1 Kidung Merekah

Tumbuh dan besar dalam lingkungan Agamis, Bapaknya seorang Diplomat yang taat kepada Allah dan Rasulullah, Ibunya seorang wanita salilah yang taat pada suami. Sejak lulus dari sekolah dasar, saat itu usianya masih sebelas tahun. Kedua orang tuanya memasukkannya ke Pondok Pesantren. Sekarang anak gadis itu telah remaja. Menyelesaikan pendidikan setara SMP dan SMA-nya di pondok yang jauh dari kehidupan perkotaan, gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa ada kehidupan yang bebas diluar sana. Baginya kebebasan itu hanyalah milik burung Camar yang setiap saat dilihatnya dari tanah Pesantren.

Pondok pesantren itu terletak di kaki gunung, suasana pedesaan yang sangat asri, pohon-pohon yang tinggi menjulang, bunga-bunga yang bermekaran, perkebunan yang tumbuh subur menjadi pemandangan penyejuk mata. Kehidupan gadis itu hanya berkutat dengan buku-buku pelajaran, kitab-kitab, dan hafalan Hadist serta Ayat-ayat Al Qur’an. Setiap enam bulan sekali Ayah dan Ibunya berkunjung ke Pesantren. Melepas rindu dengannya. Bermalam seminggu kemudian kembali lagi ke negaranya.

Gadis ayu berlesung pipit itu bernama Aisyah Fitri. Air mukanya yang teduh bak purnama dimalam ke lima belas, senyumnya menyejukkan jiwa seperti air dari telaga Kautsar. Wajahnya memerah ketika terpapar sinar matahari. Lentik bulu mata dan alisnya yang legam memancarkan ketegasan wanita Arab. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis. Wajahnya bulat berbalut kerudung. Seluruh badannya tertutup rapat oleh kain yang melekat didirinya hanya telapak tangan dan wajah saja yang terlihat. Jemarinya tak kalah lentik dengan bulu matanya sehingga melihat jemarinya saja para lelaki sekejap bisa jatuh cinta kepada gadis blasteran Arab Melayu itu. Oh sungguh gadis itu seperti rembulan yang sedang duduk tersipu. Seperti mawar yang baru saja mekar. Siapa pun yang melihat gadis itu pasti akan jatuh hati.

Bel tanda istirahat berbunyi, para santriwati dan santriwan bersiap untuk salat Zuhur dan makan siang, jam menunjukkan pukul dua belas siang. Aisyah menyimpan buku-buku pelajarannya ke dalam laci meja kemudian berjalan menggandeng tangan Hawa sahabatnya ke kamar untuk bersiap salat Zuhur berjamaah di masjid Pesantren. Seperti biasanya, beberapa santriwan sudah menantikan rembulan redup itu di depan kelasnya. Berharap sang rembulan sudi menatap mereka, namun sayang sungguh sayang jangankan menatap, melirik pun Aisyah enggan.

"Tidak terasa yah Syah, sudah enam tahun kita belajar di pondok ini." Kata Hawa sambil memandang sekitar. Bunga-bunga bermekaran, angin lembah bertiup perlahan membuat pohon palem yang berjejer depan kelas meliuk-liuk.

"Sebentar lagi kita lulus." Lanjutnya.

"Iya, Wa. Kamu rencananya akan melanjutkan kuliah dimana?" Tanya Aisyah.

"Mungkin di kota, Syah, rencananya aku mau melanjutkan ke UIN. Aku mau jadi guru." Hawa tersenyum simpul, menutup mulutnya dengan telapak tangan. Pipinya memerah mencoba menyembunyikan malu.

"Itu cita-cita yang mulia, semoga kabul yah Wa." Aisyah menyemangati Hawa.

Hawa tersenyum. Mengangguk yakin. "Kamu sendiri gimana Syah, kamu mau melanjutkan kuliah juga kan?” tanya Hawa.

Aisyah mengangguk dua kali, menarik kedua bibirnya hingga membentuk bulan sabit, "Iya, Wa. Aku ingin ambil jurusan Hukum atau mungkin Filsafat." Aisyah masih ragu dengan pilihannya.

Setelah salat Zuhur mereka bergegas beranjak ke ruang makan. Ruang makan sudah dipenuhi oleh para santri. Aisyah mengambil beberapa buah roti dan sup kemudian berjalan menuju meja yang kosong sedangkan Hawa masih mengisi piringnya dengan nasi dan lauk hingga piringnya membumbung tinggi.

Pondok pesantren itu berdiri diatas lahan berukuran hampir sepuluh hektar. Lokasinya yang berada di bawah kaki gunung membuat tanahnya subur. Jalannya berbukit-bukit di penuhi dengan pohon teh dan kopi. Di bagian pegunungan di tanami sayur kol, kubis, lobak, wortel dan berbagai jenis sayuran lainnya. Hijau dan asri.

Di atas lahan itu terdapat dua buah gedung yang di gunakan sebagai kamar tidur santri. Satu gedung untuk kamar santri putra dan satu gedung ditempati oleh santri putri. Masing-masing gedung terdapat dua puluh lima kamar, setiap kamar dihuni empat sampai lima santri.

Di tengah-tengah lahan pesantren terdapat satu buah masjid yang dapat menampung tiga ratus orang jamaah. Masjid itu dipergunakan untuk salat berjamaah para penghuni pondok dan juga beberapa kegiatan besar misalnya wisuda para Santri yang berhasil mengkhatamkan hafalan Al Qur'an tiga puluh juz. Di sebelah masjid, terdapat bangunan yang dipergunakan sebagai kantor pesantren dan ruang guru letaknya tidak jauh dari akses pintu masuk pesantren.

Sekitar lima ratus meter dari masjid, terdapat dua buah gedung belajar-mengajar yang saling berhadapan. Masing-masing gedung terdapat tiga lantai. Tiap-tiap lantainya terdapat tiga ruangan. Lantai satu dipergunakan siswa kelas satu. Lantai dua untuk siswa kelas dua dan lantai tiga untuk siswa kelas tiga. Satu gedung dipergunakan untuk kelas Madrasah Tsanawiyah dan satu gedung lagi untuk kelas Madrasah Aliyah.

Setiap tahun pesantren tidak menerima siswa lebih dari empat puluh lima orang. Sehingga para calon santri yang akan masuk ke pondok ini harus melewati seleksi yang cukup ketat. Salah satu persyaratannya memiliki hafalan Al Qur’an minimal satu juz dan hafalan Hadist minimal sepuluh Hadist lengkap dengan sanat dan matannya. Setiap kelas menampung lima belas orang santri yang tergabung dari santri putra dan santri putri. Sehingga jumlah santri yang mondok di Pondok Pesantren ini hanya sebanyak 270 orang.

Setiap tahun pesantren memberikan kesempatan kepada santri-santri terbaik untuk mengikuti seleksi penerimaan beasiswa pendidikan di Universitas Madinah atau Kairo Mesir. Aisyah salah satu siswa yang berharap mendapatkan beasiswa itu. Selain memiliki paras yang cantik dan rupawan, Aisyah juga memiliki otak yang pintar dan cerdas. Aisyah adalah salah satu santri berprestasi. Mulai dari kelas satu Tsanawiyah kecerdasan Aisyah sudah terlihat. Setiap tahun Aisyah mendapat gelar peringkat pertama di kelasnya. Hafalan Al Qur’an dan hadisnya pun lebih banyak dari santri seangkatannya.

Aisyah belajar dengan tekun dan serius demi mengejar cita-citanya mendapatkan beasiswa ke Madinah. Pesantren hanya memberikan rekomendasi dan kesempatan tapi untuk mendapatkan beasiswa itu tetap mengikuti aturan penerimaan beasiswa Universitas.

Hawa tidak memiliki ambisi untuk mengejar beasiswa tersebut. Dapat lulus dari pesantren baginya sudah merupakan mukjizat. Otaknya yang lemah dalam menghafal Ayat dan Hadist membuatnya Musti belajar tiga kali lipat lebih keras dari Aisyah. Hobi makannya membuat tubuhnya tumbuh tiga kali lebih cepat dari hafalan Qur'annya. Berat badan Hawa enam tahun yang lalu ketika masih duduk di kelas satu Tsanawiyah hanya tiga puluh lima kilogram dengan tinggi badan seratus empat puluh centimeter.

Setelah enam tahun belajar di pesantren berat badan Hawa meningkat tajam, sekarang berat badan Hawa hampir mencapai angka delapan puluh lima kilogram. Dengan tinggi badan yang tidak berubah. Wajahnya yang tembam. Bibirnya yang tipis. Matanya yang cipit. Hidungnya yang pesek membuatnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari Aisyah. Mereka berdua dijuluki Beauty and The Beach Pesantren.

avataravatar
Next chapter