1 [Pembuka]

[Let's start reading]

Teriakan, hinaan, menyerah diri, keputusasaan. Semuanya sudah menjadi hal yang biasa bagi manusia yang hidup di zaman ini. Zaman kehancuran. Zaman yang penuh dengan monster yang diberi nama [False].

Semenjak malam itu, dunia seperti lautan darah. Banyak jasad manusia yang mengapung di atas darah. Nyawa seolah menjadi mainan bagi para [False] yang tidak berotak.

[False], monster mengerikan seperti iblis muncul di saat kota sedang tenang. Pertama kali muncul ketika langit yang ditutupi awan yang menggumpal. Bersamaan dengan kebangkitan sihir manusia yang kuat, [False] muncul disaat itu juga.

[Berita terkini. Kota Banssang sudah dikuasai oleh [False]. Sebagian warga sudah berhasil mengungsi, tetapi banyak korban yang berjatuhan di sekitar sana. Para [Hunter] sedang berusaha mengalahkannya.]

Penyiar berita itu tampak pucat begitu dia menyampaikan berita yang mengerikan. Keringat dingin terlihat jelas bercucuran di keningnya yang lebar. Wanita itu tampak khawatir akan dunia yang saat ini dia huni.

Tampak dari luar sana, seorang pria berkulit putih menatap layar televisi sebuah toko yang dipampang dengan jelas. Menonton penyiar berita wanita yang sedang menyampaikan berita terkini yang tidak pernah pudar. Mata tajam miliknya terfokus pada layar tersebut.

"Dunia ini sudah kacau."

Dengan suara bariton yang bukan miliknya, pria yang berada di sampingnya berbicara seolah akrab dengannya. Dia menatap pria tersebut hanya melalui sudut mata.

Pria tua yang tidak dikenalnya tiba-tiba berbicara tanpa ada beban. Menatap nanar layar televisi, lalu menghela napas. Seolah masa tuanya disambut oleh dunia yang penuh kekacauan.

"Yah, sayang sekali anak muda seperti kau harus mengorbankan nyawa demi melindungi dunia yang mendekati kiamat ini."

Dia berbalik dan memukul pundak pria berkulit putih tersebut. Seperti mengerti dengan penderitaan pria itu, dia pergi berlalu meninggalkannya.

Namun, pria berkulit putih itu tidak menampilkan respon terhadap pria yang baru saja meninggalkannya setelah dengan akrabnya berbicara dengannya. Kenapa?

Karena, dia sama sekali tidak bisa menggunakan sihir.

'Bapak itu salah mengira. Aku tidak memiliki sihir.'

Pria itu menghela napas dan berbalik pergi meninggalkan layar televisi yang kesepian itu. Tidak ada yang menontonnya dan akhirnya pemilik toko itu mematikan layar televisi tersebut dan menutup tokonya karena hari sudah menjelang malam.

[][][][][]

[Rebirth of The Darkness Monarch]

Sebelum munculnya [False].

"Erick! Ke arah sini!"

Ckit!

Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai lapangan itu berdecit dengan keras. Pria bernama Erick itu mengopor bola basket yang awalnya berada di tangannya. Dengan keras dia melemparnya dan pria yang memanggilnya dengan sigap meraih bola tersebut. Kemudian, dia menggiring bola basket itu dengan cara men-dribbling.

Satu langkah, dua langkah, hingga tiga langkah. Bola itu masih berada ditangannya dan lawan yang berada di depannya kewalahan. Beberapa kali lawan berusaha mengambil bolanya, namun tetap tidak bisa.

Sorak suara para gadis berhasil memenuhi lapangan bola basket. Sangatlah terdengar ramai karena pria yang sedang membawa bola basket itu terkenal di kalangan gadis kampusnya.

TAS!

Dia yang bernama Jack Reuv Smith itu semakin dekat dengan ring basket dan dengan gerakannya yang tangkas beserta skill nya yang hebat, Jack melempar bola tersebut untuk memasuki bola ke dalam ring.

Semua orang yang melihat itu melongo begitu bola dilayangkan. Lawan yang berada di dekat bola tersebut mencoba untuk meraih dengan melompat, tapi-

TRANG!

Bola berhasil dimasukkan ke dalam ring dengan mulus. Semula dalam satu detik yang hening itu tiba-tiba menjadi ramai. Bersorak penuh kemenangan pada pihak Jin Yeong dan anggotanya, dan berdecih kesal pada pihak lawan.

[][][][][]

"Noah!"

Seseorang memanggil namanya, akan tetapi orang yang dipanggil tak kunjung menjawab.

"Altair Noah Ortiz!"

Pada panggilan kedua, pria itu akhirnya menoleh ke sumber suara di mana namanya dipanggil. Surainya yang berwarna hitam itu bergoyang begitu dia menggerakkan kepalanya untuk menoleh lawan bicaranya. Matanya yang tajam menatap seorang pria dengan badannya yang berotot dan mengenakan pakaian anggota basket bernomor 56 itu yang sedang melambaikan tangannya.

"Yo! Maaf sudah membuatmu kerepotan!"

Dia merangkul pundak pria berkulit putih itu dengan kuat. Membuatnya sedikit oleng. Sedikit kesal dengan pria itu, Noah akhirnya mengangkat suaranya.

"Ada apa?" tanya pria yang bernama Altair Noah Ortiz, dingin. Dia sedang tidak ingin diganggu karena tubuhnya sedang dalam proses pemulihan.

"Wow! Santai!" ucap temannya itu. Pria berkulit hitam itu menjauhkan dirinya dari Noah. Tertawa besar setelah Noah tampak terkejut.

"Terima kasih sudah membantu kelompok kami." Dia sengaja memberhentikan suaranya begitu melihat Noah yang tidak nyaman dengan percakapan ini. Terlihat jelas dari matanya bahwa pria berkulit putih itu tidak menatapnya balik.

"Yah, meski kau tidak terlalu banyak membantu," guraunya disela tawa besarnya.

Noah hanya menganggukkan kepalanya lalu berbalik tanpa berpamitan. Meski tampak tidak peduli dengan hinaan itu, namun hatinya tidak bisa menahannya. Sakit. Noah sudah biasa dengan cacian makian pada orang-orang di sekitarnya.

"Hei! Aku minta maaf karena harus membuatmu terlibat dalam pertandingan ini!"

Kali ini Noah tidak menyahut ucapan pria itu. Dia berjalan semakin menjauh darinya dan kini bahkan punggungnya tidak tampak lagi begitu dia berbelok dan tertutup dengan dinding lapangan basket ini.

"Hei itu ada pria tampan."

Sekelompok gadis yang dia lewati sedang membicarakannya. Berbisik namun tetap terdengar seperti berbicara. Seperti itulah wanita jika sudah mulai bergosip menurut Altair Noah Ortiz.

"Oh, dia Altair Noah Ortiz."

"Ganteng ya, wajahnya terlihat dingin."

"Iya. Tapi jangan dekat-dekat dengannya, kau akan menyesal."

"Kenapa?"

"Karena dia lemah."

Noah sudah jauh dari para gadis itu, namun pembicaraan mereka masih terdengar jelas olehnya. Dia sedikit menghela napas dan terlihat frustasi dari balik wajah dinginnya yang sudah ada sejak lahir.

'Perempuan jika sudah mulai bergosip, mereka tidak tahu tempat.'

Saat ini Noah mengenakan pakaian basket dari salah satu anggota basket. Bernomor 11 yang dibuat besar pada bajunya. Baju itu dipinjam karena anggota basket bernomor 11 mengalami kecelakaan dan kakinya patah.

"Noah!"

Pria itu berhenti begitu pundaknya dirangkul kembali. Hari ini sudah dua kali pundaknya dirangkul dan membuatnya terkejut. Jika ada yang ketiga, mungkin saja jantungnya akan copot.

"Yo. Alan Woods."

Dengan nada suaranya yang datar, Noah menyapa temannya yang memiliki darah campuran Inggris. Rambutnya yang berwarna marigold itu menjadi pusat perhatian para wanita. Matanya yang cerah dan menampakkan sifatnya yang periang itu sangat bertolak belakang dengan marganya.

Alan Woods. Woods artinya kayu. Entah kenapa ibunya memberi nama itu, tapi ketika hamil, Ibu Alan ngidam kayu.

Alan yang merasa ada perubahan pada pakaian temannya yang selalu memilih warna gelap dibanding terang itu menjadi pusat perhatiannya. Dia menatap baju yang sedang dikenakan Noah yang merupakan seragam basket.

Karena keterkejutannya yang besar, Alan bersorak.

"Wah! Apa yang sedang ku lihat ini bukan mimpi!"

Dia mengguncang Noah dan membuatnya pusing.

"Ap-"

"Sejak kapan kau ikut basket? Apa karena itu kau memiliki tubuh tinggi dan bentuk tubuh yang ideal itu?!" tanyanya yang masih dalam keterkejutan.

Noah kembali menghela napas. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar dan menatap tajam pada darah campuran tersebut.

"Aku hanya mengganti Ethan Sullivan."

Alan membelalakkan matanya. Mulutnya menganga setelah mendengar nama pria yang memiliki kemampuan terbaik di antara anggota basket lainnya.

"Ethan Sullivan?! Ketua basket itu!?"

Noah menganggukkan kepalanya.

"Dia kecelakaan dan kakinya patah, jadi waktu itu hanya aku yang membantunya dan dia memintaku untuk menggantikan posisinya," jelasnya.

Mendengar penjelasan dari Noah, dia langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Disela helaan napasnya, dia bergumam,

"Aku tidak pernah bisa menebak jalan pikiran pria itu."

Noah mengendikkan bahunya dan berlalu meninggalkan Alan yang sedang kebingungan. Menunggu bukanlah sifatnya, dan lagi, Noah tidak menyukai orang yang membuang waktunya hanya demi memikirkan jalan pikiran orang lain.

Alan yang ditinggal begitu saja oleh Noah kembali memanggilnya.

"Noah!" panggilnya. "Kau akan ke mana?"

"Pulang."

Begitu setelah Noah menjawabnya, Alan mengangkat kedua alisnya bersamaan dengan bahunya.

"Dan aku juga tidak mengerti jalan pikirannya."

avataravatar
Next chapter