webnovel

Sebatang Kara

Hujan disertai petir mungguyur sosok lelaki kurus malam itu, wajah yang begitu pucat pasi menandakan beban hidup yang terlalu berat. Dia sebatang kara hanya sebatang kara. hampir seluruh hidupnya selama 19 tahun tidak pernah merasakan kebahagiaan, walau sedikit. dengan langkah lunglai dan gontai ia menyusuri semak belukar, meninggalkan jejak seolah nasib yang ia tinggalkan jauh dan sejauh mungkin.

Baru kemarin ia makan dan menikmati tidur lelap diatas kasur king size, seolah langit terbalik kini ia berada dihamparan hutan yang entah berujung.

"Hidup memanglah keras tapi apakah harus sekeras ini" lirihnya

Kini ia mulai berteduh dibawah pohon besar, kembali mengingat sejengkal kejadian sebelum dirinya berada sekarang. yah, malam itu masih teringat jelas diruang makan bersama kedua orang tua dan adik laki-lakinya menikmati hidangan malam, dentingan sendok mengiringi makan malam kala itu sambil diselingi pembicaraan ringan.

"Kak, makanlah yang banyak supaya kenyang. siapa tahu ini hidangan terakhirmu." Senyum sinis keluar dari bibir adiknya.

Sekilas ia melirik adiknya, ia tidak menanggapi omongan adiknya. ia sudah terbiasa dengan sikap sang adik yang tidak ada rasa hormat sedikitpun padanya.

entah karena saking terbiasanya atau memang sifatnya lah yang mengalah dan tidak suka keributan.

"Nabil, kamu jadi lelaki itu yang tangguh jangan lembek. Ini alasan papah tidak mau kamu ikut campur di Perusahaan" sang papah berbicara dengan tetap menyendok makanan tanpa melihatnya.

"Kamu itu sudah satu tahun lulus sekolah, kuliah tidak mau, terus nanti mau jadi apa?" Dengan nada sedikit keras suara Ibunya menambah suasana yang semakin mencekam.

Dia bukannya lelaki lembek seperti yang dikatakan sang ayah, hanya saja setiap tindakan dan kerja kerasnya tidak pernah dilihat bahkan dilirik sebentar oleh kedua orangtuanya, hanya kata salah dan tidak becus yang terucap dari mulut orang yang begitu dia segani. Bukan pula dia tidak ingin berkuliah hanya saja entah mengapa sang ibu selalu mengungkit biaya sekolah entah dalam keadaan salah ataupun tidak.

Ya.. kadang ia berpikir apakah keduanya benar orang tua kandungnya?? Pertanyaan itu terus begulat dalam hatinya sudah sejak 13 tahun lalu.