11 Pelukan Hangat

"Gue tidur di rumah Bastian," ucap Keana enteng sambil meneguk kembali air minum dari tumbler yang diberikan Abian.

Sedangkan Abian, bagaikan disambar petir di pagi hari. Matanya melotot menatap tajam pada Keana. Mulut Abian terbuka karena keterkejutannya. Ia mulai mengamati satu persatu bagian tubuh Keana dengan seksama. Mencermati apakah ada luka disana.

Bagaimana bisa Keana mengatakan kalau ia tidur di rumah musuh bebuyutannya itu dengan entengnya? Apakah ia sudah di guna guna? pikir Abian bodoh.

"Lo diapain aja sama dia, Kean?" tanya Abian meninggikan suaranya. Tangannya pun ikut bergerak memutar mutar tubuh Keana memastikan keadaannya.

Namun matanya belum juga menemukan kejanggalan. Sampai pikirannya hinggap pada suatu pemikiran yang membuatnya sedikit ragu.

"Apa jangan jangan kalian.." ucap Abian menggantung. Karena belum sempat menyelesaikan pertanyaannya kepalan tangan Keana sudah menjitak pucuk kepala Abian.

"Lo kalau mau ngomong di filter dulu napa, bang!" hardik Keana tajam. Dan untuk pertama kalinya, mata Keana berani menatap nyalang manik mata milik Abian.

"Bukan gue, tapi elo!" jawab Abian keras. Namun keras perkataannya lebih layak disebut bentakan. Suasana lapangan yang sepi membuat suaranya terdengar jelas disana.

"Lo tau nggak, orang yang kepalanya udah lo pukul waktu gue tawuran kemaren itu dia! Bastian! Kenapa lo mau aja diajak pulang ke rumah dia, ha?! Lo diapain aja sama dia?" rentetan pertanyaan itu terlontarkan oleh Abian. Nada bicaranya kian mengeras.

Abian sungguh tak habis pikir dengan gadis dihadapannya ini. Bagaimana bisa ia setenang itu setelah mengatakan kalau ia telah tidur di tempat seorang laki laki.

"Lo kira gue cewek apaan?" tanya Keana ikut meninggikan nada suaranya. Dan untuk pertama kalinya, Keana berani menatap manik Abian dengan tatapan nyalangnya.

Ia benar benar tak percaya jika Abian mengatakannya. Mengatakan sesuatu yang sangat melukai harga dirinya.

Dan satu lagi, Keana paling benci dibentak. Karena itu akan kembali mengingatkannya pada masalah yang harus ia hadapi setiap harinya. Karena perlakuan mereka.

Perlakuan kedua orang tuanya kini kembali terngiang di kepalanya. Mengingat kembali setiap bentakan, hinaan, dan cemoohan yang selalu diterimanya.

Keana melangkahkan kakinya meninggalkan Abian disana. Sendirian. Hatinya serapuh kaca. Teramat sakit rasanya. Bagaimana bisa Abian menganggapnya seperti itu? Apakah selama ini ia hanya dipandang sebagai wanita rendahan dimatanya?

Abian bungkam, seolah tak bisa berkata kata. Matanya terus menatap punggung Keana yang menjauh dengan penuh rasa bersalah. Ia sama sekali tak bermaksud untuk membentak Keana. Ia hanya khawatir pada Keana. Gadis kecilnya. Hanya itu.

*

Bel istirahat telah berbunyi 15 menit yang lalu. Namun gadis yang sedari tadi Abian tunggu belum juga menapakkan kakinya di kantin sekolah. Apa dia nggak ke kantin, ya? Terus dia makan apa? pikir Abian.

Bagaimana pun caranya ia harus minta maaf pada gadisnya. Karena ia tahu, apa yang ia ucapkan tadi sangatlah keterlaluan. Bagaimana mungkin ia bisa meragukan Keana. Apalagi menanyakan sesuatu yang melukai harga dirinya.

"Bodoh! Abian bodoh!" hardik Abian pada dirinya sendiri.

Lelah terus menunggu, kakinya pun mulai beranjak dari sana. Ia terus berjalan menyusuri koridor menuju kearah kelas Keana.

Sorakan para siswi terus bersahutan menemani langkah Abian. Mereka tak henti hentinya berdecak kagum karena pesona sang most wanted Abian. Tingkah polahnya seolah mereka lupakan. Hanya satu kata yang terlintas di pikiran mereka. Tampan.

Abian menaiki tangga yang ada disana. Memperpendek jaraknya dengan sang gadis kecilnya. Hingga terpampang papan kayu bertuliskan XI IPS 1, ia mulai memasukinya.

Hanya beberapa siswa yang ada disana. Dan beberapa siswa itu pula yang memekik kaget karena datangnya Abian yang tiba tiba ke kelas mereka.

Mata Abian mulai menjelajah ke seluruh isi kelas. Mencari satu persatu bangku yang di duduki Keana.

Hingga maniknya menemukan seseorang gadis yang tengah menelungkupkan kepalanya di meja. Dan disampingnya ada dua orang lelaki yang mendampinginya.

"Kean, kita makan ya," ucap seorang lelaki yang duduk membelakangi Abian dengan lembut. Hanya dengan mendengar suaranya pun Abian tahu kalau itu adalah Regan.

Tapi tunggu dulu, kalau itu Regan, lalu yang duduk di sebelah Keana adalah?

"Keana!" teriak Abian memanggil Keana. Sedangkan tiga orang yang sedang ditatapnya pun terjingkat kaget.

"Lo kalau dateng ke kelas orang assalamualaikum dulu, napa? Jantungan gue!" bentak Regan melotot tajam.

"Weeee.. dont copas my omongan!" teriak seseorang dari belakang Abian yang muncul tiba tiba. Siapa lagi kalau bukan Genta.

"Lo kok tau sih kemana aja gue pergi?" tanya Abian kesal ketika Genta mulai mendekat ke arahnya.

"Hati nuraniku mengatakan bahwa engkau ada disini, Kakanda." jawab Genta mendramalisir keadaan. Sungguh pusing pasti menjadi Abian, mempunyai sahabat kocak tak ada otak seperti Genta.

Merasa jijik dengan perkataan Genta, Abian pun mengabaikannya. Ia kini tengah fokus melihat Keana yang kembali menelungkupkan wajahnya di meja.

Abian mengambil langkah cepat untuk mendekati Keana. Matanya menatap redup ketika Keana sudah ada di hadapannya.

"Keana, udah makan belom?" tanya Abian dengan nada selembut mungkin.

"Udah sana pergi! Jadi gak napsu makan Keana denger suara lo!" hardik Bastian sambil melirik kearah Abian. Melayangkan tatapan tak sukanya.

Sedangkan Abian tak menggubrisnya. Fokusnya sekarang hanyalah Keana.

"Kalian pergi dulu, bisa?" tanya Abian kalem pada dua makhluk disandingnya. Pertanyaan yang bernada suruhan itu jelas membuat keduanya jengkel. Namun mereka tahu, kalau mereka harus menyelesaikannya berdua saja.

Dengan berat hati, Regan mengayunkan kakinya menjauh dari Keana diikuti Bastian. Abian pun langsung mendudukkan dirinya disamping Keana yang masih tak mau menatapnya.

"Kean, maafin aku ya," ucap Abian sambil mengelus lembut rambut Keana.

Sedangkan para siswi yang ada dikelas utu pun memekik syok. Hari ini, di ruangan ini, untuk pertama kalinya Abian mau merendahkan dirinya meminta maaf pada seseorang. Dan itu adalah pada Keana. Sungguh beruntung dia.

"Aku minta maaf karena sudah meragukanmu, aku minta maaf karena bentakanku mengingatkanmu pada kejadian itu," ucap Abian tulus. Matanya tak beralih sama sekali memandang Keana yang menyembunyikan wajahnya.

Tak ada sahutan, namun yang di dengar Abian hanyalah isakan tangis dari gadis disampingnya ini.

"Kean? Kamu nangis?" tanya Abian panik. Tangannya pun spontan menarik Keana agar mau menegakkan badannya.

Mata Abian kian sayu. Karena gadis yang selalu ingin dilindunginya kini benar benar menangis. Dan itupun karena ulahnya. Hatinya sungguh terkoyak. Ia tak sanggup melihat Keana menangis. Dan kini, ia merasa gagal.

Isakan kecil terus terdengar dari mulut Keana. Air matanya pun terus saja berjatuhan mengenai pipi gembulnya.

Abian langsung mengusap air mata itu. Ia membawa Keana ke pelukannya. Menenangkan sekaligus menyalurkan permintaan maafnya.

Pelukan Abian terasa hangat di tubuh Keana. Pelukan inilah yang diinginkannya sejak dulu. Beruntung sekali ia sekarang telah mendapatkannya.

"Sekarang kamu cerita ke aku, kemaren kenapa kamu pergi?" tanya Abian mengurai pelukannya. Tangannya terangkat kembali mengusap air mata yang terus membanjiri pipi Keana.

"Aku? Kamu?" tanya Keana disela sela tangisannya. Bingung.

"Mulai sekarang, kita panggilnya aku kamu, ya?" ucap Abian lembut. Sungguh, kelembutannya berhasil menghancurkan benteng pertahanan yang selama ini Keana bangun tinggi tinggi.

Kenapa harus kamu yang jadi kakakku?

"Seperti biasa," jawab Keana sambil mengukir senyum lembut di bibirnya. Namun Abian tahu, hanya senyum palsu yang ditunjukkannya.

"Kalau nggak mau cerita sekarang juga nggakpapa, kok! Tapi sekarang aku mau tanya lagi," ujar Abian sambil mengelus elus rambut Keana.

"Tanya apa?" tanya Keana memandang manik itu.

"Bastian siapa?"

avataravatar
Next chapter