13 Melindungi Walau Terluka Kembali

Abian mengusap mata saat sinar matahari berhasil mengganggu tidurnya. Matanya menatap sekeliling tempat yang telah ditidurinya.

Kotor. Satu kata yang cukup menggambarkan situasi dikamar VIP-nya. Bungkus makanan, minuman kaleng, bahkan botol beling bekas minuman keras tergeletak di lantai kamarnya. Sedangkan di sekelilingnya terdapat puluhan orang yang tidur tak beraturan disana.

Abian memegang erat kepalanya. Pusing akibat mabuk semalam masih tersisa rasanya. Tangannya bergerak menggoyang- nggoyangkan tubuh Genta yang tengah tertidur disampingnya.

"Gen, bangun Gen! Udah jam... " Abian menggantungkan ucapannya. Benar, jam berapa sekarang? batin Abian panik. Matanya segera melihat kearah jam tangan yang melingkar di tangannya.

7.15. Mati aku! Abian segera menyambar jaket kulit miliknya yang tergeletak disana. Ia berlari keluar dari kamar VIP-nya bergegas untuk kembali ke rumahnya. Bagaimana jika Ayah tau, bisa kacau semuanya! batin Abian panik sejadi- jadinya.

Kini langkahnya telah sampai di tempat parkir club yang ia kunjungi dari semalam. Dengan cepat, ia melajukan motornya agar segera sampai ditempatnya semula.

*

"Abian tadi lari pagi. Terus pas dia udah sampe luar, aku suruh balik lagi ke taman, buat beli bubur," ucap Keana kesakitan. Kebohongan apalagi ini, batin Keana terisak. Sampai kapan ia harus membohongi orang rumah hanya untuk menutupi kesalahan saudara tirinya.

"Beraninya kau!" hardik Sarah semakin menarik kencang rambut Keana. Beberapa helai rambut Keana pun telah rontok ditangannya.

"Ma, sakit Ma!" ucap Keana sambil terus memegangi tangan Sarah. Berharap ia mau melepaskannya

"Mbak, lepasin Mbak! Kasian Keana," ucap Megalani ikut membujuk Sarah agar mau melepaskan cekalannya. Ia turut memegang tangan Sarah agar mau melepaskannya. Namun usahanya malah membuat Sarah semakin marah. Sarah menghempaskan tangan Megalani kasar hingga ia terjerembab ke lantai tak jauh dari sana.

"Bunda!" teriak Keana terkejut. Ia tak pernah menyangka sebenci ini mamanya terhadap Keana dan sang bunda. Air mata Keana jatuh seketika. Ia tak rela jika bundanya turut menanggung sakit yang ia derita.

Beberapa ART dirumahnya pun ikut menyaksikan adegan miris keluarga Abraham. Memang sering terjadi kekerasan. Namun mereka tak berani menentang.

"Aaa!" pekik Keana kuat saat tangan Sarah kembali menjambak rambutnya. Namun kali ini dengan kekuatan dua kali lipatnya.

"Mbak, tolong Mbak!" ucap Megalani memohon. Kakinya sudah tak sanggup berdiri akibat dorongan keras dari Sarah tadi.

"Biarkan!" satu kata yang dingin itu mengundang tatapan semua orang. Seorang pria paruh baya tengah memandang Keana dengan tatapan mematikannya.

Aditya duduk tenang seolah bersantai menikmati pertunjukan. Ia sama sekali tak ada niatan untuk membujuk istri pertama agar berhenti menyakiti Keana. Tidak ada!

"Mas! Keana anak kamu juga, Mas!" hardik Megalani dengan begitu kerasnya. Ia benar- benar tak habis pikir dengan Aditya. Bagaimana mungkin ia sekeji itu pada Keana?

"Biarkan saja, kuanggap itu sebuah hukuman karena dengan berani memerintah anakku. Memang dia ratu?" ucap Aditya dengan entengnya. Tangannya terangkat untuk mengambil secangkir kopi dihadapannya. Menyesapnya dengan penuh wibawa.

Pertahanan Keana runtuh seketika. Bagaimana mungkin itu ayahnya? tanya Keana dalam lubuk hatinya. Air mata tak dapat lagi dibendungnya. Tangisnya pecah begitu saja. Ditambah lagi dengan rasa sakit dikepalanya yang semakin membuatnya tersiksa.

"Ada apa ini?" suara Abian dari ambang pintu mengundang perhatian semua orang disana. Tak terkecuali Sarah. Sarah yang melihat putra semata wayangnya telah kembali langsung melepaskan tangannya dari rambut Keana.

Sarah berjalan mendekat kearah Abian. Ditangkupnya pipi Abian dengan penuh kelembutan.

"Kamu capek, Nak?" tanya Sarah dengan tatapan keibuannya.

Sedangkan Abian, ia mengerutkan alisnya bingung akan pertanyaan yang telah dilontarkan. Capek? Capek kenapa? tanya Abian dalam hatinya.

"Maaf Abian, aku lupa memberi tahu mereka kalau kau sedang lari pagi. Dan maafkan aku telah berani menyuruhmu membelikan bubur setelah kau kembali," ucap Keana disela- sela tangisnya.

Lari pagi? Bubur? Maksudnya apa? pikir Abian semakin membuatnya bingung. Ditatapnya Keana yang masih sesegukan disana. Mata Keana menatapnya intens lalu dengan tiba- tiba berkedip seolah memberikan sinyal padanya.

"Anak pembangkang sepertimu memang sudah seharusnya meminta maaf pada putraku." ucap Aditya tajam. Dengan angkuhnya, ia pergi beranjak dari tempat duduknya tepat setelah pertunjukan selesai baginya.

"Pergilah ke kamar, Nak! Bersihkan dirimu," ucap Sarah.

"Tapi mereka?" tanya Abian menatap dua orang yang tengah menangis sesegukan disana.

"Biarkan saja. Mereka pantas mendapatkannya," jawab Sarah dengan entengnya.

Tangannya menuntun Abian untuk segera naik ke kamarnya. Sedangkan Abian, ia hanya bisa menatap iba pada mereka. Langkahnya menjauh dari mereka. Namun pikirannya tidak. Abian masih bingung dengan penuturan Keana dan mamanya. Apa maksudnya?

"Bunda," ucap Keana sambil berjalan mendekati Megalani yang terduduk dilantai rumahnya. Kakinya telah kesleo karena ulah mama tirinya.

"Ayo Bun, aku bantu berdiri!" ucap Keana sambil berdiri memapah bundanya. Beruntung kamar Megalani ada dilantai bawah. Jadi Keana tak perlu susah untuk membawanya kembali ke kamar.

Keana segera mendudukkan tubuh Megalani di kasur kingsize kamarnya. Kakinya beranjak mengambil handphone untuk menelpon seorang dari dokter keluarga mereka.

Ditatapnya wajah sang bunda dengan tatapan iba. Ia tak tega atas rasa sakitnya. Hatinya terasa terkoyak mendengar rintihan Mega. Mengapa Tuhan begitu suka mengujinya?

*

Abian menatap nanar langit kamarnya. Hatinya tak tenang merasa ada yang mengganjal disana. Apa maksud mereka? pikir Abian tak henti- hentinya bertanya.

"Ah rasa ini membunuhku!" teriak Abian dalam kamarnya. Untungnya kamar Abian kedap suara hingga semua keluh kesah dan segala umpatan tak akan ada yang mendengarnya.

"Aku harus bertanya pada Kean!" ucap Abian bangkit tidurnya. Kakinya beranjak mendekati cermin dikamarnya untuk meyakinkan niatnya.

"Ya, gue harus tanya!" ucap Abian penuh semangat. Entah mengapa jika ia mendengar segala sesuatu tentang Keana ia akan tersenyum dengan sendirinya.

Abian berjalan mendekati pintu hendak keluar dari kamarnya. Namun sebuah dering telpon dari ponselnya menhentikan langkahnya. Abian segera mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang kingsize miliknya.

Mata Abian sedikit memincing kala melihat nama Bima tertera dilayar ponselnya. Seorang wakil dari geng Leonard-nya. Ia juga yang telah menggantikan kedudukannya saat Abian tidak kembali ke markas mereka.

"Tumben banget," monolog Abian sambil menggeser tombol hijau pada ponselnya.

"Kenapa?" tanya Abian to the point.

"Gawat boss! Markas kita diserang!" jawab Bima dengan nada khawatirnya. Ia bingung harus berbuat apa. Melawan pun tak mungkin karena hanya ada beberapa orang disana.

"Bangsat!" umpat Abian dengan spontan. Ia benar- benar tersulut emosi sekarang. "Suruh semua anggota lain kumpul di rumah gue sekarang!" ucap Abian dengan emosi diubun-ubunnya sekarang.

"Matilah kalian!" hardik Abian. Ia dengan segera memakai jaket kulit yang tadi baru dilepasnya.

Kakinya berlari menuruni satu persatu anak tangga. Namun ada yang membuat janggal dimatanya hingga membuat Abian menghentikan langkahnya.

Ditatapnya Keana yang ada dikamar Megalani. Ia bersimpuh dilantai menemani sang bunda yang telah tertidur disana. Wajahnya telungkup disamping Megalani. Rambutnya berantakan. Bajunya lungsut tak beraturan.

Ingin sekali Abian mendekat padanya. Namun saat ini markas dan teman- temannyalah yang utama.

avataravatar
Next chapter