webnovel

Like I'm Gonna Lose You

Bersama dengan Rayhan, Nara merapikan semua pakaian suaminya beserta keperluan yang akan dibawanya keluar kota. Ada perasaan hampa saat memasukkan beberapa pakaian yang akan dipakai suaminya. Melirik sekilas ke arah Rayhan yang saat ini berada di ruangan kerjanya, menata semua berkas yang diperlukan. Diam-diam Nara mengigit bibir bawahnya, pandangannya agak tertunduk mengindari sang suami yang terus berjalan bolak-balik.

Kabar keberangkatan Rayhan disampaikan pada Nara tadi pagi. Pun Nara seketika merasakan relungnya ditusuk rasa tidak rela. Pasalnya, suaminya itu juga mengatakan jika perginya dia ini memakan waktu sekitar dua minggu. Berarti, selama itu juga ia akan tidur sendirian. Tidak tahu, apa dirinya bisa menjalaninya sendiri.

Rayhan berhenti di depan lemari pakaian, mengambil beberapa pakaian santai untuk ia gunakan setelah pulang bekerja. Kaos putih dan abu-abu, serta beberapa celana pendek yang biasanya ia lihat setiap malam. Nara menerima pakaian yang diberikan suami, memasukkannya ke dalam koper dengan pembatas untuk memisahkan dari pakaian formalnya. Nara juga mengambil sepatu pantofel sang suami yang sudah dipilih Rayhan, diletakkan tepat di sebelah kopernya agar tidak kesulitan saat akan memakainya besok.

Pribadinya bangkit selesai melakukan tugasnya, nampak sang suami yang duduk di tepi ranjang seraya menepuk-nepuk sisi yang kosong. Membawa tungkainya menghampiri Rayhan. Laki-laki itu membuka nakas, mengeluarkan amplop berwarna coklat dan memberikannya pada Nara.

"Ini gaji utuhku,"

Nara menatap untuk beberapa detik amplop coklat itu sebelum menjauhkan tangan Rayhan guna menolaknya. "Tidak usah. Mas simpan saja,"

"Kau sekarang sudah tidak bekerja. Gunakan saja uang ini untuk merawat dirimu atau apapun yang kau inginkan. Kau cantik juga aku yang menikmatinya di rumah,"

Wanita itu tersenyum lembut saat menerima amplop yang diberikan sang suami. Yang mana berisikan selembar cek. Nara akan datang kembali ke tempat kerjanya yang lama untuk mencairkan. "Terima kasih," ucapnya lembut.

Tepat setelahnya, Nara kembali terdiam. Ia melirik ke arah sang suami yang tengah berkutat dengan ponsel. Jari-jari lentiknya masih menggenggam selembar kertas bernominal itu. Sedangkan Rayhan yang berasa di sana merasa jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan setelah ia melihat raut wajah Nara.

"Apa ada yang ingin dibicarakan?" tanyanya.

"Apa seorang presdir juga mendapat tunjangan? M-maksudku, selama ini ibu selalu mengajakku berbelanja kebutuhan untuk dua rumah," tanya Nara yang gugup serta kebingungan.

Mendengar pertanyaan itu membuat Rayhan terkekeh, istrinya nampak lucu saat kebingungan, bahkan pertanyaannya juga terdengar berantakan. "Tidak, aku yang mengurus semuanya. Semua murni dari gajiku," jawab Rayhan.

"Maaf ya, jika aku bertanya seperti itu," ucapnya merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, kau berhak bertanya," tangannya bergerak untuk mengusap lembut pucuk kepala Nara. Beberapa detik, usapannya berhenti sesaat meminta sesuatu pada istrinya. "Tolong siapkan jaketku juga. Sekarang sudah memasuki musim hujan," pintanya.

Nara beranjak, membuka kembali lemari pakaian mereka. Tangannya bergerak meniti satu per satu lipatan pakaian itu. Sampai pada warna coklat tua, dia tarik keluar. Betapa terkejutnya Nara saat ia salah mengambil pakaian. Itu adalah sebuah celana yang menjuntai ke bawah. Namun, Rayhan langsung menghampiri sang istri mengambil celana itu.

"Akhirnya ketemu juga," ucap Rayhan. Terpampang jelas gurat senyum di wajahnya. "Terima kasih,"

"Milik siapa?" tanya Nara.

"Milikku,"

Nara tertarik dengan celana suaminya itu, "Coba mas dipakai," pintanya.

Laki-laki itu menurunkan celananya, berjalan mendekati Nara dengan tubuh yang sedikit diturunkan guna mencapai rungu sang istri. "Kau akan terkejut jika aku pakai sekarang," bisiknya menggoda.

-

-

-

Bangun lebih dulu dari Rayhan, wanita itu bergerak guna membangunkan Rayhan. Lantas ia keluar kamar mempersiapkan sarapan untuk suaminya. Perasaan hampa sejak semalam itu masih ada, mengerjakan sesuatu di dapur saja tidak sefokus biasanya. Nara merasa belum siap ditinggal begitu oleh Rayhan.

Lantaran terlalu memikirkan, ia tak sadar jika sang suami telah turun bersama dengan koper dan tas lainnya. Pun dengan segera Nara memanggil sopir Rayhan yang terlihat lebih muda dari suaminya guna membawa semua barang majikannya.

Wanita itu menyuruh Rayhan untuk menuju ruang makan terlebih dahulu, karena ia ingin membawakan makanan ringan lainnya untuk dimakan di dalam mobil. "Tolong ingatkan dia jika sudah masuk jam makannya," titah Nara.

"Baik, nona Nara," balas Andre—sopir Rayhan—dengan senyuman.

Nara kembali ke ruang makan, duduk di sebelah sang suami dan memperhatikan laki-laki itu menghabiskan sarapan. Nara tak henti-hentinya meniti setiap inchi wajah Rayhan, hingga laki-laki itu tersadar akan tatapan sang istri. "Jangan memasang wajah seperti itu, aku akan semakin sulit meninggalkanmu," katanya.

Rayhan bangkit, mengambil jaket dan ponselnya, diikuti Nara yang mendekat ke arah sang suami. Wanita itu lebih dulu memeluk Rayhan dengan pelukan erat, mendekap di dada bidang serta menghirup aromanya sebelum benar-benar tidak bisa ia hirup.

"Jangan lupa makan, dan kabari aku jika sudah sampai," katanya masih berada di dalam dekapan.

"Iya,"

Nara mendongak, "Cium," ucapnya dengan bibir yang sudah maju lebih dulu.

"Tidak apa-apa? Aku baru selesai makan?"

"Eung," katanya bersamaan dengan anggukan kecil.

Rayhan sempat tertawa kecil, sebelum membawa labiumnya menempelkannya pada milik sang istri. Memagut beberapa saat, dan menjauhkan tubuh Nara. Namun, ia melihat jika sang istri masih menggenggam kemeja pada kedua sisi tubuhnya.

"Aku pamit. Kau berhati-hati, ya," katanya dengan ciuman terakhir jatuh pada pipi Nara.

Keduanya berjalan menuju keluar rumah, Nara memegang gerbang dengan wajah yang masih belum siap ditinggal Rayhan. Padahal, tadi ia sengaja memeluk dengan cukup lama agar dapat mengulur waktu. Tangan kanannya terangkat dan melambai kecil saat mobil sang suami sudah mulai meninggalkan rumah. Bahkan, Nara juga tak melepas pandangannya, sampai mobil itu benar-benar hilang dari penglihatan.

Tungkainya berjalan masuk, berdiri di ambang pintu seraya mengamati rumah sebesar itu nampak amat sepi. Walaupun Rayhan baru saja meninggalkan beberapa detik lalu. Ia menutup pintu dan merapikan semua sisa piring kotor yang telah dipakai Rayhan.

"Sudah berbeda sana ditinggal suami begini," cicitnya.

Diam-diam air matanya mengalir dari pelupuk mata kiri, ia mengusapnya dengan cepat. Berpikir jika dirinya terlalu cengeng saat ditinggal Rayhan hanya untuk sementara. Tidur malam ini pun akan terasa sepi, tak ada yang akan memeluknya, atau mengusap pucuk kepalanya sampai Nara akan terlelap. Ditambah, biasanya setelah Rayhan berangkat kerja, Nara selalu berpikir membuat bekal makan siang untuk suaminya. Dan dia tak akan melakukannya selama dua minggu kedepan.

"Seharusnya, aku sembunyikan saja ponselnya. Agar dia lebih lama lagi di rumah,"

Nara berjalan ke kamar guna membersihkan diri selagi memikirkan hal apa yang akan dia lakukan setelah ini.