42 Fight for Love

Alva melakukan segala kegiatan yang bisa meredakan amarahnya. Pria itu pergi ke gym, berolahraga sepanjang hari. Ia mengangkat barbel besi dengan kedua tangannya, memainkan itu seolah yang ia bawa hanyalah dua buah bantal ringan. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya, namun ia tak peduli. Karena jika Alva berhenti, maka ia akan mengingat kenyataan bahwa gadis yang ia cintai, tidak mencintainya.

Richard Shelton menghela nafas panjang. Sudah hampir 3 jam, Alva sama sekali tidak berhenti dengan permainan mengangkat barbel itu. Alva tidak makan, dia bahkan juga tidak minum. Pria itu tidak berangkat kuliah. Dia hanya berpaku pada segala benda di gym, sejak Richard berangkat ke kampus hingga ia pulang, begitu seterusnya selama tiga hari terakhir. Hal itu membuat Richard tak tahan lagi. Pria itu menepuk bahu Alva dan mengambil alih kedua barbel di tangan Alva, "You are done with this, Alva."

Alva tidak mau. Pria itu mencoba merebut barbel di tangan Richard, membuat pria itu mengerang seraya membuang barbel itu jauh-jauh, "What the hell, Shelton?!" Richard menatap tajam Alva, "Sudah tiga hari kau melakukan hal ini. Kau tidak makan, kau tidak minum, tapi kau membiarkan tubuhmu bekerja keras. Kau bisa mati, Alva!"

"Lalu apa? Jika aku tidak melakukannya, aku juga mati!!" Bentak Alva. Pria itu mengambil kasar handuknya dan mengusapkannya di wajahnya yang sudah penuh keringat. Alva terduduk di lantai gym, menenggelamkan wajahnya ke lutut yang sengaja ia tekuk.

Richard menatap pria itu prihatin. ia terduduk di sebelah Alva dan mengelus bahu pria itu, "Kau mau ke club? Kita ke club mahal yang kau sukai. Kita bisa minum alkohol termahal dan menyewa stripdancer terseksi yang pernah ada. Aku bisa mengaturnya. Tapi kau, berhenti menyiksa dirimu sendiri. Alva merasakan dadanya yang sesak. Pria itu lagi-lagi menangis. Lihat, jika ia berhenti berolahraga, maka semua rasa sakit akan datang dan menyiksanya.

"Aku tidak bisa mabuk,"ucap Alva. Pria itu menjambak rambutnya frustasi.

"Kenapa? Kenapa kau tidak bisa? Demi Tuhan, aku benci melihatmu yang seperti ini. Apa bedanya dengan minum alkohol? Setidaknya, kau tidak akan menyiksa dirimu sendiri dengan kelakuan bodohmu ini!!" Alva menangis, dadanya begitu sakit, "Aku tidak bisa mabuk. Aku ... Aku takut, aku bisa saja menyakitinya .." Richard terdiam. Pria itu mengerjapkan matanya demi menyakinkan diri bahwa sosok di sebelahnya adalah Alva Marteen. Dan, ya, dia adalah Alva Marteen. Alva Marteen yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Alva yang, rela menyiksa dirinya hanya untuk melindungi orang lain.

"Kau benar-benar mencintainya, Alva"

Richard mendesah kecil dan memeluk pria itu secara jantan. Dan saat itu, Alva tak lagi bisa membendung rasa sakitnya, " Aku benar-benar mencintainya, Richard." pria berambut pirang itu sama sekali tidak menyangka. Baginya, Alva hanya main-main dengan Olivia. Terbukti dari bagaimana pria itu menyakiti Oliv kala itu. Kemudian, melihat seberapa besar penyesalan Alva, dan bagaimana cara pria itu meminta maaf, Richard hanya berpikir bahwa Alva merasa bersalah. Perasaan manusiawi yang datang pada diri seseorang setelah seseorang itu menyakiti orang lain.

Tapi jika sudah begini. Jika melihat kehancuran Alva. Bagaimana mungkin Richard tidak percaya bahwa Alva benar-benar mencintai gadis yang sudah menolak cinta Alva, itu?

Richard menoleh ke arah pintu ruang gym, melihat sosok gadis Asia yang memang sengaja ia hubungi, sudah berdiri di sana dengan pandangan sedih. Richard memberikan kode pada gadis itu untuk menunggu di luar, "Dude, makanlah spaghetty yang sudahku pesan untukmu. Aku ada urusan sebentar." Richard menepuk pelan bahu Alva, kemudian mengeluari ruangan gym. Pria itu tersenyum kecil pada gadis yang menunggunya, kemudian mengajak gadis itu untuk duduk.

"Kau lihat betapa hancurnya dia?" ucap Richard tanpa basa basi, "Maaf jika mengganggu waktumu. Tapi jika aku membiarkannya, dia akan benar benar hancur." Gadis itu menarik nafas, "Aku tidak tahu jika dia benar benar mencintai ..." Richard mengangguk, "Aku juga tidak tahu jika dia serius. Jika kau ingin tahu. Selama ini, Alva tidak pernah serius dengan wanita. Dia hanya bermain-main di atas kesenangannya. Tapi, dia tidak bisa untuk tidak serius saat ini. Gadis itu benar-benar membuat Alva jatuh cinta. Gadis itu adalah gadis pertama yang Alva benar benar cintai."

Gadis di hadapannya kembali memghela nafas seraya menundukkan kepalanya.

"Bella, Olivia adalah sahabatmu." ucap Richard. Pria itu menatap Bella dalam, "Dia akan memperhatikan ucapanmu." Bella mendongak dan menggeleng, "Tidak, Richard. Aku tidak bisa." Richard menarik nafas, "Alva adalah sahabat terbaikku, dia memiliki arti seperti arti seorang Olivia untukmu. Aku ingin yang terbaik untuknya, tolong, mengertilah." Bella menggeleng kepalanya kembali, "Maafkan aku, Richard."

"Kau yidak harus memaksa Oliv, tapi, kau bisa memberitahunya secara perlahan. Ku mohon, Bella. Aku benar benar benci melihatnya seperti itu."

"Aku tidak mungkin melakukannya. Aku tidak bisa!! Hal ini tidak semudah yang kau bayangkan, Richard!!" Richard menatap Bella tak percaya, "Come on, apa masalahnya hingga tidak semudah itu?!"

'Karena Olivia sudah dimiliki oleh ayah Alva. Karena Olivia sudah jatuh cinta pada ayah Alva. Itulah masalahnya!!'

"Kau tidak akan.mau mengerti. Kau tidak akan mau mendengar ataupun mempercayainya." ucap Bella. Gadis itu beranjak dari duduknya, kemudian menghampiri sosok Alva yang masih terduduk dengan kepala yang ditundukkan. Ia tersenyum, kemudian menyentuh bahu Alva, "Alva!!"

Pria itu mendongakkan kepalanya, menatap sosok gadis Asia yang sedang tersenyum lebar itu dan berkata, "Oh, hai Bella. Kenapa kau ada di sini?" Bella tahu pertanyaan tersirat dari itu.

'Kenapa kau ada di sini? Kenapa tidak bersama Olivia? Bagaimana keadaan Olivia? Apakah gadis itu bahagia atau sedang menyesal karena melepaskanku?'

"Wah, ada makanan di meja!! Apa aku boleh memakannya?!" Bella mengabaikan pertanyaan Alva seraya mengambil spaghetty yang Richard berikan untuk Alva.

"Makanlah, aku tidak selera." ucap Alva datar. Membuat Bella duduk di sebelah Alva dan membuka bungkus spaghetty tersebut, "Kau tampan. Kau bisa mendapatkan gadis manapun yang kau mau." Bella menyahut, membuat Alva tampak tertawa, meremehkan dirinya sendiri, "Gadis yang ku mau hanya satu, dan dia sama sekali tidak memperhatikan keberadaanku." balas Alva. Bella tersenyum, "Bagaimana rasanya, sakit?" Alva menghela nafas, "Jika aku bilang rasanya biasa saja, artinya aku bohong."

"Mungkin, itulah yang gadis gadis rasakan ketika tidak bisa mendapatkanmu." Alva tersenyum. Selama ini, dia mempermainkan mereka, tanpa mau peduli dengan perasaan apa yang mereka rasakan. Alva tidak tahu, bahwa diabaikan, rasanya bisa sesakit ini, "Mungkin roda memang sedang berputar," tawa alva getir.

"Aku sering membaca, bahwa pria sejati itu punya satu ciri penting." ucap Bella seraya mengambil spaghetty dengan garpu. Alva masih terdiam, hingga Bella kembali menyahut, "Jika dia kehilangan sesuatu, dia akan berjuang." Kini, Alva tertarik. Pria itu menatap Bella yang sedang menatapnya dengan tersenyum, "Daripada terlarut dalam kesedihan, dia akan berjuang. Entah untuk menemukan.kembali sesuatu yang hilang, atau menemukan kembali sesuatu baru yang lebih baik." Alva tertegun. Kata kata Bella benar benar menohok dadanya. Namun, dia juga tahu bahwa Bella berkata benar.

Daripada dia meratapi Olivia, seperti bayi yang menangis karena mainanya hilang, mengapa dia tidak bangkit untuk menemukannya? Layaknya seorang pria sejati yang harus terus berjuang. Pria itu kini bisa tersenyum. Dia melihat Bella yang hendak memakan spaghetty-nya, membuatnya dengan cekatan menahan lengan Bella, kemudian mengarahkan suapan Bella ke mulutnya, "Alva!!" Bella mendengus, "Katanya kau tidak selera makan?!" Alva tersenyum dan memeluk.tubuh Bella, membuat mata Bella membulat, "Demi Tuhan!! Kau penuh keringat dan aku baru saja selesai mandi!!"

Alva tidak peduli, dia justru berkata, "Aku tidak tahu. Aku sungguh lapar. Terima kasih sudah membuatku lapar."

"Kalau kau tidak tampan, aku sudah menendangmu ke lautan!!" Alva tertawa seraya mengeratkan pelukannya ke tubuh kecil Bella, "Mana mungkin tubuh kecilmu menendangku ke lautan? Dasar, pecinta cogan!!" Alva tertawa, membuat Bella terus mengomel minta dilepaskan. Namun, perlahan, senyuman tipos terbentuk di balik omelannya.

❤❤❤❤❤

"Ya Tuhan!!" Oliv tersentak ketika lengan kekar melingkar di pinggangnya.

"Good evening, lovely little girl!!" si pemilik lengan tampak mencium pipinya dari belakang, membuat Oliv memutar bola matanya serayaterus melakukan pekerjaannya untuk mencuci piring, "Daddy, kau tahu?" ucap Oliv, membuat Jonathan lagi-lagi mencium pipi gadis itu, "What?"

"Patricia sedang menjemur pakaian, jadi .." Oliv membersihkan tangannya sebelum mematikan kran dan membalikkan tubuhnya untuk menatap langsing pria tampan itu, "Menyingkir dari tubuhku sekarang juga!" Oliv mendorong dada bidang Jonathan, namun pria itu tidak bergerak. Pria itu justru mengeratkan lengannya untuk memeluk pinggang Oliv, kemudian mencium bibirnya kilat, "Jadi, kau pikir aku peduli?" wajah Oliv memerah, "Pergilah, daddy! Ya ampun, pria tua ini!"

Jonathan lagi-lagi tidak mengindahkan ucapan Oliv. Pria itu justru mengangkat bokong Oliv dan meletakkannya di atas meja dapur, "Aku tidak mau, bagaimana?" dia tersenyum sekilas, kemudian melumat bibir Oliv dalam, membuat gadis itu akhirnya mengalungkan lengannya di leher Jonathan, "Aku merindukan kekasihku." Bisik Jonathan, menggigit kecil telinga gadis itu, "Ya ampun, baru setengah hari tidak bertemu." Oliv terkekeh seraya mengecup hidung Jonathan, "Bagaimana harimu? Apa kau marah-marah lagi? Aku heran kenapa wajahmu masih awet muda padahal kau suka marah-marah."

Jonathan tertawa mendengar celotehan Oliv. Pria itu kembali mencium bibir Oliv, "Cukup melelahkan. Terlalu banyak pekerjaan, bahkan untuk malam ini."

"Aku bisa memijatmu. Kau mau?" tawar Oliv seraya menciym bibir Jonathan, membuat alis pria itu terangkat, "Memangnya kau bisa?"

"Tentu saja! Aku sering memijat," ucapan Oliv terhenti, kemudian ia meringis, "Tidak jadi."

"Siapa yang sering kau pijat?!" ucap Jonathan kesal. Oliv menggeleng. Mana mungkin dia menyebutkan nama mantan kekasihnya yang dulu adalah seorang atlit tampan. Jadi, ketika dia selesai bertanding, Oliv akan memijatnya dengan senang hati. Ya ampun, wajah Oliv memerah!!.

"Siapa? Andre? Dimas? Dirga? Radith? Atau ... si bajingan Aldo?! Lihat! Wajahmu memerah! Kau pasti sedang mengingat kejadian itu!!" Jonathan tampak menyebutkan nama-nama pria yang pernah Oliv ceritakan, membuat gadia itu membuka mulutnya tak percaya, "Demi Tuhan, kau mengingat semuanya?!"

"Bagaimana aku bisa melupakan pria-pria mata keranjang yang hanya mau tubuhmu?" Jonathan mendengus, "Jadi ... benar? Ya Tuhan, Olivia! Bagaimana kau bisa memijit tubuh mereka padahal kau tahu mereka bisa saja memanfaatkanmu?!" Olivia masih menatap Jonathan tak percaya, "Hah? Apa?" Jonathan melepas pelukannya dari pinggang Olivia kemudian duduk di sebuah kursi, "Jangan mendekatiku. Aku sedang kesal padamu."

Oliv tertawa kecil. Gadis itu melompat dari meja dapur dan memeluk tubuh Jonathan sambil berdiri, "Bukan mereka. Namanya Farrel." Jonathan mendongak untuk menatap wajah Oliv, "Who the hell is Farrel?!" Oliv memutar matanya, "Daddy! Aku bukan gadis yang tidak pandai bergauk. Tentu saja dia mantan kekasihku!!"

"Oh, kau terdengar begitu bangga ketika menyebut namanya!!" ucap Jonathan kesal. Oliv menunduk untuk melihat wajah Jonathan yang cemberut, membuat gadis itu tertawa kecil. Ya Tuhan, Jonathan bahkan sudah terlalu tua untuk cemburu seperti anak muda.

"Bagaimana bisa aku tidak bangga? Dia itu atlit provinsi. Kulitnya coklat eksotis, tetapi dia sangat manis. Belum lagi bentuk tubuhnya yang seksi. Membuatku tidak pernah bosan untuk memijatnya." ucap Oliv jahil, membuat Jonathan yang ada di pelukannya tampak menatap gadis itu kesal, "Kembali saja padanya! Kenapa harus ada di depanku?!"

"Ah. Itu menyakitkan! Baiklah, aku akan mengurus kepindahanku ke Indonesia besok!" Oliv tersenyum kecil, tapi tidak mau melepaskan pelukannya pada kepala Jonathan.

"Olivia!!" Jonathan kesal. Pria itu berdiri untuk meninggalkan dapur ketika Oliv berjinjit untuk mencium bibir pria itu, "Ah, aku lupa jika kekasihku mudah cemburu!"

Jonathan melengos kesal, "Kau hanya ingat mantan kekasihmu yang menggoda itu, iya?!" Oliv tertawa, "Jika dia semenggoda itu, aku sudah tidak perawan dari dulu." Jonathan melotot, "Aku akan memelukmu erat-erat hingga kau mati jehabisan nafas jika itu terjadi!!" Oliv tertawa lagi. Gadis itu memeluk pinggang kekar Jonathan yang masih berbalut jas kerja, "Lihat. Kau sangat kekanak-kanakan, tapi aku mencintaimu." Dan hanya dengan mendengar itu, segala kekesalan Jonathan mendadak hilang Pria itu kembali duduk dan membawa Oliv dalam pangkuannya, "Katakan lagi?"

"Aku mencintaimu," Jonathan semakin tersenyum, "Lagi?"

"Aku sangaaaatttttt mencintaimu."

"Lagi?" Oliv berdecak, "Apa aku harus merekamnya sehingga kau bisa mendengarnya setiap hari?" Jonathan tertawa, "Ide bagus!" Kemudian, mereka berciuman.

"Daddy! I am home!"

Teriakan Alva membuat mereka berdua tersentak. Oliv segera melepaskan ciumannya dan berdiri seraya merapika bajunya yang sedikit berantakan, "Alva. Itu Alva!" Jonathan mengangguk. Pria itu sudah tidak sabar untuk bertanya macam-macam kepada Alva ketika Oliv menahan lengannya, "Jangan bertanya apapun!" Jonathan melotot, "What?!" Oliv menggeleng, "Ku bilang, jangan menanyainya apapun!"

"Aku tidak bisa. Aku harus tanya kenapa dia tidak pulang, dan dia harus membolos kuliah selama tiga hari. Demi Tuhan, dia membolos!"

Oliv menatap kesal pada Jonathan, "Jika kau mengucapkan satu saja kata tanya, aku bersumpah kita tidak akan berciuman selama satu minggu penuh." Mata Jonathan kembali membulat, "Apa-apaan itu?!" Oliv menatap pria itu sebelum melengos pergi, "Kau harus menyambutnya dengan hangat. Dia begini juga karena kau yang membuatku jatuh cinta!" Meninggalkan Jonathan yang masih tidak percaya bahwa dia bisa jatuh cinta apada gadis aneh ini.

"Good evening, Oliv" Alva tersenyum lebar ketika berpapasan dengan Oliv, membuat gadis itu menatapnya tak percaya. Terakhir kali, Alva menatapnya dengan tatapan sakit. Namun, lihat? Dia bahkan tersenyum lebar!

"Oh, hai. Alva. Kau habis darimana?" tanya Oliv berbasa-basi.

"Aku? Dari gym. By the way, daddy mana? Mobilnya sudah ada di depan." Oliv mengangguk, "Dia ada di dapur. Apa kau sudah makan?" Alva tampak berpikir, "Sudah, sih. Tapi hanya spaghetty. Dan aku rindu dengan masakan Patricia." Oliv berkata, "Ah, tapi Patricia tidak memasak hari ini. Aku yang memasak."

Mata Alva berbinar-binar, "Kau? Kau yang memasak? Wah, aku sangat suka masakanmu! Apa kau membuat gado-gado seperti waktu itu lagi?" Oliv menatap Alva tak percaya. Demi Tuhan, pria ini benar benar diluar bayangan Oliv. Oliv pikir, akan sangat sulit untuk kembali akrab dengan Alva. Tapi, lihat?

"Tid, tidak. Masakan Indonesia yang lain." ucap Oliv masih bingung dengan sikap Alva, "Bagus, ayo!" ucap Alva. Pria itu mengalungkan lengannya di leher Oliv, membuat gadis itu menegang, "Alva, aku," Melihat oliv yang tidak nyaman, Alva tersenyum, "Kita masih sahabat, kan?"

Ucapan Alva membuat Oliv tersenyum lega dan mengangguk. Setelah itu, mereka berdua berjalan menuju meja makan. Tempat dimana Jonathan sedang melotot melihat Alva yang tengah merangkul kekasihnya.

"Hai, daddy!" Alva melambaikan tangannya, membuat Jonathan berdehem, "Selamat datang kembali, son." Alva mengangguk seraya menatap makanan di atas meja dengan mata berbinar, "Apa ini?" Oliv tersenyum, "Ini semur ayam kecap. Daripada kau makan ayam goreng McD terus menerus, coba rasakan ayam kecap buatanku."

Alva mengangguk. Dengan cekatan mengambil piring dan menuangkan ayam kecap itu di atas piringnya. Alva menggigitnya sedikit, kemudian menatap Oliv tak percaya, "Seriously?! Ini sungguh lezat!!" Olivia tersenyum kecil, "Kau menyukainya?!" Alva mencubit pipi Oliv, "Apa kau bercanda? Tentu saja aku menyukainya!" Jonathan mendelik. Pria itu hampir saja berteriak kesal ketika Oliv tampak mengisyaratkan pria itu untuk tenang.

"Oliv, nanti malam, kau free?" tanya Alva seraya memakan ayam kecapnya, "Tidak. Dia dapat banyak tugas dariku. Dan harus dikumpulkan besok jam 6 pagi." ucap Jonathan datar, membuat Oliv menatap cepat ke arahnya. Demi Tuhan, sejak kapan dia dapat tugas dari Jonathan?

"Oh sayang sekali, aku ingin mengajakmu jalan jalan. Ku pikir, kita butuh berbicara." Oliv setuju. Dia memang harus membicarakannya lebih lanjut dengan Alva. Terakhir, dia meninggalkan Alva begitu saja karena khawatir dengan Jonathan.

"Baiklah, kita bisa pergi." Jonathan kini menatapnya tak Terima, "Olivia!"

"Tenang saja, Mr. Marteen yang terhormat. Aku sudah menyelesaikan semua tugas tugasmu," Bella tersenyum, membuat Jonathan mendelik kesal ke arahnya.

"Dad, berbanggalah, kau punya mahasiswa serajin dia." Alva terkekeh, namun Jonathan justru menatapnya kaku, "Baiklah. Daddy akan ikut."

Olivia menatapnya tak terima. Jika Jonathan ikut, bagaimana bisa ia berbicara dengan Alva?!

"Kau bilang, kau punya banyak pekerjaan?" Ucap Oliv, lagi lagi membuat Jonathan menatapnya tak terima, "Tidak ada, aku free!" ucap Jonathan. Alva menggeleng, "Dad, ini urusan anak muda. Kau di rumah saja, okey?"

Olivia hampir tertawa melihat wajah Jonathan yang memerah. Oh, pria itu pasti sangat kesal. Dia akhirnya menyahut, "Aku akan mengajak Bella. Tidak apa apa, kan?" Alva menggangguk seraya melanjutkan makannya, "Tidak masalah." Mendengar itu, Jonathan bernafas lega. Setidaknya, Alva tidak hanya pergi berdua dengan Olivia. Pria itu menatap kecil Oliv yang tampak mengerlingkan matanya dan memberikan ciuman jarak jauh, membuat Jonathan memasang senyum tipis melihat tingkah gadisnya.

avataravatar
Next chapter