webnovel

Go to a New House

Sejak tadi Nara hanya terdiam sembari memainkan roknya. Aneh sekali, dia mendapat hujaman pujian dari ibu mertuanya karena berdandan seperti ini. Eum, tidak, bukan karena itu, melainkan pergi bersama Rayhan.

Dirinya sama sekali belum berbincang apapun dengan Rayhan begitu keduanya masuk ke dalam mobil ini. Begitu sepi, bahkan mesin mobil pun juga tidak terdengar suaranya—saking halusnya suara mesin mobil ini. Nara sedang mencari pertanyaan yang sesuai dengan tujuan mereka saat ini. Wajar 'kan jika seorang istri juga ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh suaminya.

"Apa ayah dan ibu juga sudah mengetahui tentang rumah yang dimaksud?" tanya Nara.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, Rayhan mengangguk. Nara cukup paham dengan jawaban seperti itu. Dia kembali terdiam, namun dengan rasa penuh kecanggungan. Bagaimana tidak, percakapan singkat mereka ini sangatlah terasa aneh untuk Nara. Jika selama sisa hidupnya begini terus, mungkin Nara akan mengalami penuaan dini, saking menahan rasa geregetan terhadap suaminya sendiri.

Nara mengigit bibir bawahnya, dia melirik ke arah Rayhan yang tidak merubah ekspresi wajahnya. Dia sedang mencari cara agar Rayhan mau berbicara sesuatu padanya, Nara tidak bisa berada disuasana hening dalam waktu yang cukup lama. Baik tangan ataupun mulutnya pasti gatal ingin melakukan sesuatu. Mencoba berdeham beberapa kali untuk menarik perhatian Rayhan, namun sang suami tak terkecoh dengannya. Hingga lelah sendiri, Nara meniup poninya yang menutupi dahi.

"Kita sudah sampai," ucap Rayhan.

Apa?! Tunggu, kenapa cepat sekali? Itu adalah pertanyaan yang pertama terlintas di kepala Nara. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dengan rumah kedua orang tua Rayhan. Lantas Nara turun dari mobil, mengikuti sang suami yang sudah lebih dulu berdiri didepan mobil. Dia berdiri tepat di samping Rayhan yang sedang menatap rumah dengan warna yang masih belum tertutup semua.

Jika dari sorot tatapnya, Nara rasa rumah yang sedang dipandang itu memang rumah yang dimaksud oleh Rayhan. Jujur saja, Nara sendiri kagum dengan rumah itu, apalagi berada di komplek perumahan elit. Pasti, tetangganya pun bukan sembarangan orang. Wah, kehidupan Nara setelah menikah akan berbeda dari kehidupan sebelumnya.

Rayhan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah. Disana ada cukup banyak pekerja yang sedang menyelesaikan mengecat dinding dan membawa masuk perabotan. Tadi, Nara sempat bertanya perihal rumah ini, dan Rayhan menjawab jika mereka berdua kemungkinan akan pindah minggu depan, supaya ketika mereka berdua pindah, keadaan rumah sudah siap untuk ditinggali saja. Padahal, sebenarnya Nara bisa membersihkan seluruh ruangan di rumah ini.

Keduanya bertemu dengan mandor, mereka diajak untuk berkeliling rumah ini. Tentu saja mandor itu kembali menanyai Rayhan perihal hasil rumah yang hampir selesai ini. Siapa tahu, sang pemilik menginginkan tambahan ruangan atau lainnya. Namun, Rayhan sendiri sama sekali tidak merasa kurang dengan apa yang sudah jadi ini. Dia merasa jika bangunan dan semua ruangan sudah sesuai dengan perhitungannya.

Nara dan Rayhan dibawa menuju kamar utama. Dimana mandor menjelaskan desain yang dipakai di rumah ini adalah klasik modern, sesuai dengan permintaan Rayhan sendiri. Sempat Rayhan menoleh kearahnya, seolah bertanya pada Nara.

"Aku suka dengan kamarnya. Cantik," puji Nara.

"Berarti, kau tidak menyukai bagian ruangan lainnya? Apa ada yang ingin dirubah?" tanya Rayhan.

Kedua manik Nara sedikit membesar, bibirnya pun terbuka begitu saja. Lantas dirinya menarik kedua sudut bibir dan tersenyum lembut. "Tidak ada yang perlu dirubah. Rumah ini sudah sangat bagus. Aku menyukai semua ruangannya," jawab Nara.

"Tapi kau belum melihat ruangan yang akan menjadi kamar anak kita,"

Tepat setelah Rayhan mengatakan itu, dia melipat kedua tangannya didepan dada dan berjalan lebih dulu bersama mandor, meninggalkan Nara bersama keterkejutannya saat mendengar Rayhan mengatakan 'anak kita'. Heran, dengan wajah sedatar itu, Rayhan masih terlihat tenang setelah mengatakannya.

Setelah menghela nafas, Nara menyusul suami dan mandor yang sudah masuk ke dalam ruangan. Kata mandor, ruangan inilah yang akan menjadi kamar anak. Nara amati, kamar dengan konsep lantai mezzanine ini sangat cocok untuk aktifitas anaknya suatu hari nanti. Dia sudah tersenyum puas dan membayangkan anaknya akan aktif dan betah dikamar fungsional ini. Namun, bayangan itu langsung terbuyarkan, dan senyumannya memudar saat Rayhan menyentuh pundaknya.

"Sejak tadi aku bertanya, apa kau menyukainya?"

Pun Nara langsung mengangguk dengan cepat. "Iya, mas. Aku suka," jawab Nara.

Rayhan memasukkan kedua telapak tangannya kedalam saku dikedua sisi celana, menatap kamar itu sekilas sebelum berbicara pada mandor.

"Baiklah, selesaikan dengan cepat. Agar minggu depan, saya dan istri saya bisa segera menggunakannya," ucap Rayhan.

Laki-laki itu langsung pergi dan menuruni tangga menuju lantai satu. Sedangkan Nara sedikit bingung, karena dia tidak mendengar ucapan terimakasih pada mandor ini. Astaga, suaminya itu bisa angkuh juga ternyata. Akhirnya, dia menatap sang mandor, dengan penuh rasa hormat, Nara mengucapkan rasa terimakasihnya atas kerja keras mandor dan para pekerja lainnya. Barulah setelah itu dia menyusul Rayhan yang nampak berjalan menuju dapur.

Nara masih berada beberapa meter di belakang tubuh Rayhan. Tak ada yang dilakukannya, selain memperhatikan sang suami yang berjalan menuju balkon kecil didekat dapur. Namun, karena kurang berhati-hati, tangan kiri Rayhan sedikit tergores serpihan kayu.

"Argh," rintih Rayhan yang langsung memeriksa lukanya.

Nara segera berlari ke arah suaminya itu, dia juga ikut memeriksa lukanya. Nara membuka tasnya dan mencari apakah ada plester yang bisa dia gunakan untuk menutup luka suaminya. Sayang, hanya ada tisu didalam tasnya. Alhasil, dia menggunakan tisu untuk membersihkan darahnya. Bukan luka besar, hanya lecet.

Disaat Nara sedamg fokus membersihkan darah, Rayhan berkata, "Aku sengaja membuat balkon kecil ini untukmu. Jadi, ketika kau sedang memasak, kau tetap bisa menghirup udara segar," ucapnya sembari memperhatikan Nara.

"Lain kali, berhati-hatilah," ucap Nara.

Rayhan terdiam dan sadar jika istrinya tidak menanggapi ucapannya tentang balkon kecil ini. Justru Nara malah lebih serius dengan lukanya ini, padahal menurut Rayhan juga bukan luka yang harus dikhawatirkan.

"Maaf, karena tidak ada plester, jadi aku gunakan tisu seperti ini. Tolong mas tahan ya, sampai darahnya benar-benar berhenti,"

Sesuai dengan tuturan istrinya, Rayhan masih memegang tisu itu yang menutupi luka. Keduanya menatap luar rumah, yang sebenarnya adalah taman samping rumah milik mereka. Rayhan merasa jika jiwanya sudah melekat dengan rumah ini, dan dia sudah merasa hidup bersama Nara.

"Mas, rumah dengan banyak kamar seperti ini, memangnya tidak terlalu besar untuk kita?" tanya Nara.

"Tidak," Rayhan berbalik arah dan berjalan meninggalkan dapur. "Suatu saat nanti, keluargamu dan keluargaku akan berkumpul disini," tambahnya.

Selepas satu setengah jam mereka melihat rumah mereka, akhirnya Rayhan mengajak sang istri pergi dari sana. Kali ini, dirinya tidak memberitahu Nara kemana mereka akan pergi.