19 Teman Baru

"Gue Keana! Boss baru kalian!" ucap Keana dengan bangganya. Matanya menatap berbinar kearah semua orang yang masih mencerna ucapannya. Senyum manis telah tersungging dibibir mungilnya. Kedua tangan pun telah berkacak pinggang dengan santainya. Semoga mereka percaya, ucap Keana dalam batinnya.

Satu- satunya hal yang bisa dilakukan Keana adalah berpura- pura berada di pihak mereka. Hanya itu yang bisa menyelamatkan dirinya.

Namun beda halnya dengan apa yang Ales lakukan. Ia menatap Keana lamat- lamat dari posisinya. Salah satu sudut bibirnya terangkat mengisyaratkan keremehannya. Tangannya pun bersekedap dada seolah tak percaya dengan ucapan gadis kecil didepannya.

"Lo pikir kita bego?" tanya Ales menaikkan salah satu alisnya. Matanya masih setia memandang remeh kearah Keana yang belum mumudarkan sedikit pun senyumnya.

Bukankah dia ketakutan saat Ales membawanya ke markas? Lalu kemana hilangnya rasa takut itu? Mana mungkin seorang gadis kecil bisa mengubah situasi hatinya secepat itu?

Sedangkan Keana yang telah berhasil membuang jauh- jauh rasa takutnya berjalan mendekat kearah Ales disana. Kini ia harus percaya, teman- teman Bastian pasti bisa menjadi temannya juga.

Keana berhenti tepat didepan Ales yang masih menatapnya. Tangannya bergerak mengambil ponsel dari saku jaket yang dikenakan. Dengan cepat ia membukanya mencari sebuah foto yang mampu membuktikan dia bukan musuh mereka.

"Ini buktinya!" ucap Keana sambil memperlihatkan foto kedekatannya dengam Bastian saat ia ke Bandung dulu. Dilayar ponselnya tampak Bastian yang tengah merangkul bahu Keana sambil tersenyum lebar kearah Keana yang juga menatapnya.

"Gue temen boss kalian! Jadi selama dia nggak ada disini, gue yang bakal ganti posisi dia! Dan kalau sampe kalian macem- macem sama gue, gue laporan ke Bastian! Paham?" ucap Keana panjang lebar dihadapan mereka. Sedangkan mereka hanya bisa menatap cengo dengan semua ucapan Keana. Bagaimana bisa?

Situasi yang Keana alami benar- benar membuat bingung semua orang. Hadirnya yang dibawa paksa kedalam markas semakin membuat mereka ingin kembali membuangnya. Karena mereka dapat melihat dari raut wajah Keana, ia pasti akan menyusahkan mereka.

Sedangkan disisi lain, banyak orang tengah mencari keberadaan Keana. Mereka telah menyisir seluruh penjuru kota. Namun mengapa mereka masih belum menemukan Keana? Seolah Keana sengaja dilenyapkan dari sekitar mereka.

Kebingungan itu pula yang saat ini melanda Abian dan Megalani disana. Dikamar vip rumah sakit yang khusus untuk merawat Abian semata.

Keduanya tengah menunduk sambil berpikir kemana perginya Keana. Tatapan mereka sayu seolah mereka kehilangan berlian yang selalu berhasil mengukir senyuman.

"Abian, Keana gimana? Udah ketemu?" tanya Megalani memandang dengan tatapan sayunya. Ia terus menatap dengan penuh harap pada Abian yang hanya tertunduk dalam dihadapannya.

"Kamu itu gimana, sih? Anak saya itu lagi sakit! Kenapa kamu malah memusingkannya dengan urusan anak harammu itu, ha?!" hardik Sarah dengan nada tingginya. Ia tak terima kalau Abian, anak semata wayangnya harus repot- repot menjaga anak parasit seperti Keana.

"Ma," ucap Abian dengan nada tingginya. Kepalanya telah mendongak menatap kearah sang mama berharap ia mau menghentikan adu mulutnya.

"Aku masih belum dapet kabar dari Keana. Handphonenya nggak aktif, Bun." jawab Abian sambil menatap sayu kearah Megalani yang telah menangis didepannya. Ia merasa menjadi kakak paling tidak berguna. Mengapa urusan markasnya harus menyeret nama Keana?

"Gimana ini?" tanya Megalani disela- sela tangisnya. Ia bingung harus berbuat apa. Mengapa Keana kembali menghilang dari pandangannya?

"Bunda tenang, Abian lagi cari informasi tentang Keana." ucap Abian sambil menenangkan Megalani yang tengah menangis sesegukan.

Menghilangnya kembali seakan mengisyaratkan betapa dalam luka yang telah tertorehkan. Tawa yang biasa ia lakukan kini membuat semua orang sadar itu hanya topeng untuk menyembunyikan perasaan. Kemana perginya semua air mata yang seharusnya tampak untuk mengabung kesedihan?

Sungguh Abian merasa bersalah sekarang. Gelar seorang kakak harusnya tak pernah ia dapatkan. Hanya untuk menjaga satu orang bahkan tak sanggup ia lakukan. Lalu mengapa dengan beraninya mengutarakan kalau ia sayang?

Hati memang boomerang tertajam dalam kehidupan. Semua dengan mudah bisa patah hanya dengan sekali gerakan. Dan kini, apa yang bisa ia lakukan? Tubuhnya rapuh layaknya benalu tak berinang.

Sebuah bunyi terbukanya pintu mengagetkan mereka semua. Tatapan mereka kompak menatap kearah Aditya yang masih diambang pintu sana.

"Mas, gimana Keana?" tanya Megalani sambil berjalan mendekat kearahnya. Ditatapnya wajah sang suami dengan raut memelasnya. Berharap Aditya akan luluh dengan perlakuannya.

"Biarkan saja dia. Aku yakin dia sudah menjadi jalang jalanan sekarang." ucap Aditya lalu segera berlalu meninggalkan Megalani yang masih terpaku disana.

Matanya menatap nanar punggung Aditya yang mulai menjauh dari jangkauannya. Ayah macam apa dia?

"Mas! Bisa nggak sih kamu nggak beda- bedakan mereka? Keana anak kamu juga, Mas!" teriak Mrgalani dengan wajah merah padamnya. Air matanya terus berjatuhan membasahi pipi mulusnya. Mulutnya bergetar seakan tak terima atas perlakukan yang selama ini diterimanya.

"Tolong Mas," ucap Megalani lagi. Namun kini suaranya sangatlah lirih hingga nyaris tak dapat didengar. Tubuhnya telah jatuh ke lantai meratapi nasibnya. Dalam pikirannya semua penuh dengan rasa penyesalan. Menyesal telah menerima lamaran dari sang Raja yang buta akan keadilan hanya untuk menjadi budak berstatus istri kedua.

*

"Bersihkan semuanya! Gue mau ruangan ini jadi kejutan waktu Bastian datang!" teriak Keana pada puluhan orang yang sedang membersihkan ruangan. Mata mereka kompak berputar menatap malas pada seorang gadis yang tak berperasaan.

"Eh lo juga ikut bersihin, dong!" teriak Ales sambil melempar kain lap yang sedari tadi dipegangnya. Tangannya kini berkacak pinggang didepan Keana.

"Ngapain harus gue? Kan kalian yang ngotorin," jawab Keana dengan santainya. Kakinya kembali melangkah untuk kembali ke rutinitas awalnya. Berselonjor kaki di depan televisi. Bagaimana pun juga Keana harus tetap waswas disana.

Namun setidaknya Keana bisa melupakan hal yang paling menyakitkan saat berada di markas sana. Tempat itu membuatnya lupa dengan semua masalah yang dialaminya. Setidaknya tidak ada seseorang yang membuatnya canggung di markas sana.

"Dasar benalu!" ucap Ales pelan dengan nada menyindirnya. Namun pelannya suara Ales nampaknya masih didengar oleh Keana yang duduk tak jauh darinya.

Keana langsung melemparkan bantal sofa yang tadi dibuat untuk sandaran kepalanya. Matanya melotot mengarah kepada Ales yang mengiris akibat bantal yang melayang padanya.

"Lo emang ngajak tawuran, ya!" ucap Keana sambil menyingsingkan lengan bajunya. Wajahnya telah merah padam menahan amarah.

"Sini lo kalau berani!" ucap Ales ikut menyingsingkan bajunya. Ia benar- benar emosi sekarang. Bagaimana bisa seorang gadis yang dijadikannya tawanan malah berhasil memperbudak seluruh anggota di markasnya?

Dengan sigap Keana berlari kearah Ales secepat kilat. Tangannya pun telah menyambar sebuah sapu yang tergeletak disampingnya. Sapu adalah senjata andalannya.

Akhirnya aksi kejar- kejaran itu pun terjadi. Keana dengan tatapan mautnya siap berburu Ales yang menjadi mangsanya. Sedangkan Ales lari terbirit- birit karena sapu yang dibawa Keana.

"Kalau berani tangan kosong!" ucap Ales sambil bersembunyi dibalik sofa tak jauh dari Keana.

"Badan doang yang gede! Masak sama sapu aja takut?!" hardik Keana dengan tatapan mautnya. Sapu yang sedari tadi dipegangnya diangkat tinggi- tinggi kearah Ales yang sudah waswas menatapnya.

"Bukan takut! Tapi gue cuma nggak mau kena pukul aja!" ucap Ales dengan raut sok jagoannya. Dagunya masih terangkat tinggi mengisyaratkan besar egonya.

"Kalian berdua apa- apaan sih?"

avataravatar
Next chapter