8 Menghilang

Deru motor terus melaju menelusuri jalanan ibukota. Keramaian disana seolah tak mampu membuat kesepian yang hinggap dihatinya hilang begitu saja. Mengapa Tuhan memberikannya ujian semacam ini? Sedangkan ia kini tengah kebingungan mencari cara memecahkan masalah yang diberikan-Nya. Bukankah semua akan indah pada waktunya? Namun mengapa ia belum juga merasakannya.

Hanya dalam 1 hari, semua yang terasa indah selama 16 tahun hilang. Hanya karena satu kejadian, semua senyuman dalam kebersamaan berubah menjadi emosi yang mudah untuk tersulutkan.

Ia tersenyum getir saat motornya terhenti di tempat yang ingin didatanginya sejak 1 tahun lalu. Matanya beralih menatap rangkaian bunga yang sedari tadi dipegang di tangan kirinya. Ia berharap kalau nanti sang empu akan menyukainya.

Ia turun dari motornya. Melangkahkan kaki mendekati tempat tidur terakhir seseorang yang sangat dirindukannya.

Satu persatu nisan ia lewati. Mengikis jarak yang ada diantara mereka sejak satu tahun lalu. Jarak yang berhasil menciptakan kerinduan tak berujung.

Pandangannya mulai mengabur terhalang setetes air yang menggenang di matanya. Diletakkannya sebuket bunga diatas gundukan tanah itu dengan hati hati.

Reno Aditama. Nama yang terukir indah di nisan yang kini tengah dihadapnya.

"Apa kabar? Lo baik baik aja kan disana? Maaf ya gue baru bisa dateng kesini," ujarnya sambil mencabuti rumput rumput liar yang mulai panjang di sekitar sana.

"Lo tau nggak, gue kangen banget sama lo. Gue pengen kita bertiga bisa kayak dulu lagi. Gue pengen kita maen bareng lagi," setetes air mata akhirnya lolos tanpa bisa ditahannya lagi.

Ia terlalu rindu. Ia ingin memeluknya. Ia ingin mengatakan apa saja yang dirasakannya sejak kepergian kawannya itu. Ia juga ingin menceritakan kesalahpahaman yang tengah terjadi sejak satu tahun lalu. Namun apa daya. Ia tak bisa berbuat apa apa.

Ia memeluk erat nisan itu. Menumpahkan segala rindu yang berusaha ditahannya selama ini.

Regan terus menangis sesegukan disana. Tak peduli siapapun akan melihatnya. Yang dirasakannya saat ini hanyalah kehilangan. Ia bahkan tak pernah merasa serapuh ini sebelumnya. Namun namanya takdir, tak ada yang bisa mengetahuinya.

*

"Sampai kapan kamu mau ngelakuin ini sama Keana, Mas? Dia anak kamu juga! Kamu nggak seharusnya membedakan perlakuanmu diantara mereka, Mas! Keana sakit setiap kamu memperlakukannya seperti ini, apa kamu nggak punya sedikit pun belas kasihan pada anakmu itu mas!" cerca Mega terus menerus dihadapan seseorang yang tengah murka itu. Mukanya memerah meredam amarah yang dari tadi ditahannya.

"Diam kamu! Keana memang sudah kelewatan! Dia sudah membuat Abian babak belur sampai sebegitu parahnya, kamu pikir Bian tidak sakit karena ulah gadis tidak tahu diri itu, ha?!" bentak Aditya. Ia benar benar tidak pernah mau kalah. Ia terus menyalahkan Keana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Abian.

"Mas, kamu mikir nggak sih? Keana itu perempuan mas, dia nggak mungkin bisa berantem sampe buat Abian babak belur seperti itu," ucap Mega keukeh tetap membela putrinya itu.

"Apa kamu tuli, ha? Kamu tidak dengar dia tadi bilang apa?" hardik Aditya semakin marah hingga tangannya sempat melayang diudara hendak menampar pipi mulus milik istri keduanya itu. Namun ia segera tersadar dan membatalkan kembali niatnya itu. Tangannya berpindah mengusap wajahnya kasar.

"Pergi!" usir Aditya sambil menunjuk ke arah pintu ruang kerjanya itu. Tatapan nyalang tak henti hentinya ia berikan pada Mega yang tengah menangis sesegukan meminta perlakuan yang adil atas putrinya.

"Kasiani dia Mas," ucap Mega disela sela tangisnya.

"Pergi kamu dari sini!" hardik Aditya semakin tajam tangan kekarnya menarik lengan kecil milik Mega yang berusaha keras untuk bertahan.

Sedangkan diujung sana, tatapan nyalang pun terus ia berikan. Matanya memanas, tak terima atas perlakuan yang kini tengah diperbuatnya.

"Saya tidak akan pernah butuh belas kasihan anda!" ucapnya dari balik pintu yang sedikit terbuka disana. Kakinya melangkah menjauh. Menuruni setiap anak tangga. Kakinya terus saja berjalan menuju pintu utama. Ditariknya kasar pintu itu, dan segera keluar dari neraka yang memenjarakannya selama ini.

Mungkin malam ini, ia akan ditemani oleh angin. Serta tidur di tempat yang membuatnya dirinya asing. Namun itulah yang dibutuhkannya saat ini. Kesendirian.

*

Matahari mulai memasuki celah celah jendela di kamar Abian. Dering alarm telah berhasil mengusik waktu tidurnya. Dengan malas, tangannya meraba raba kearah nakas meja tidurnya untuk mematikan benda pengganggu itu.

Matanya terbuka sedikit demi sedikit menyesuaikan dengan cahaya. Diliriknya jam dinakas itu menunjukkan pukul 5.30. Ia segera bangun bergegas untuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

30 menit telah berlalu. Kini Abian telah rapi dengan baju seragam yang dikenakannya. Abian menatap cermin besar disana. Melihat setiap inci dari bentuk tubuhnya. Sempurna, hanya itu yang terpikirkan olehnya. Beberapa luka lebam masih tersisa di wajahnya. Namun itu sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanan yang telah dimilikinya.

Setelah dirasa puas dengan penampilannya, ia segera keluar dari kamar menuju ruang makan untuk segera melakukan sarapan.

Namun langkahnya terhenti saat melewati kamar milik Keana yang masih tertutup rapat. Apa dia belum selesai siap siap ya? pikir Abian.

Kakinya berjalan mendekati pintu kamar itu, diketuknya 3 kali namun tak ada sahutan. Karena dilanda rasa penasaran, tangannya meraih handle pintu disana. Pemandangan pertama yang Abian lihat adalah kosong. Tak ada tanda tanda seseorang ada disana. Bahkan tempat tidurnya pun rapi seperti belum digunakan untuk tidur tadi malam. Mungkin udah dibawah, batinnya.

Ia segera menutup pintu kamar itu lalu melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Ia bersenandung ria sambil terus mengayunkan kakinya.

Namun ketika sampai di meja makan, matanya belum menemukan seseorang yang dicarinya dari tadi. Ia menoleh kearah kanan dan kiri. Mencari Keana yang belum juga tampak batang hidungnya.

"Abian, ngapain malah bengong? Sini kita makan," ajak Sarah, mama Abian sambil tersenyum lembut ke arahnya.

"Iya ma," jawab Abian sambil melangkah mendekati kursi tempatnya duduk disana. Hanya ada tiga orang disana, Aditya, Sarah, dan Abian. Ketiganya makan dengan khidmat sampai seseorang lari tergopoh gopoh dari arah tangga datang mendekati mereka.

"Mas mas, Keana nggak ada, Mas! Keana hilang, Mas!" teriak Mega sambil menangis histeris disamping suaminya itu.

"Apa? Emang Keana nggak berangkat duluan, bunda?" tanya Abian kaget.

"Nggak Bian, dia sama sekali nggak keluar kamar mulai kemarin sore," jawab Mega disela sela cegukannya.

"Gimana ini, Mas?" tanya Mega meminta iba pada suaminya. Sedangkan yang ditatapnya saat ini tak mempedulikannya. Ia masih melanjutkan sarapannya dengan khidmat seolah tak ada yang terjadi.

"Mas! Kamu denger nggak, sih? Keana hilang, Mas! Anak kamu hilang!" teriak Mega tepat disamping orang tak berpeduli kasih itu.

"Biarkan saja, anak seperti itu memang tak ada gunanya!" jawab Aditya dengan santainya.

"Papa itu gimana, sih! Keana hilang, Pa!" kata Abian tak terima.

"Lalu kenapa? Memang apa yang bisa diharapkan dari anak parasit seperti dia?" jawab Aditya menatap dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Papa tega! Bian berangkat dulu, assalamualaikum," ucap Abian sambil mengambil tas ranselnya yang sudah ia siapkan tadi.

"Lho Abian! Ini kamu belum sarapan! Nak!" teriak Sarah sambil berdiri hendak mengejar langkah besar milik Abian.

Namun Abian tak menggubrisnya. Tujuannya saat ini hanyalah mencari keberadaan Keana. Ia berharap dapat menemukan keberadaan Keana di sekolah nanti.

Lo dimana Kean?

avataravatar
Next chapter