari perkataannya, sang nona terdengar baru memikirkan hal itu dan mengucapkannya spontan tanpa berpikir. Sejenak setelah menyadarinya, ia membuka mata dan menautkan kedua alisnya dengan tajam. Ada yang ia lewatkan dan si nona baru saja menyadarinya.

"Memisahkan semua orang yang selalu berada di sekelilingnya dalam satu waktu... apa yang direncanakannya?" Si nona bergumam dan hanya mengelus pinggiran cangkir tehnya, tidak berselera makan kembali.

"Pastikan Caster tetap di Casterol Grimson apapun perintah yang diberikan oleh putri. Larang dia keluar dari jangkauan kastil barat."

"Tuan Caster sudah sering berkunjung ke menara barat sejak dua minggu yang lalu Nona. Namun kami akan tetap menyampaikan informasi ini kepada Tuan muda Mitterand."

"Nona. Ada informasi lain, mengenai hilangnya banyak penyihir. Saya hendak menyampaikan beberapa hal."

~Kemungkaran dan kebiadaban.

Kembalikan cahaya dalam satu tangan

Sebelum bayanganmu hilang dalam kegelapan~

Kusir yang sebelumnya membawa kereta kuda itu kembali ke kedai dan mengatakan telah menyiapkan penginapan yang diinginkan, tak jauh dari tempat itu.

"Kita bisa lanjutkan di hotel, bagaimanapun perbincangan kita tidak aman di tempat ini." Para teman penjelajah mengangguk menyetujui ucapannya. Mereka semua beranjak pergi, meninggalkan kedai itu diiringi rasa waspada yang lebih tinggi.

~Berlindung dalam cahaya tersisa.

Memohon agar pengadilanmu setara~

Siluet orang berlalu lalang jelas tertangkap mata mereka satu persatu dengan teliti. Para teman jelajahnya saling memberikan kode untuk berwaspada dan mengelilingi sang nona lebih dekat lagi. Tangan mereka saling memegang pedang yang siap di pinggang. Dengan jubah panjang dan membaur di kerumunan, mereka tidak akan dikenali atas penampilan serupa yang beberapa penduduk negeri itu lakukan.

~Sebelum bayangan menyapu tubuh.

Berlarilah ke ujung dunia, jaga bayangannya ketika kau pergi~

"Kita harus bergegas sebelum makin ramai." Ucapan sang nona tentu jelas didengarnya. Rombongan itu bergerak dalam beberapa bagian untuk memberikan perlindungan lebih tinggi.

"Bisa saja kita diikuti dalam kerumunan. Terus fokus pada kereta kudanya." Mereka mengangguk kemudian.

~Berlarilah sebelum cahaya itu hilang.

Dewa dewi telah pergi, tidak ada pertolongan lagi~

Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, sungguh tidak diduga langit tiba-tiba terlihat murka. Kerumunan festival langsung tercerai berai dan para penjelajah segera berlari kemanapun kereta kuda itu mengarahkan jalan.

Mereka terdiam sejenak dengan bahu yang terus tertabrak orang-orang berlarian hendak berteduh. Baru saat itu si nona sadar jika rombongan mereka akan terpisah dalam kegaduhan ini.

~Kembalikan cahaya dalam satu tangan

Berlindunglah pada cahaya tersisa~

Langkah mereka terasa lebih tergesa. Hujan tidak wajar ini membuat firasat sang nona mengatakan jika ini mungkin disengaja. Dengan tangan yang menengadah ke udara dengan mengucapkan beberapa mantra, dalam pelarian sang nona langsung sadar jika ini adalah hujan buatan. Suatu gelombang sihir yang sedang mendeteksi keberadaan mereka.

Srashh

Syut...

"Sialan." Sebuah benda tajam tiba-tiba menggores pipi kecoklatan salah satu teman jelajahnya. Sang nona yang melihatnya membelalak tidak percaya dan langsung panik akan kondisi itu. Sang rekan berdarah cukup hebat saat ini. Sayatannya dalam hingga siapapun akan tahu jika wajahnya sedang penuh darah di tengah hujan.

"Kita harus berpencar. Kacaukan rute pergerakan namun ikuti keretanya.." Ucapan sang nona membuat lelaki yang terluka itu menggeleng tidak setuju. Namun sang nona langsung merapatkan tudung jubah salah satu temannya yang terluka dan menutupinya agar tidak terlihat oleh siapapun. Tidak begitu peduli ketidaksetujuan yang timbul dalam rombongan dan penyamaran mereka yang perlahan menghilang.

"Sembunyikan diri kalian dengan baik."

~Sebelum bayangan menyapu habis tubuhmu.

Berlarilah ke ujung dunia, bawa bayanganmu pergi.

Memohonlah agar pengadilanmu setara~

"Tidak nona, ini tidak aman." Tapi sang nona menyadari jika kerumunan penduduk telah berubah lebih renggang dan sebagian masih berlarian pergi, ini tidak baik menyadari salah satu temannya tiba-tiba terluka. Jika ada yang sadar akan darah yang keluar, penduduk mungkin merasa curiga.

"Kita sedang diikuti!" Dia berteriak dengan bahasa asalnya, membuat para teman jelajahnya mengangguk. Rupanya mereka semua sudah menyadari ini.

Srashhhh....

"Tolong tetap ada di jarak terdekat!"

Jleb…

Belum sempat seluruhnya memencar, salah satu anak panah menembus punggung temannya yang lain dan membuatnya jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Membuat teman-temannya yang lain segera mengeluarkan pedang dan berlari pergi, menghindari kehebohan yang terjadi atas kematian temannya sendiri. Teriakan muncul dari belakang sana. Penduduk mulai menyadari jika terjadi penyerangan dan satu orang terpanah di punggungnya. Mereka segera bergerak tidak teratur sesuai rencana, mengacaukan rute pergerakan.

Kereta kuda itu berlari dengan cepat, mereka terus membuntuti dengan menembus hujan yang kian lebat seakan menghempasnya bagai jarum-jarum yang menusuk kulit.

Pipinya memanas, air hujan yang dingin ini mengetuk badannya lebih keras. Rasanya sang nona menangis, menyelamatkan diri dari ancaman yang bahkan tidak ia sadari dan ia telah hidup untuk terus melakukan ini. Seberapa banyak pun ia melakukannya, ia tetap tidak terbiasa menghadapi ancaman kematiannya sendiri.

Satu teman yang bergerak lurus pun mulai ambruk, mengundang jeritan penduduk lain yang histeris akan serangan yang tiba-tiba terjadi. Mereka masih berlari dan entah yang lain berpencar kemana lagi.

~Kemurkaan itu

Akan menembus relung dadamu.

Dan mengoyak jiwa angkuhmu~

"Hotel itu nona!"

Srashhh...

Syutt!

Nona itu berbelok sebelum satu anak panah hampir menembus kepalanya dan memotong beberapa helai rambutnya. Dia terhenti dengan kaget dan menyadari jika posisinya sungguh tidak aman. Ia kembali berlari memasuki hotel dengan badan basah kuyup, diikuti beberapa temannya yang tersisa. Beberapa lainnya masih di luar sana, beberapa yang di tempat itu juga terluka.

Sang nona mengeraskan rahang. Mereka kini aman untuk sementara, namun yang lain tidak diketahui hidup matinya. Sang kurir menembus pintu depan dengan tergesa dan menyerahkan satu amplop padanya. Barang itu berpindah cepat ke saku jubahnya tanpa disadari oleh siapapun.

~Bilamana cahaya yang Dia cipta

Tidak bersinar dengan pendar yang kau harapkan~

Kepalanya berdengung dengan tidak nyaman. Sang nona memejamkan mata, mengatur napas dan jantungnya yang masih berlarian. Untuk kesekian kali, ia hampir terbunuh lagi namun tetap saja ia tidak terbiasa menghadapi banyak ancaman kematian.

'Jiwamu akan kembali terguncang.'

Suara lembut itu mengganggu kepalanya. Sang nona memandangi rekannya yang terduduk di sofa pojok lobi penginapan besar ini. Mereka masih mengenakan jubah basah itu, tidak berusaha melepas dan memberitahukan identitasnya pada para pengunjung yang menatap mereka dengan bingung dan takut.

Nona itu menatap sang kurir yang menyelesaikan pembayaran secara rahasia dari kejauhan. Tak berselang lama, satu persatu kunci kamar berpindah dari tangan para penjelajah hingga kunci yang berbeda sampai di tangan sang nona.

"Hujan buatan. Ada yang menyerang rombongan. Apa yang harus kulakukan." Mereka segera menuju kamar milik sang nona, tentu untuk saling berbicara tentang penyerangan dan penerimaan informasi terbaru dari satuan khusus.

Sebuah suara mendengung muncul di kepalanya. Suara nyaring yang berbeda dengan yang biasa didengarnya.

'Perlu kubereskan?'

"Tidak."

"Ini sepele dan aku bisa melakukannya sendiri."

'Pfftt.... tentu saja tidak hahahah.'

'Dia yang akan membereskannya lagi.'

'Mungkin pada akhirnya dia akan memakai tuanku.'

Mereka semua sudah duduk dan berdiri untuk menenangkan diri sekaligus berbagi informasi. Si nona yang terdiam tiba-tiba spontan memukulkan tangannya yang mengepal di meja, mengagetkan seluruh teman-temannya.

'Tenang dan jangan bersikap seperti orang gila selagi dia membereskannya untukmu.'

'Lagipula untuk apa juga dia melindungi sesuatu sepertimu. Dia tidak pantas memiliki sihir hitam.'

"Sialan. Berhenti muncul tiba-tiba dan menimbulkan kekacauan! Jangan muncul dan merebut posisi orang lain dalam kepalaku!" Geramnya.

'Nona, aku ada dalam dirimu.... Kau yang sedang mengacaukan dirimu sendiri bukan aku...hahahahah.'

"Cukup! Berhentilah!" Si nona terus menggumam dan menggeram rendah, tidak peduli teman-temannya yang sedang bingung melihat perilakunya. Wajahnya marah, entah menatap pada siapa. Sesekali ia memegangi kepalanya yang mungkin nyeri, lalu sesaat kemudian tangannya mengepal kembali dan memukul meja di depan mereka lagi.

'Itu sebabnya jangan berani menarik sesuatu dari tuanku, Nona.'

"Aku tidak memerlukan suara rendahanmu!" Napasnya lolos dengan berat dan ia menepuk dadanya sendiri sedikit lebih keras, menenangkan diri dengan paksaan lagi.

'Jangan terlalu marah atas keberanianmu. Dengan sihir murni, bukankah kau sendiri yang dengan tidak tahu malu memasuki jiwa tuanku saat itu? Sihir semacam itu tidak cocok bersentuhan dengan tuanku.'

"Sial. Bajingan mana yang kau bicarakan!"

'Ngomong-ngomong, jiwamu menyanyikan lagu yang indah.'

'Itu terasa cocok dengan apa yang telingamu dengarkan. Ini mengingatkanku pada perilakumu yang menyebalkan saat itu'

~Dan darah yang mengaliri tubuhmu.

Terkadang juga bukan milikmu~

"Tolong segeralah pergi, jangan terus memenuhi kepalaku!"

'Nona, mungkin kau lupa aturan sihirnya. Pakailah cawan yang sesuai dengan anggurmu. Menggunakan sihir murni dengan nekat menembus jiwa pengguna sihir hitam itu sama saja kau menyerahkan persembahan melalui jiwamu.'

'Aku hanya datang untuk menarik persembahannya satu persatu.'

'Dan membalas sesuatu yang setimpal dengan apa yang telah kau lakukan pada tuanku.'

Suara tawa kecil yang semakin nyaring di dalam kepalanya terus mengganggu kesadarannya. Si nona dengan tangan gemetar membenturkan kepalanya sendiri ke meja di depan rombongan teman-temannya yang panik—segera memeganginya dengan erat sebelum hilang kendali lebih jauh.

~Pergilah sebelum bayangan menyergapmu.

Sebelum tubuhmu berupa cangkang~

'Dengan siapa jiwamu berbicara?'

~Dan cangkir retak yang tidak dapat terisi.

Jiwamu kan pergi,

Sebelum kau mampu melihat cangkangnya lagi~

'Kau tidak seharusnya membiarkan roh rendahan menghasut jiwamu...'

~Wahai jiwa yang mulai pergi, tersesat, sedih, dan menghilang.

Memohonlah agar pengadilanmu tidak timpang.

Darah di atas pedang...

Tulang yang jadi arang...~

Namun ia terus berusaha membenturkan kepalanya tanpa peduli sahutan lain yang muncul disana. Menimbulkan kekacauan dengan wajah yang terkucur darahnya sendiri.

'Apa yang terus kau lakukan! Sadarlah!'

'BANGUN!'

'AKU MEMERINTAHKANMU UNTUK BANGUN!'

~Jagalah cahaya di atasmu.

Dan pekatkanlah bayangan di bawahmu~

'ANNASTASHA DAVASORA!'

'APA DAVASORA KINI MENGABAIKAN PERINTAH KEKAISARAN?!'

Seakan tertampar geraman rendah yang mendominasi isi kepalanya, si nona langsung terdiam. Tubuhnya tidak lagi memberontak dan beringas. Membuat penjelajah yang memeganginya ikut kebingungan akan perilakunya. Sebagian lain mengantisipasi tindakan tidak terkendalinya, dan sebagian lainnya menyingkirkan meja dan benda tajam dari jangkauan sang nona.

Tiba-tiba sang nona duduk bersimpuh denga wajah menunduk seakan memohon ampun pada entitas yang tidak dilihat orang-orang di sekitarnya.

'Kehidupan yang telah tertanam sumpah dan jiwa Davasora yang terikat kebaktian tidak seharusnya merasa bingung akan hasutan roh rendahan seperti itu.'

"Hukum saya atas kelancangan tubuh dan pikiran saya, Yang Mulia."

Dengan ucapannya itu, teman-teman jelajahnya satu persatu ikut berjongkok seakan memberi salam layaknya ksatria yang menghadap rajanya. Semuanya memberikan sikap hormat, bahkan pada sesuatu tak berwujud seperti itu.

'Aku akan menyingkirkannya jika kau sudah menemukan orang yang kuperintahkan.'

'Aku akan masuk.'

"Baik Yang Mulia."

Seketika tubuhnya berdiri tegak lagi. Si nona berjalan menuju kursi dan duduk dengan tenang. Ia menatap satu persatu orang yang sedang bersimpuh di hadapannya.

» Tahun 1299 Berdirinya Kekaisaran Emasvico

» Hari Pertama Festival Musim Panas Kerajaan Ecaplcasto

note :

» bold & italic adalah lirik lagu

» italic adalah suara lain dalam kepala karakter

Schauen25_creators' thoughts