webnovel

Backstreet

"Olivia!!!" Oliv baru saja keluar dari kamarnya ketika menatap sosok gadis Asia yang sangat ia kenal sudah ada di ruang makan bersama Alva. Membuat mata Oliv berbinar-binar.

"My sexy Bella!!" Oliv berteriak seraya memeluk gadis dalam balutan blue top dan celana lagging hitam itu.

"Idih! Lama banget sih. Gue nungguin lo udah dari tadi. Eh gapapa ding, selama nunggunya sama cogan, siapa sih yang nolak." Bella terkekeh, membuat Oliv menjitak kepalanya pelan, "Cogan mulu, cogan mulu."

"Anjir! Hawtie daddy anjir. Ya lord gue sesek nafas, gue sesek nafas!" pandangan Bella beralih pada sosok Jonathan yang sudah rapi dengan setelan jasnya. Pria itu tersenyum ke arah Bella dan mengerling jahil, "Good morning, Bella. Long time no see." Wajah Bella memerah. Gadis itu mengipasi dirinya dengan telapak tangannya sendiri dan menatap Oliv sepenuhnya, "Anjir, Liv! Gue dikedipin sama hot daddy anjir, oksigen mana oksigen!" Oliv mendadak kesal dengan sahabatnya ini. Ia mendengus seraya meminumkan segelas air putih padanya, "Minum tuh hot daddy!" Gadis itu menatap kesal ke arah Jonathan, "Lagian ini om-om udah tua genit banget coba! Ngeselin banget lo!"

Jonathan menatapnya bingung, "What?"

"Aduh cemburu dia." ucap Bella seraya terkikik. Gadis itu memberi kode kepada Jonathan lewat bisikannya, "She is jealous." Oliv langsung menjitak kepala Bella kesal. Ya ampun. Harus sesabar apa dia menghadapi sahabatnya yang gila ini?

Mengerti itu, Jonathan tertawa. Pria itu memilih untuk duduk di sebelah Okiv. Menyempatkan diri untuk berbisik padanya, "My sexy Oliv is jealous, hah?" Oliv menginjak kaki Jonathan. Membuat pria itu menahan teriakannya.

"Aku pergi." Alva yang sejak tadi terdiam, mendadak beranjak dari tempat duduknya. Sejenak, ia menatap Oliv dengan mata yang tersakiti, kemudian pergi meninggalkan meja makan. Menyisakan Oliv yang tampak menatap pria itu nanar.

"What's wrong with him? Dia masih baik-baik saja sebelum kau datang?" Bella menatap Oliv dengan pandangan menyelidik, membuat Oliv menarik nafas dan menundukkan kepalanya.

Melihat itu, Jonathan berusaha mengalihkan pertanyaan Bella, "Bella, kau ada acara apa hingga datang ke New York?"

Bella mendengus, "Sok akrab banget sih lo. Lo nggak inget abis ngeblock skype gue apa? kalo elo nggak se-hot ini, udah gue tendang pake high heels dari tadi." Jonathan tampak menatap gadis itu bingung, "What?"

Bella tersenyum, "Aku bilang, kau kebih tampan dan seksi dari apa yang pernah ku lihat di layar laptop." Jonathan tertawa, "Kau juga lebih panas dari yang terbayangkan."

Wajah Bella memerah. Berbeda dengan Oliv yang lagi-lagi menginjak kaki Jonathan keras-keras, "Don't you dare. To flirt. With my fucking best friend!"

"I am okey with that, Oliv." Bella mengerling, membuat Jonathan tertawa, semakin gencar menggoda Oliv, "See? She is okey with me." Oliv melotot kesal, "She is okey, but I am not fucking okey!"

Jonathan kembali tertawa seraya mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai. Membuat Oliv marah dengan godaan kecil darinya seolah menjadi hiburan tersendiri buatnya.

"Wait. Aku melihat ada sesuatu pada kalian." Bella menatap aneh mereka berdua. Jonathan yang menggoda Oliv, dan Oliv yang terlihat marah karena itu. Semua hal ini menandakan sesuatu telah terjadi di antara mereka, kan?

"Nope. There's nothing happen." Jonathan tersenyum dan menggigit rotinya, "Anyway, kau belum menjawab pertanyaanku. Kau disini sedang apa? Liburan?"

Bella tertawa, "Merayakan ulang tahunnya." Jonathan menatap Oliv sejenak, "Kau tidak bercerita bahwa kau pergi dengan Bella?" Oliv tersenyum jahil, "Siapa yang bilang aku pergi dengan Bella? Aku pergi dengan Alva."

"Oh, shit." Jonathan mendengus seraya meletakkan rotinya. Membuat Oliv tertawa seraya mengambil roti Jonathan dan menyuapkannya kembali ke arah Jonathan, "Aku pergi dengan Alva, Bella, Richard, dan teman-teman Alva lainnya ke panti asuhan, daddy. Come on. Makan sekarang." Jonathan tersenyum seraya memakan roti yang Oliv suapkan. Membuat Bella tampak menatapnya tak percaya, "Hey, hey. Apakah aku tidak terlihat?" Jonathan dan Oliv tampak menatap Bella bersamaan, kemudian berkata, "Tidak ada yang terjadi di antara kami!"

"What?" Bella menatap mereka tak percaya, "Kalian justru memaksaku untuk berprasangka buruk." Mereka berdua terdiam. Bahkan, Oliv berusaha mengabaikan tatapan menyelidik Bella dengan mengoleskan selai di rotinya.

"Jonathan?" tanya Bella, namun Jonathan tampak mengabaikannya seraya memakan roti selainya.

"Olivia?" Oliv sedikit tersentak, namun memilih untuk segera memakan roti selainya pula, berpura-pura tidak mendengar panggilan Bella.

"Come on, guys!" desah Bella kesal. Namun, gadis itu berhenti memojokkan Oliv dan Jonathan ketika panggilan telepon masuk di ponselnya. Dengan segera, Bella mengalihkan tubuhnya, ke samping seraya berbicara, "Hallo, papa?"

Oliv menghela nafas lega, membuat Jonathan melirik dan tersenyum geli. Jonathan menarik wajah Oliv dan mencium bibir gadis itu, membuat Oliv mendelik tidak percaya. Gadis itu menatap Jonathan dengan kesal seraya berbisik, "Apa kau gila? Dua bisa melihat kita!!" Jonathan terkekeh geli dan balik berbisik, "Dia tidak akan melihatnya, dia sedang telepon!" Oliv merasakan tangan Jonathan yang menariknya, kemudian kembali melumat bibirnya, membuat jantung Oliv berdetak kencang seraya sesekali menatap Bella yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Aku sangat merindukan bibir tipismu," bisik Jonathan, kembali melumat bibir Oliv. Gadis itu terus berusaha melepaskan tautan bibir Jonathan di bibirnya. Hingga tiba-tiba Bella berbalik arah ke arah mereka. Membuat mereka berdua tersentak, dan Jonathan dengan segera melepas ciumannya.

"Nah! Nah!" Bella menunjuk Oliv dan Jonathan bergantian, membuat mereka berdua tampak meneguk ludahnya. Bella memang gila. Dia masih berpura-pura bicara dengan ayahnya, padahal sambungan sudah terputus satu menit yang lalu.

"Kalian berdua?!" Bella hampir saja berteriak ketika Oliv dengan segera membungkam mulut gadis itu dengan tangannya, "Ah, daddy. Bukankah aku akan ada jam setelah ini? Cepat pergilah!" Jonathan mengangguk dan meminum segelas air sebelum akhirnya pergi dari hadapan Oliv dan Bella.

Sepeninggalan Jonathan, Oliv segera melepaskan bekapannya dari mulut Bella. Dan dalam sekejap, gadis itu mengubah pandangannya dengan pandangan 'Lo-harus-jelasin-sejelas-jelasnya-ke-gue-titik.' Membuat Oliv beranjak dari duduknya, "Ke kamar gue aja yuk, ga enak ada Patricia" Oliv berjalan menuju kamarnya, diikuti dengan Bella di belakangnya. Setelah sampai dan menutup pintu kamar, Bella segera mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi muncul di benaknya, "Lo. Lo ada apaan sama Jonathan? Lo pacaran sama dia? Lo gila? Alva mau dikemanain? Lo apain Alva? Anjir, serius lo jadian sama Jonathan? Sumpah, lo ada apa sama dia? Gue jelas-jelas ngeliat dia nyipok elo!"

Oliv memijat kepalanya mendengar suara cempreng Bella. Dengan sakartis Oliv menyahut, "Udah? Butuh minum nggak?"

"Gue nggak mau tahu! Lo harus ceritain detail ke gue!!" Oliv menarik nafas panjang dan mengangguk kecil, "Bener. Gue pacaran sama Jonathan." Mulut Brlla terbuka dengan sempurna. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali seraya menatap Oliv tidak percaya," Lo. Lo serius? Anjir, lo gila, Oliv?! For God's shake! Dia 20 tahunan lebih tua dari elo, Liv! Dan parahnya lagi, dia bokapnya Alva! Pikiran lo ada dimana,sih?!"

Ya, meskipun Bella kerap bercanda tentang hubungan Oliv dan Jonathan. Fakta bahwa Jonathan lebih cocok jadi ayah Oliv masih mengganggu Bella. Gadis itu sama sekali tidak pernah berfikir bahwa Oliv akan benar benar berpacaran dengan duda hot itu.

"Terus gue harus gimana? Gue cinta sama Jonathan. Gue cinta banget sampe rasanya gue ga perduli meskipun seluruh dunia menolak hubungan kami." Oliv menundukkan kepalanya, membuat Bella tampak merasa bersalah. Gadis itu meraih kepala Oliv, kemudian memeluk sahabatnya, "Bukan itu maksud gue, Oliv. Gue dukung lo sama siapa aja. But, be a realistic, Oliv. Dia itu ... Well, gue rahu dia hot banget, ngalah-ngalahin Cristiano Ronaldo. Tapi, masih banyak yang lebih hot di luar sana, Liv. Dan yang pasti, sesuai buat lo."

"Bel, lo nggak ngerti." Oliv mendesah, "Gue cinta sama dia nggak sekedar gara gara dia lebih seksi dari Criatiano Ronaldo. Gue bener bener cinta sama Jonathan." Brlla menarik nafas panjang, "Terus Alva gimana? Lo mau apain? Dia pasti bakal sakit hati kalo tau lo jafian sama bokapnya sendiri. Padahal, dari pandangan matanya juga gue tahu kalo dia cinta banget sama elo." Oliv menarik nafas panjang, kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Rasanya, Oliv benar benar ingin kabur bersama Jonathan ke belahan bumi yang tidak bisa ditemukan siapapun. Sehingga, mereka bisa hidup bahagia tanpa harus memikirkan apapun.

"Emang gue salah ya kalo gue jatuh cinta sama orang yang umurnya dua kali umur gue? Emang gue salah ya kalo gue jatuh cinta sama bokapnya mantan pacar gue? Emang gue salah ya kalo gue cinta sama Jonathan?" ucap Oliv bertubi-tubi. Gadis itu menghela nafas panjang, "Gue kan juga nggak bisa milih harus jatuh cinta ke siapa, Bel."

"Oliv."

"Tapi, kalaupun gue bisa milih, gue bakalan tetep milih jatuh cinta ke Jonathan."

"Lo serius ya, Liv? Lo serius cinta sama Jonathan?" Oliv menatap Bella dalam, "Gimana gue nggak serius, Bel? Gue bahkan menyerahkan keperawanan gue ke Jonathan." Mata Bella membulat tak percaya, "What, Oliv?!" Oliv mengangguk, "Gue benar benar cinta sama Jonathan. Kalian mungkun berpikir gue bodoh. Tapi, kalo lo ngerasain apa yang gue rasain. Kalo lo nemu orang yang kayak Jonathan di hidup lo. Lo bakal ngelakuin hal yang sama. Gue bisa jamin itu."

Bella akhirnya tersenyum, "Gue bukannya nggak setuju elo sama Jonathan , Liv. Sebagai sahabat Lo, gue bakal dukung apapun keputusan yang lo ambil. Gue cuma takut lo salah ambil keputusan, dan bakal menyesali itu nanti. Itu yanh gue takitin, Liv." Oliv menatap Bella dalam, "Lo tau nggak kenapa gue cinta sama Jonathan?"

Bella terdiam.

"Gue putus sama Alva karena suatu kejadian." Oliv menarik nafas panjang, "Kejadian yang bikin semua luka gur kebuka lebar. Kejadian yang bikin gue pengen mati. Kejadian yang bikin gue benci sama diri gue sendiri. Gue ngerasa hina. Gue ngerasa jadi cewej murahan. Gue, gue bener bener benci ngelihat diri gue yang menjijikkan." Oliv menangis. Namun, gadis itu kembali menatap mata Bella srmakin dalam, "Dan, Jonathan ..." Oliv menarik nafas sejenak, "He loved me when I couldn't even love my self."

Bella tersenyum dan memeluk tubuh Oliv erat. Setidaknya, gadis iti bisa bernafas lega, mengetahui sahabatnya sudah berada di tangan pria yang tepat. Pria yang mampu menopangnya meski seluruh dunia mencoba menjatuhkannya, "Gue nggak tahu, sahabat gue yang satu ini udah bener bener dewasa. Udah bisa bikin anak. Nggal sia-sia gue selalu mesum di depan elo." Bella mencoba melawak, membuat Oliv menghapus air matanya dan menjitak kepala Bella lagi. Gadis itu tersenyum, "Gue bakal dukung elo, Liv. Gue sepenuhnya dukung kalian berdua."

Oliv mengangguk dan memeluk Bella sekilas, "Makasih ya, Bel. Elo sahabat gue yang paling baik."

"Terus, Alva gimana? Rencana kalian buat kasih tau dia, bakal gimana?" Oliv menghela nafas panjang, "Kemarin gue nolak dia secara baik baik. Lo lihat sendiri, kan, gimana dia tadi pas ada gue. Gue pikir, ini belum waktunya dia buat tahu. Jadi, gue sama Jonathan mutusin buat, perlahan-lahan aja." Bella mengangguk, "Gue setuju. Gue juga nggak tega cowo seganteng itu harus sakit bertubi-tubi. Andaikan gue bisa jadi guardian angel nya Alva. Eh, tapi, entar gue jadi menantu elo dong? Wahahaha anjir."

Bella tertawa terbahak bahak, membuat Oliv ikut tertawa. Membayangkan Bella dan Alva akan memanggilnya dengan sebutan 'MOM' membuat wajah gadis itu memerah.

"Jadi, backstreet nih ceritanya?" tanya Bella ketika tawa mereka berhenti.

"Sementara, backstreet dulu." Oliv mengangguk, membuat Bella menaikkan alisnya, "Gue nggak yakin kalian backstreet. Liat aja tadi, gue telpon bentar udah main nyosor-nyosoran. Coba kalo gue bukan Bella. Mau gimana lo entar?" wajah Oliv memerah mendengar penuturan Bella yang kelewat frontal.

❤❤❤❤❤

Seharian ini, Oliv menghabiskan waktu dengan Bella. Merwka berjalan-jalan keliling kota New York. Untungnya, Oliv memang tidak ada jadwal kuliah dari pagi sampai sore. Hanya saja, ia ada kelas tambahan si dosen paling killer di NYU yang waktu itu tidak masuk karena harus menjadi pembicara seminar Internasional. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya.

Oliv terkikik kecil ketika predikat 'kekasihku' terucap dalam benaknya. Ah, betapa menyenangkan memanggil Jonathan dengan sebutan itu. Oliv menatap jam tangannya, dan terbelalak tak percaya. Waktu yang ditentukan adalah jam 5 sore, dan saat ini sudah jam 5 lebih 3 menit. Oliv panik. Gadis itu berlari menuju ruang 12 dan mengumpat ketika Mr. Marteen(meskipun sudah menjadi kekasih Olivia, Jonathan tetap Mr. Marteen jika di kampus) sudah mulai membuka bukunya untuk mengajar. Masalahnya adalah. Pria killer itu tidak mentolerir segala bentuk keterlambatan, walaupun hanya satu detik.

"Selamat Sore."

Ucapan Oliv membuat Jonathan dan seluruh kelas tampak menoleh ke arahnya. Gadis itu meneguk ludahnya dan berjalan tertatih. Sialan. Karena berlari, dia jadi merasakan selangkangannya semakin nyeri.

"Miss Natasha. Kau tahu apa kesalahanmu?" Jonathan menyahut dengan suara dingin, membuat Oliv menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Jawab aku!" bentak Jonathan. Sukses membuat Oliv tersentak hebat, "Aku. Aku terlambat." ucap Oliv lirih.

"Berapa lama kau terlambat?!" tanya Jonathan dingin.

"Tiga menit."

"What?!"

"Empat menit."

"Hitung dengan benar!!"

Oliv menggigit bibir bawahnya, "Lima, lima menit." Jonathan mendengus, "Lima menit dua puluh detik!"

What the fuck, Jonathan?!

Oliv hampir saja protes ketika Jonathan kembali menatapnya tajam, membuatnya tak punya pilihan lain srlain menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kemarilah." Panggil Jonathan. Membuat Oliv berjalan dengan tertatih.

"Olivia, ada apa dengan kakimu? Apa kau sakit?" salah seorang mahasiswa menyahut, membuat Oliv mendongak dan menatapnya bingung, "Eh?"

"Dia berjalan dengan menahan sakit. Sepertinya, sesuatu terjadi padanya tadi malam." Sialan. Oliv jelas tahu apa maksud pria itu. Terlebih ketika ia tampak menahan tawanya, diikuti dengan teman-temannya yang lain. Membuat wajah Oliv memerah dengan telak.

"Diam!!" Jonathan membentak. Membuat mereka semua tampak terdiam, "Kerjakan pekerjaan kalian sekarang juga!! 15 menit lagi, aku akan menunjuk salah satu dari kalian untuk presentasi!!!" Bentakan Jonathan mampu membuat mereka semua segera fokus dengan pekerjaannya. Kini, Jonathan memandang gadis itu penuh, masih dengan tatapan dingin, "Kau, duduk disini!" Bentak Jonathan, yang langsung diikuti oleh Olivia. Gadis itu duduk di sebelah Jonathan, membuat teman-temannya tampak menatap prihatin ke arah Olivia.

Kursi di sebelah Jonathan, mereka sering menjulukinya sebagai kursi panas. Karena jika kau punya kesempatan untuk duduk disana, itu artinya, kau akan menghadapi sosok pembunuh dari Mr. Marteen selama dua jam pelajaran penuh. Pria itu takkan pernah membiarkanmu untuk bergerak, bahkan hanya untuk bernafas sekalipun. Bahkan, wanita-wanita pun harus berpikir ulang untuk dekat dengan Mr. Marteen, walaupun sebenarnya, dengan begitu, mereka bisa menatap wajah tampannya dari dekat.

Oliv menundukkan kepalanya seraya mengambil peralatan tulis dan buku-bukunya. Gadis itu memulai untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang Mr. Marteen berikan, ketika ia merasakan tangan besar meraba pahanya yang tertutup celana jeans hitam. Tangan itu kini beralih pada selangkangan gadis itu, seiring dengan bisikan di telinganya, "Apakah ini madih sakit?" Oliv menoleh, melihat Jonathan yang masih menatapnya dingin mahasiswa mahasiswi di depannya. Kemudian ia tersenyum dan balik berbisik, "Tidak juga. Setidaknya, masih kuat untuk 8 ronde malam ini."

Jonathan tersedak ludahnya sendiri. Pria itu terbatuk, menatap sosok gadis di sebelahnya tidak percaya. Membuat Oliv tampak menunduk dan menahan tawanya.

"Mr. Marteen, apakah kau baik-baik saja?"

Jonathan berdehem, "Ya. Lanjutkan pekerjaan kalian. Waktu kurang 8 ronde."

"What?!"

Semua mahasiswa tampak menatap Jonathan tak percaya. Wajah pria itu memerah, seiring dengan tawa-tawa tertahan dari mereka semua. Tak terkecuali gadis di sebelahnya yang tidak bisa berhenti tertawa.

"Diam!! Lanjutkan pekerjaan kalian!!"

Bentakan Jonathan lagi-lagi membuat mereka memfokuskan diri dengan pekerjaannya. Berbeda dengan Oliv yang masih berusaha menahan tawanya. Jonathan menyeringai dan kembali berbisik, "Kau akan menerima pembalasanku, sweetheart."

❤❤❤❤❤

Tak terasa, 2 jam sudah berakhir. Oliv segera membereskan peralatan tulis dan buku-bukunya seraya berpamitan untuk menunggu Jonathan di mobil. Gadis itu berjalan pelan-pelan, ketika pria yang menggodanya tadi tampak mendekatinya.

"Kau baik-baik saja, kan?" Oliv menatapnya tanpa menjawab.

"Itu pasti pertama kalimu. Bagaimana? Rasanya enak, kan? By the way, aku punya ketertarikan dengan wanita Asia. Apa kita bisa mencobanya?"

What the fuck. Oliv menatap tajam pria yang saat ini sedang tertawa jahil ke arahnya, "Kau benar-benar tidak punya kerjaan."

Pria itu tertawa seraya menyentuh lengan Oliv, seraya berkata, "Kau ounya tubuh yang bagus, Oliv. Percayalah, aku sangat hebat dalam hal memuaskan hasrat wanita." Oliv dengan segera menghentakkannya dengan tatapan yang semakin tajam, "What the fuck, Ronald!!"

Di belakang sana, Jonathan tidak tahan lagi. Pria itu berjalan dengan tegas menghampiri mereka, kemudian menggenggam tangan Oliv dengan protektif. Tatapannya menajam, seolah hendak membunuh ketakutan di hadapannya.

"Mr. Marteen, aku,"

"Don't touch my,"

Jonathan menutup matanya. Sialan. Dia tidak bisa mengatakannya.

"Jika aku mendapatimu macam-macam dengannya sekali lagi, jangan salahkan aku jika sesuatu yang buruk terjadi padamu." ucap Jonathan tegas, membuat pria itu kembali bersuara, "Oh, Mr. Marteen,"

"Kau ingin pergi dari sini atau dapat nilai E?"

Suara Jonathan terlampau datar tapi mematikan. Membuat pria itu tanpa pikir panjang berlari meninggalkan kelas yang sudah sepi. Jonathan menatap Oliv dan menggelengkan kepalanya, "Bagaimana aku bisa meninggalkan gadis cantik ini jika ada pria-pria seperti itu berkeliaran?"

Oliv tersenyu kecil dan mencium bibir Jonathan untuk beberapa lama. Jonathan menggenggam tangan Oliv erat, kemudian berjalan menuju tempat parkir. Setelah memasukkan Oliv ke dalam kursi penumpang, Jonathan segera masuk ke kursi kemudi dengan membanting pintunya. Membuat Oliv menoleh ke arahnya bingung, "What's wrong?"

Jonathan mengerang, "Bagaimana aku bisa melakukan ini dengan sembunyi-sembunyi jika pria seperti itu berada di sekitarmu?!" Oliv tertawa, "Santai saja. Lagipula, Ronald memang suka bercanda, daddy. Dia tidak mungkin serius." Jonathan menatap Oliv tak percaya, "Dia lebih seperti menguji emosiku ketimbang bercanda!!" Oliv tertawa, "Sudahlah. Jangan marah-marah. Kau tahu? Aku sudah kenyang kau maeahi selama 2 jam terakhir. Aku tidak ingin melihatmu marah-marah lagi."

Mendengar penuturan Oliv, Jonathan tersenyum lebar seraya menarik kepala gadis itu ke pelukannya, "Aw, baby. Maafkan aku, ya. Aku hanya mencoba bersikap profesional." Oliv tersenyum, "Aku mengerti, daddy." Jonathan mencium puncak kepala Olivia, "Mulai sekarang, jika aku marah-marah padamu di kelas, itu artinya aku mencintaimu. Jadi, semakin aku memarahimu, semakin aku ingin kau tahu bahwa aku sangat-sangat-sangat mencintaimu!!" Oliv tertawa mendengarnya. Gadis itu mencubit hidung mancung Jonathan dengan gemas.

"Kau lapar?" tanya Jonathan seraya menjalankan mobilnya. Oliviag melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Well, makan terakhirnya adalah jam 1 siang. Jelas, dia lapar, "Sepertinya aku memang butuh bayak energi untuk malam ini." ucap Oliv membuat Jonathan menatap gadis itu sekilas, "Apa kau akan terus menggodaku? Kau jelas tahu bahwa itu kelemahanku."

Oliv tertawa seraya mencubit pipi Jonathan, "Lebih dari menggodamu, aku justru benar-benar menginginkannya."

"Oh, no, Oliv. Malam ini, aku tidak akan menyentuhmu. Apa kau ingin selangkanganmu membengkak? Bahkan, bekas tadi malam saja belum hilang!!" Oliv menatap Jonathan tak percaya, "Seriously, Jonathan?" ucapnya tak terima, membuat Jonathan mengangguk tegas, "Sangat serius. Kau harus istirahat."

"Kau benar-benar tidak akan menyentuhku?!" Jonathan menggeleng, "Kau tidur di kamarmu, aku tidur di kamarku."

"Seriously?!" Oliv semakin kesal. Gadis itu melipat tangannya dan menatap ke luar jendela, "Aku tidak mau makan!!"

"What?" Jonathan menatap gadis itu tak percaya, "Bagaimna bisa kau akan menolak steak dari STK Downtown and Rooftop?" Mata Oliv membulat, "Apa kau gila? Kafe itu menarget $200 per satu orang, daddy!!" Jonathan mengangguk, "Then, what? Dengan itu, kau bisa melihat pemandangan malam kota New York sembari menikmati makan malam. Ku rasa, itu sebanding." Oliv menggelengkan kepalanya, "Kau terlalu boros." Jonathan tertawa, "Selama untukmu, kenapa tidak?"

Oliv tidak menjawab. Gadis itu menata jalanan, dan matanya menyipit ketika menatap lambang McDonald beberapa meter di depan mereka. Setelah di rasa dekat, Okiv membanting setir Jonathan hingga mereka masuk ke dalam halaman McD. Membuat Jonathan tampak mendelik tak percayake arah Oliv, "Apa kau gila?!" Oliv menatap pria itu, "Ya. Aku memang sudah gila. Bagaimana bisa kekasihku tidak mau menyentuhku malam ini?"

"Seriously, Oliv?!" Jonathan mendesah tak percaya.

Oliv mengisyaratkan Jonathan untuk diam dan melajukan mobilnya ke jalur drivethru. Setalah sampai di loket, Oliv menjulurkan kepalanya ke loket dan berkata, "BigMac, Spaghetty Bolognese, Fried Chicken, Cream Soup, masing masing dua paket, ya."

Si petugas loket tampak mengangguk sopan dan menghitung pesanan Oliv. Beberapa saat kemudian, petugas itu berkata, "Totalnya $30, di mohon tunggu sebentar ya." Okiv mengangguk dan menyerahkan uang $100 dari Jonathan kepada petugas loket drivethru. Kemudian, ia menatap Jonathan yang masih kesal padanya, "Lihat, kan? Kau tidak butuh $400 hanya untuk membuatmu kenyang. Daripada membuang uangmu untuk itu, mengapa tidak membelikan mainan untuk Richard, Shelby, Diamond, dan semua anak panti? Hal itu jauh lebih bermanfaat."

Jonathan menatap gadis di sampingnya tak percaya. Demi Tuhan. Jika ada gadis bodoh yang lebih memilih makanan McD dibanding makanan kafe bintang lima termahal di NYC, maka, Olivia lah orangnya. Gadis itu justru menceramahi Jonathan agar menggunakan uangnya dengan baik Jonathan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menjulurkan badannya, dan mencium bibir gadis itu. Membuat Oliv menoleh ke arahnya dan mencibir, "Katanya kau tidak akan menyentuhku malam ini?!"

Jonathan tertawa, "Memang benar. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini." Oliv mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya. Dan tepat saat itu, si petugas tampak memberikan pesanan Oliv beseruta uang kembaliannya. Mereka mengucapkan selamat malam, yang dibalas Oliv dengan senyuman lebar sebelum Jonathan mulai melajukan mobilnya, "Wajahmu jelek jika seperti itu." bohong. Karena bagi Jonathan, Oliv selalu terlihat cantik. Merasa diabaikan, Jonathan kembali menyahut, " Jadi, kau akan diam saja dan tidak menjawabku?"

Oliv masih terdiam. Membuat Jonathan mendesah, "My dearest Olivia Natasha?" Olivia kini menatapnya, "Setidaknya, kita bisa berpelukan, kan?" Jonathan tertawa. Ya ampun. Kenapa gadis ini selalu menggemaskan baginya? Pria itu mengelus kepala Oliv dengan sayang, "Deal." Oliv tersenyum lebar. Membuat Jonathan mencibir, "Membuatmu bahagia memang sesederhana itu, ya?" Oliv mengangguk dan mencium pipi Jonathan, "Sesederhana itu, hunn"

Ketika sampai di halaman rumah, Jonathan segera memarkirkan mobilnya di garasi. Rumahnya masih gelap. Tandanya, Patricia sudah pulang dan Alva belum datang.

"Dad, kita ke balkon lantai dua, ya?" ucap Oliv membuat Jonathan menaikkan alisnya, "Kenapa? Angin malam tidak baik untukmu." Oliv tertawa, "Kau bahkan mengajakku ke STK Downtown and Rooftop yang jelas-jelas memiliki banyak angin malam." Jonathan menyerah, "Fine. Kita ke balkon."

Lalu, mereka berdua naik ke lantai dua. Jika belum tahu, lantai dua rumah Jonathan berisi beberapa ruangan seperti home theater, gym room, permainan billiard, juga sebuah pintu yang jika dibuka, kau akan menemukan balkon berisi taman kecil dengan ayunan kayu dan gazebo, yang dibatasi oleh pagar. Tempat ini adalah tempat favorit Oliv di rumah Jonathan. Karena ketika di malam hari, Oliv akan bisa menatap bintang di langit biru, serta angin yang menerpa kulitnya. Membuatnya merasakan kedamaian yang berarti.

"Nah, kita makan disini!!" ucap Oliv seraya duduk di ayunan kayu. Oliv membuka makanannya, kemudian menyuruh Jonathan untuk duduk di sebelahnya, "See? Keadaan disini tidak jauh berbeda dengan restoran bintang lima, kan?" Oliv tersenyum. Senyuman yang mampu menghipnotis Jonathan. Sekali lagi, ia mencium bibir Oliv. kesederhanaan gadis ini benar-benar membuatnya terlihat menawan. Oliv tersenyum. Gadis itu menatap mata coklat Jonathan yang saat ini sedang menilisik dalam mata hitamnya. Oluv mengalungkan lengannya ke leher Jonathan, kemudian mencium bibir itu begitu lembut, "Terima kasih, daddy."

Jonathan mengaitkan anak rambut Oliv ke telinga gadis itu dan berkata, "Terima kasih? Untuk apa? McD?" Oliv terkekeh kecil dan mencium bibir pria itu lagi, "Thanks, for being my reason to look forward to the next day." Pria itu tersenyum. Dibelainya kepala Oliv dengan sayang, kemudian ia mencium puncak kepala gadus itu, "Kau ini, seorang gadis yang lebih muda dari anakku. Dan kau ... sama sekali tidak ada dalam daftar rencana hidupku." ucap Jonathan. Pria itu membelai pipi Oliv seraya berkata, "I didn't plan it, but you are the best thing that's ever happened to me." Oliv tersenyum, "So are you."

Gadis itu lagi-lagi mencium bibir Jonathan, "Aku juga tidak pernah menyangka bahwa aku akhirnya jatuh cinta pada pria yang awalnya ku anggap sebagai ayahku. Dan sekarang. Bahkan jika seluruh dunia menghina perasaanku, aku tidak peduli."

"Hanya saja, aku tidak bisa memilih siapa yang akan ku cintai." Oliv beranjak untuk berdiri di antara paha Jonathan. Kemudian, ia mengecup kepala pria itu begitu lama, hingga Jonathan menutup matanya untuk menikmati itu.

"Bahkan jika aku bisa memilih. Aku memilihmu. Aku akan memilihmu. Aku akan terus, terus, terus dan terus memilihmu. Tanpa henti, tanpa keraguan. Dan dalam detakan jantungku, aku akan tetap memilihmu."

Jonathan bersumpah. Dia adalah pria paling beruntung di dunia ini.