webnovel

HOT GIRL

Siapa yang tidak kenal dengan Akira Khanzarumi. Perempuan mungil dengan sebutan "Dewi Perang" yang selalu melekat di dalam dirinya. Sebutan itu ia dapatkan sejak memenangkan perlombaan di tingkat nasional. Dan entah sudah ke berapa kali Akira terus memenangkan perlombaan itu hingga munculnya sebutan "Dewi Tidak Terkalahkan" sebelum "Dewi Perang" yang membuat hatinya tergelitik. Saat itu, SMA Aryasatya kedatangan murid baru sekaligus saingan berat Akira. Alvaro Kenzi Aryasatya, namanya. Sesosok yang menggemparkan SMA Aryasatya berkat kakeknya yang ternyata pemilik sekolah. Awalnya Akira pikir laki-laki itu tidak akan mengusik dirinya, tetapi dugaannya salah. Justru semakin hari Alvaro semakin gencar mendekati dirinya. Baik itu di dojo maupun ketika istirahat tiba. Kebetulan Alvaro bukanlah teman seangkatannya, melainkan senior yang tiba-tiba gencar mendekati Akira. Akankah Akira luluh pada seorang laki-laki dengan gelar pemilik dari sekolah itu? Atau inilah jalan cerita hidup Akira yang penuh liku-liku? dan apakah jalan cerita mereka berdua akan berakhir bahagia?

Alexha_6594 · Teen
Not enough ratings
1 Chs

1. Sahabat

"Pagi, Ra."

Sapaan demi sapaan terdengar di sepanjang koridor. Tidak sedikit anak-anak mengenal seorang Akira Khanzarumi. Sesosok perempuan tangguh yang sering mengikuti ajang perlombaan karate baik tingkat antar pelajar maupun nasional. Sebut saja dia "Dewi Perang". Jika ada yang menyebutnya dengan sebutan seperti itu pasti akan membuat Akira tertawa pelan. Bagaimana bisa teman-temannya ini menjuluki dirinya dengan sebutan menyeramkan seperti itu.

Padahal dirinya hanya perempuan biasanya yang sangat mencintai karate. Namun, tidak buruk juga mendapat sebutan seperti itu. Terlebih selama ini dirinya hanya menyebutkan dirinya sebagai Dewi Tak Terkalahkan. Mungkin sebutan Dewi Perang itu tidak buruk.

Akira pun melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu per satu. Pikirannya mengarah pada perlombaan tingkat nasional yang diadakan kurang beberapa minggu lagi. Yang menjadi beban dirinya adalah jika ia sibuk berlatih sendiri, bagaimana nasib muridnya di dojo. Hal tersebut membuat Akira galau setengah mati. Sudah berminggu-minggu ini memikirkan hal ini, namun belum ada solusinya sampai sekarang.

Akira memasuki kelas, terlihat sudah ada segelintir anak yang bertengger manis sambil memegang ponselnya masing-masing, kebiasaan anak di kelasnya jika bel masuk belum berbunyi. Tatapan Akira mengarah pada bangku dekat jendela. Di sana sudah ada Cyra yang melambaikan tangannya sambil tersenyum senang.

"Ra, gue mau cerita!" pekik Cyra antusias.

Belum sempurna Akira mendudukkan dirinya, suara keantusiasan Cyra terdengar jelas. Selalu seperti ini jika Cyra ingin bercerita pasal kekasihnya yang tengah LDR. Sebenarnya bukan kekasih, mereka ini tidak pacaran, tetapi hanya komitmen. Entahlah pikiran mereka memang tidak bisa di tebak.

Akira hanya diam sambil menyimak perkataan Cyra. Sepertinya perempuan modis ini benar-benar sangat bahagia. Terlihat dari celotehannya yang beberapa kali tertawa kecil.

"Kak Luthfi mau pulang. Dia mau nemuin gue, katanya kangen. Rasanya baru kemarin Kak Luthfi lulus dan ninggalin gue. Dia juga sempat bilang 'kenapa gue ketemu lo harus di saat-saat gue pergi, Ra? Seperti mantan-mantan gue sebelumnya. Gue takut kalau lo seperti mereka.' Tapi gue jawab aja, 'mantan lo bukan gue, Kak. Tapi, mereka. Gue ya gue bukan mereka atau pun orang lain.' Berat enggak ya, Ra gue LDR begini?" Perkataan Cyra yang awalnya ceria mendadak murung. Perempuan modis itu nampak menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan kedua tangan di atas meja. Sangat khas Cyra ketika memikirkan sesuatu.

"Jalanin aja, Ra. Gue kan jomlo, jadi lo jangan takut," balas Akira sedikit percaya diri.

Memang setelah kandasnya hubungan Akira dengan Rifqi, kini perempuan mungil itu belum memiliki pasangan hingga tanpa sadar sudah setahun hubungan Akira berakhir dengan seorang laki-laki. Itu pun karena Rifqi disukai salah satu temannya hingga membuat Akira memilih merelakan Rifqi dengan yang lain. Ia tidak mau disangka perebut gebetan teman sendiri. Sedikit naif memang menjadi Akira.

"Tapi, temen-temen gue yang lain kan pada bawa pacar, Ra, terus gue malu kalau mereka nanya kapan tanggal jadian gue," keluh Cyra menundukkan kepalanya murung.

"Jawab aja komitmen. Lagi pula sekarang waktunya serius bukan main-main lagi. Buat apa bikin tanggal kalau ujung-ujungnya putus juga," sahut Akira tidak mau kalah.

Obrolan panas mereka pun harus berakhir, sebab salah satu guru sudah memasuki kelas. Itu artinya bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Namun, saking asyiknya berbincang hingga tanpa sadar Akira melupakan bahwa hari ini ada PR yang harus ia kumpulkan. Melihat beberapa temannya maju ke depan membawa buku tulis, sontak saja Akira kalang kabut.

Dengan tampang memelas Akira maju ke depan. Tentu saja ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya ini. Namun, ia juga membutuhkan toleransi. Sebab, sangat tidak lucu jika dirinya di hukum nanti. Tatapan Akira mengarah pada Cyra. Langsung saja ia merebut buku perempuan modis itu tanpa aba-aba.

Sementara Cyra hanya diam menyaksikan Akira yang tengah menyalin bukunya. Namun, lama-kelamaan banyak anak-anak di kelasnya yang mengumpulkan buku. Dengan berat hati Cyra pun menatap Akira yang terlihat sangat serius menyalin bukunya.

"Ra, anak-anak pada ngumpulin. Gue kumpulin dulu, ya?" pinta Cyra sedikit takut.

Akira yang memang suasana hatinya sejak tadi sudah tidak menentu pun merasa sangat tersinggung dengan ucapan Cyra tadi. Sontak saja, Akira menyerahkan buku Cyra dengan sedikit kasar dan beranjak meninggalkan bangku miliknya sambil membawa buku tugas yang belum diselesaikan tadi. Apapun nasibnya ia akan terima, sedikit banyak dirinya menghasilkan lima baris dalam lima menit. Tidak masalah baginya, karena ini pun sudah lumayan.

Langkah kaki Akira mengarah pada Bu Dias tanpa memperhatikan wajah Cyra yang menatap dirinya sedikit tidak enak. Apalagi kini Akira tengah kesusahan. Namun, masalah nilai Cyra sangatlah egois membuat Akira merasa sangat tersinggung. Padahal jika Cyra sendiri belum mengerjakan tugas dengan lapang dada Akira menyerahkan bukunya, tetapi kali ini Akira sangat marah pada perempuan itu.

"Bu, saya lupa kalau hari ini ada PR. Kemarin sehabis latihan saya pulang langsung dan tertidur. Jadi, saya tidak ada waktu untuk bertanya mengenai tugas kemarin. Tidak apa-apa kan, Bu? Kalau saya menyusul tugasnya nanti sepulang sekolah," kata Akira menatap wajah Bu Dias dengan sesedih mungkin.

"Kenapa tidak mengerjakan tugas?" Tanpa menatap ke arah Akira sedikit pun Bu Dias meresponnya dengan nada yang datar.

Tentu saja Akira tahu guru yang tengah hamil muda itu sangatlah sensi. Jadi, sesantai mungkin ia menjawab, "Kan saya kemarin pulang sore, Bu. Terus mau buka ponsel rasanya tidak kuat. Jadi, selepas kemarin saya bersih-bersih sebentar langsung tidur. Saya baru mengerjakan jam istirahat nanti. Tapi, Ibu tenang aja, saya udah mencatatnya sedikit kemarin, jadi hanya melanjutkan beberapa saja."

Bu Dias hanya diam sambil mengoreksi beberapa buku yang ada di hadapannya tanpa mengindahkan Akira. Ia hanya diam dan membaca sekilas buku milik Akira dan menyerahkannya. Dan tanpa aba-aba, perempuan mungil itu melewati bangku miliknya sambil melempar buku tugas tadi dengan sedikit kasar dan bermuara di bangku belakang milik Devin dan Ken, salah satu teman dekatnya di kelas.

Kedua laki-laki yang awalnya tengah mendadak menatap wajah Akira dengan alis berkerut bingung. Jarang sekali Akira memasang wajah marah sekaligus lesu seperti itu. Padahal Devin sempat melihat perempuan mungil itu nampak ceria.

"Kalian enggak ngerjain tugas?" Akira menatap buku kosong yang ada di genggamannya. Sebuah nama Devin Pandya Andika terukir abstrak di bagian sampul depan yang berwarna coklat.

"Kemarin kan gue di lab seharian," sahut Devin merampas bukunya dan menatap Akira sambil tersenyum lebar.

"Tapi kok, kalian gampang banget. Sedangkan gue harus nangis-nangis dulu sama itu guru." Bibir Akira mengerucut kesal dan mendudukkan diri di tengah-tengah Devin dan Ken. Kedua laki-laki itu nampak tidak terusik dengan keberadaan Akira.

Memang Akira adalah salah satu sahabatnya yang berjenis kelamin perempuan. Menjadi satu-satunya perempuan di persahabatan itu membuat Akira dijadikan seperti putri. Padahal Akira sendirian mempunyai teman yang bernama Cyra. Perempuan modis yang baru saja membuat dirinya kesal. Terbiasa diutamakan membuat Akira kesal dengan perlakuan Cyra.

Tak bisakah perempuan itu mengerti bahwa Akira juga ingin mengerjakan tugas. Namun, saat ini ini memang salah dirinya juga yang tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi, apa salahnya tidak timbal balik. Cyra saja jika tertinggal tugas pasti akan Akira pinjamkan bukunya untuk di salin. Namun, bukan timbal balik yang Akira dapatkan, hanya sebuah perlakuan kasar yang berkedok dengan nama TEMAN.

"Gue punya film baru, Ra. Mau nonton enggak?" Ken tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan menatap Akira sambil menaik-turunkan alis tebalnya.

Mata Akira berbinar kala mendengar sebuah film baru yang ia yakin itu akan menjadi film yang menyenangkan. Apalagi tipe mereka sama, suka action dan horror. Sangat pas jika dilakukan bersama.

"Mana? Mau nonton gue." Akira menggoyangkan tangan Ken.

Sementara Devin nampak tenang dan tidak memperdulikan kedua sahabatnya itu. Karena yang paling dewasa diantara ketiganya hanya Devin. Jika Ken merupakan komplotan Akira, sangat berbeda dengan dirinya yang seperti mengurus bayi-bayi besar. Sama seperti seorang ayah yang menjaga anak-anaknya.

"Oke." Ken mulai mengatur ponselnya agar dapat berdiri tegak. Namun, berkali-kali ponsel itu terjatuh dan membentur meja, tetapi Ken tidak mau menyerah. Dan meraih tas yang entah milik siapa.

Akhirnya Akira mendapatkan posisi yang sangat pas dengan diampit Devin dan Ken. Sangat berani sekali mereka menonton film saat pelajaran berlangsung. Tetapi, Akira yakin. Dari kebanyakan siswa siswi di kelasnya tidak akan mungkin mengerjakan semua, pasti ada saja salah satu siswa yang berakhir di hukum dan kelas menjadi kosong tanpa guru.

Benar saja. Setelah beberapa menit berlangsung dan Bu Dias telah menyelesaikan pekerjaannya yang mengoreksi tugas-tugas. Kini pandangannya mengitari seisi kelas. Terlihat dari beberapa anak menatap Bu Dias takut, termasuk Akira. Ia sadar dirinya tengah duduk di bangku yang bukan miliknya.

"Ngapain itu duduk bertiga di belakang. Akira pindah ke tempat duduk kamu sendiri!" titah Bu Dias dengan suara lantang.

Seketika Akira panik dan berusaha tenang sambil menyelipkan bajunya agar terlihat rapi. Ia lupa bahwa seragamnya ini tidak dimasukkan dengan sengaja. Semoga kali ini Bu Dias tidak benar-benar memperhatian dirinya.

Perlahan Akira bangkit dan meninggalkan bangku milik Devin dan Ken. Ia berusaha berjalan dengan tenang agar bajunya tidak tiba-tiba mencuat keluar. Sejenak dirinya merasa bangku kedua dari pintu itu sangatlah jauh. Padahal tadi ia hanya duduk di bangku nomor lima, tetapi ingin kembali ke bangkunya sendiri saja terasa sangat jauh. Apa karena ia berjalan terlalu pelan?

Setelah mendarat di bangku asli miliknya, Akira tersenyum singkat menatap Bu Dias sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Pura-pura menjadi anak baik. Tanpa menoleh ke arah Cyra yang sejak tadi menatap kedatangan dirinya.

"Yang tidak mengerjakan tugas kemarin Ibu minta kalian keluar!" bentak Bu Dias dengan suara yang amat lantang.

Akira yang sejak tadi tidak memperhatikan pun terjengit kecil. Sambil mengelus-elus dada ia menatap Bu Dias dengan bibir yang bergumam tidak jelas. Ia sungguh kesal dengan bumil ini. Tiada hari tanpa marah jika memasuki kelasnya.

Satu per satu anak-anak kelas Akira meninggalkan bangkunya. Terlihat dari wajah-wajah mereka yang bersungut kesal. Bahkan ada yang terang-terangan mengumpati Bu Dias yang Akira yakin guru itu pasti mendengarnya.

Setelah semuanya keluar, tinggallah segelintir orang yang ada di kelas. Termasuk Akira, Cyra, Devin, Ken, Bima, Anisa, dan Zack. Dan setelah dirasa cukup Bu Dias pun melenggang pergi tanpa memberi tugas apapun di kelas. Tentu hal itu membuat Akira senang bukan main. Dan langsung saja dirinya bangkit dan berlari kecil ke arah bangku milik kedua sahabat laki-lakinya itu.

"Gila. Itu banyak banget tadi," ucap Akira menggebrak meja pelan.

"Kayak lo enggak tahu aja anak kelas kita gimana. Yang rajin kan cuma Anisa sana Cyra. Lah yang lain?" sahut Ken sambil tertawa pelan.

Devin menoyor kepala Ken sambil menjawab, "Masih untung lo tadi gue bilangin. Kalau enggak mungkin lo udah bernasib sama seperti mereka."

Melihat Ken hendak membalas ucapan Devin, Akira langsung mengkodenya untuk diam. Dengan jari telunjuk yang berada di depan wajah Ken. "Jadi nonton enggak, nih?"

"Oh ya, jadi dong." Bagai diaba-aba Devin dan Ken mengucapkannya berbarengan. Dan memposisikan diri dengan kompak. Sama-sama menghadapan ke depan.

Sementara Akira hanya menggeleng pelan dan berusaha masuk ke dalam bangku, tanpa permisi pada Devin. Ia masuk dengan paksa membuat Devin menatap punggung mungil itu datar. Aroma parfum teh milik Akira tercium hingga ke hidungnya. Sama seperti beberapa tahun yang lalu. Akira gemar sekali memakai parfum pemberian darinya.