7 Khawatir

"Lo khawatir?" tanya Abian dengan cengiran tak berdosanya. Menjengkelkan.

Plak!

Keana memukul keras keras kepala milik Abian. Matanya melotot tajam menatap manik Abian yang masih menatap Keana dengan mata berbinar.

"Lo emang minta dibasmi ya!" teriak Keana tepat di depan Abian. Spontan Abian dan beberapa temannya yang ada di dekat sana langsung menutup kedua telinga mereka. Menyelamatkan gendang telinga mereka yang terancam bahaya.

"Yaelah ga usah teriak teriak napa?" kata Abian mengerucutkan bibirnya kesal. Ia terus mengusap usap telinganya yang masih syok karena ulah oknum dengan tinggi di bawah rata rata di depannya.

Namun matanya sedikit membelalak mengingat apa yang Keana ucapkan tadi saat adegan marah marahnya.

"Eh tadi bukannya lo bilang kalau gue ganteng, ya?" tanya Abian kembali sambil menaik naikkan kedua alisnya. "Gue emang ngerasa sih kalau gue itu sedikit ganteng, sedikit aja tapi gue ngerasanya. Karena gimana pun kita harus merendahkan hati kan di depan orang orang yang kekurangan tingkat ketampanan jauh dibawah gue, ya nggak?" lanjutnya sambil menatap ke arah teman temannya. Tangannya pun terangkat untuk menyunggar rambut yang sudah tak tertata rapi itu. Beberapa temannya membuat ekspresi seolah olah ingin muntah karena lagak Abian.

Sedangkan Keana, ia menatap lekat lekat gerakan gerakan yang Abian lakukan. Keana memang mengakui kalau saudaranya ini sangatlah tampan. Senyumannya begitu manis, dan kharismanya itu. Seolah tak pernah luntur dari pandangannya. Namun itu semua tertutup oleh narsisme dan kealay-an yang dipeliharanya itu.

"Nggak usah natap gue kayak gitu kali, ntar suka repot lo!" kata Abian semakin kepd-an. Senyum smirknya tersungging di bibirnya. Matanya menatap dengan tatapan jahil namun semua itu seperti hipnotis bagi Keana.

Inget Kean, dia abang lo! Batin Keana menetralisir degup jantungnya yang kian tak terkendali.

"Ihh lo tuh nyebelin banget tau nggak! Udah gue tolongin masih aja kegantengan!" teriak Keana kembali sambil memukul mukul dada bidang Abian. Abian pun puas tertawa. Bukanlah sakit yang dirasakan Abian saat ini. Karena kekuatan Keana tidak ada apa apanya dibanding dengan apa yang dirasakannya saat berkelahi tadi.

Tangan Keana terhenti saat Abian mencekal kedua tangan mungil miliknya itu. Keduanya pun saling menatap. Namun tatapan nyalang justru diberikan oleh Keana pada Abian. Ia kesal. Sangat kesal. Mulut yang mengerucut justru membuat Keana semakin menggemaskan di mata Abian.

"Udah udah, lo ikut gue ya!" kata Abian sambil mengacak rambut Keana yang terurai itu.

"Jangan diacak acak dong! Susah ini natanya!" protes Keana sambil memukul mukul Abian kembali. Tawa pun langsung terbit di bibir Abian melihat tingkah gadis di depannya ini.

"Iya iya maaf, sini ikut gue!" jawab Abian sambil berjalan menjauh menggenggam tangan Keana agar mengikuti langkahnya. Mereka berjalan mendekat ke arah motor yang ia gunakan tadi. Ia mengambil helm yang terletak disana lalu memasangkannya pada Keana. Keana pun hanya menurut. Walau ia kini sangat ingin bertanya kemana Abian akan mengajaknya. Namun ia urungkan, karena ia terlalu lelah untuk kembali berdebat dengan orang menjengkelkan seperti Abian.

Abian mulai memasang helmnya lalu duduk diatas motor Ninja hitam miliknya. Ia menghidupkan mesin bersiap untuk melaju. Namun ia masih belum melihat pergerakan dari arah sampingnya yang membuat kepalanya menoleh melihat Keana.

"Ayo naik!" ucap Abian dari balik helm full facenya sambil menepuk jok belakang motornya.

"Kemana?" tanya Keana dengan tatapan polosnya. Dan itu berhasil mengukir senyum terbit di bibir Abian kembali.

"Pulanglah, emang lo mau ikut gue ke markas bareng temen temen?" ujar Abian sambil sedikit terkekeh.

"Gue pengen ikut lo kemana aja!" jawab Keana keukeh. Namun ia juga belum beranjak dari tempatnya berdiri sekarang.

"Yah kok gitu, gue nggak mau lo dimarahin kalau sampe pulang telat Keana," kata Abian menurunkan satu oktaf suaranya. Ia memegang bahu Keana mengisyaratkan agar ia setuju dengan pernyataannya.

"Tapi gue nggak mau lo kenapa napa lagi, ogeb!" kata Keana menghentak hentakkan kakinya. Ia benar benar kalut dengan perasaannya saat ini. Matanya sedikit berkaca kaca agar Abian mau mendengarkannya.

"Ya udah, gue ikut pulang bareng lo," ujar Abian mengalah. Ia tidak mau kalau sampai Keana dimarahi lagi dengan kedua orang tuanya. Bagaimanapun juga, Keana adalah gadis kecil yang harus ia lindungi.

"Tapi naiknya gimana?" pertanyaan itu langsung membuat Abian jengkel. Bagaimana mungkin Keana tidak tahu cara naik motor?

"Lo minta gue gendong?" tanya Abian hendak turun dari motornya. Namun dengan cepat Keana cegah.

"Bukan itu maksudnya, rok gue pendek," jawab Keana sedikit malu malu. Abian pun tak merespon katanya. Namun ia melepas jaket yang ia gunakan tadi lalu meberikannya pada Keana.

"Pake!" kata Abian ya g langsung diangguki Keana. Keana pun langsung naik ke atas motor Abian lalu menutupi pahanya ya g terbuka dengan jaket milik Abian tadi.

Motor itu perlahan melaju meninggalkan beberapa orang yang menjadi saksi keharmonisan keduanya disana. Namun pandangan mereka seolah bertanya tanya, apa hubungan mereka?

*

Motor itu melaju dengan kecepatan sedang. Membiarkan dua orang saling diam. Tak ada yang berniat membuka pembicaraan. Semua tampak canggung bagi Abian. Pasalnya ini adalah kali pertama ada seorang gadis dibocengannya. Dan gadis itu adalah Keana.

Namun mata Abian seketika membelalak merasakan sebuah tangan menyelinap di perutnya. Abian menunduk memastikan apa yang tengah dirasakannya. Dan benar saja, kedua tangan Keana kini memeluknya. Degup jantungnya kini mulai menggila. Ia terlalu gugup untuk situasi ini. Terlebih lagi dengan sandaran yang ia rasakan dibahunya. Seolah membuatnya ingin terbang. Ya ampun, enak banget dipeluk adek sendiri, batin Abian sambil mengukir senyum lebar dari balik helmya.

"Lo utang penjelasan sama gue!" kata Keana sedikit berteriak. Dan posisi kepalanya kini sudah berpindah ke atas bahu lebar milik Abian. Wajahnya kian lucu saat memakai helm. Pipinya tampak sangat bulat. Bibir dengan warna merah delima itu mempercantik wajahnya.

"Penjelasan apa?" tanya Abian.

"Penjelasan soal lo tawuran tadilah!" jawab Keana. Matanya kesal menatap ke arah Abian. Entah apa yang saat ini dipikirkannya. Ia terus saja merasa jengkel jika Abian bersamanya. Namun ia juga tak tega kalau terjadi sesuatu pada diri Abian. Ada rasa tak terima kalau seseorang berani menyakiti Abian. Apakah itu rasanya saling menyayangi antar saudara?

"Iya iya nanti gue ceritain semuanya," ucap Abian nampak santai. Namun itu berbanding terbalik dengan keadaan jantungnya saat ini. Rawan copot.

"Abian, jangan kayak gitu lagi ya! Gue takut," ucap Keana sedikit bergetar di bahu Abian.

"Takut kenapa?" tanya Abian sambil melihat wajah cantik Keana dari balik spion motornya. Mata gadis itu sedikit berkaca kaca. Dan itulah kelemahan Abian. Ia tega jika Keana menangis karenanya. Atau karena apapun itu, Abian tidak peduli alasannya. Tangannya perlahan mengusap lembut punggung tangan Keana yang masih setia memeluknya. Menyalurkan kehangatan.

"Gue takut lo kenapa napa," ucap Keana lirih. Namun masih sempat terdengar oleh oleh telinga Abian. Sungguh, seperti inikah rasanya dikhawatirkan? Tak terasa seukir senyuman terbit di bibirnya.

Tak terasa motor Ninja milik Abian itu sudah memasuki pekarangan rumah mereka. Motor itu melaju menuju ke garasi yang berada tepat di samping rumah mereka.

Keana turun dengan hati hati sambil mengambil jaket Abian yang ia letakkan di pahanya tadi. Keana melepas helm yang dikenakannya lalu segera memberikannya pada Abian.

Keduanya berjalan berdampingan memasuki rumah megah keluarga Abraham itu. Kesunyian menyambut mereka. Namun itu hanya sepersekian detik setelah teriakan kencang menggema ke seluruh ruangan.

"Ya ampun Abian! Kamu apakan anak saya, Keana?"

avataravatar
Next chapter