webnovel

Honkai Impact: Deviation of Imagination (Indonesia)

Di luar Laut Quanta yang penuh kekacauan, di luar Pohon Imajiner yang sistematis, Eksistensi dari luar muncul membawa kekuatan dari makhluk transenden yang asing. Dan keberadaan anomali ini, akan membawa dunia di bawah genggamannya! --- Modifikasi Konten pada [15/4/23] --- [Disclaimer!]: Picture Belong to Artist. Honkai Impact Belong to Hoyoverse!

Skartha · Video Games
Not enough ratings
31 Chs

IV. Friend

Dia penasaran dengan semua kekuatan Elias, sangat menarik bisa menciptakan api, air, dan mungkin emas dari kekosongan, tapi kata-katanya berikutnya membuat Mei mendapatkan penyesalan karena membahas topik sensitif ini…

"Ini adalah salah satu rahasia terbesarku, karena kau sudah tahu ini sejak kemarin, aku tidak mungkin melepaskanmu dengan mudah."

"... Itu…"

Mei ketakutan sekarang. Dia terlalu banyak ingin tahu sampai tidak sadar bahwa orang ini bukanlah manusia super… tapi penyihir!

Berbeda dari manusia super yang memiliki beberapa simpati pada manusia, penyihir adalah orang yang menciptakan ramuan dari darah orang, mengendalikan tubuh orang, mengubah manusia menjadi kekacauan berdarah, dan bahkan memakan bayi hidup-hidup!

Itu artinya, semuanya sia-sia. Dia hanya bisa mendaratkan penyesalan pada kebodohannya sendiri karena sudah menyinggung hal-hal yang sebaiknya tidak usah diketahui.

Elias merasa geli dengan peran penyihir jahat yang dia mainkan, melihat sosok Mei yang sangat takut dan putus asa melihat trik omong kosongnya.

"Apakah kamu pikir aku melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh penyihir di dalam sejarah?"

Pikirannya ketahuan! Mei mengangguk dengan ragu-ragu. Tapi Elias menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan melakukan omong kosong itu. Bahkan jika mampu, jalur yang menyimpang moral seperti itu tidak memiliki banyak potensi sihir yang bisa dikembangkan untuk menjadi penyihir agung."

Mei diam, dia tidak tahu yang mana yang benar. Tapi dia masih menyimak penjelasan Elias.

"Penyihir itu tidak seperti yang sejarah pahami hmm… apakah kamu pernah mendengar tentang sang penasihat raja, Merlin?"

"... Ya."

"Dalam berbagai karya fiksi, Merlin digambarkan sebagai sosok penyihir yang berwibawa dan penuh dengan kebijaksanaan. Sama seperti dirinya, jalur sihirku itu membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan praktek dukun seperti itu nona muda."

Tangan Mei menahan dagunya, dia berpikir sebelum mengangguk memahami artinya. "Jadi apakah itu berarti Elias-kun belum pernah makan manusia?"

"Tentu saja! Aku tidak pernah atau guruku akan membuangku karena memasuki jalan menyimpang. Jadi— mari kita simpan sisanya untuk lain waktu. Lagi pula, sekarang sudah mulai larut. Berbahaya bagi seorang gadis pulang selarut ini."

Mei jadi ingat, sekarang sudah malam. Dia harus pulang sekarang, tapi dia punya masalah. "Um…" Mei melihat Elias menghapus sihir di tangannya, dan tidak menyisakan apapun yang terlihat tidak masuk akal.

Elias menoleh ke arah Mei. "Karena sekarang sudah malam, aku akan mengantarmu pulang."

Mei mengangguk patuh. "... Terima kasih." Dia merasa harus mengatakannya, tapi memang itulah yang namanya kesopanan orang-orang Jepang.

Elias memberikannya senyuman kecil, "Tidak apa-apa." Dia merasa ingin melanjutkan leluconnya, "Karena hidup yang melarat, dan —beruntung atau tidak beruntung— menemukan identitas asliku, kamu sudah menjadi kucing asistenku mulai sekarang."

Mei tidak bisa membantah ucapannya. Hidupnya memang melarat, dan dia kacau karena orang di sampingnya ternyata adalah penyihir yang sebenarnya. Sekarang dia tidak bisa lari… tapi ini lebih baik bukan? Dia tidak lagi sendirian karena bahkan yang disebut sekutu iblis pun bersamanya sekarang…

Dia tidak perlu menyembunyikan kesendiriannya dibalik tembok lagi… anehnya Raiden Mei merasa sangat lega dan tenang karena itu.

Perjalanan mereka hanya dilalui dengan keheningan senyap dan beberapa obrolan kecil entah tentang hobi atau kesenangan apapun. Dia lelah dan ingin tidur, berharap semuanya merupakan kenyataan dan keesokan harinya dia bisa berbicara dengannya.

Beberapa waktu kemudian, mereka akhirnya sampai di depan kediaman Mei. Sebuah rumah kecil sederhana yang cukup luas.

"Ini rumahmu ya, aku pikir ini cukup untuk satu keluarga, 'kan."

"Iya." Mei menoleh ke arah Elias. "Terima kasih sudah membantuku membersihkan kelas dan mengantarku pulang, Elias-kun."

Elias mengangguk. "Kalau begitu selamat malam, Mei. Semoga kamu bermimpi indah, dan sampai jumpa besok."

Mei mengangguk bingung, ini pertama kalinya dia diberikan ucapan baik seperti itu dari laki-laki selain ayahnya, dia kemudian berjalan menuju ke dalam rumahnya. Matanya menoleh kembali ke arah pagar depan, sosok pemuda rupawan itu masih berada disana.

Elias melambai padanya, lalu berjalan pergi dari tempat itu, sosoknya semakin mengecil di bawah cahaya lampu jalanan cukup terang. Mei masuk ke dalam kediamannya, dan segera merosot lelah memeluk lututnya, mengabaikan perasaan dejavu yang dia alami.

"..."

Mei masih diam di tempat, sebelum ekspresinya mengalami perubahan dan rona merah terlihat jelas di pipinya.

'Aku pulang dengan laki-laki.'

Dia baru saja menyadari, bahwa ini adalah kali pertamanya pulang bersama seorang laki-laki seumurannya.

Raiden Mei meringkuk malu karena itu.

Elias bangun dengan perasaan yang segar seperti biasanya. Setelah melakukan beberapa olahraga rutin seperti lari pagi, push up, sit up, dan sebagainya, dia segera berangkat membersihkan diri.

Sarapan hari ini adalah nasi goreng telur. Tentu saja dengan tambahan micin yang sangat-sangat nikmat. Makanan tanpa micin seperti kartu ATM tanpa uang. Semoga anda mendapatkan pencerahan…

Setelah menyelesaikan semua kegiatan sehari-harinya, Elias keluar dari kediamannya, menguncinya, lalu berangkat menuju ke Akademi Senba.

Kali ini dia sendirian, karena dia agak terlambat berangkat setelah lari pagi yang dia lakukan.

Setelah beberapa menit berjalan kaki dari kediamannya, Elias akhirnya sampai di gedung Akademi Senba, sekolah bergengsi di kota Nagazora. Tanpa banyak basa-basi, Elias segera masuk dan pergi ke kelasnya.

Hari ini agak mendung, walaupun begitu laporan cuaca di televisi dan ponselnya mengatakan siang hingga sore akan kembali cerah, tapi Elias membawa dua payung, yang satu untuk dirinya sendiri dan yang satu cadangan kalau-kalau ada yang tidak membawa.

Ngomong-ngomong, seharusnya Mei sudah sampai di sekolahan sekarang, lagipula dia adalah seorang murid teladan.

Dan ya, seperti dugaannya, dengan indera yang ditingkatkan, dia bisa menyadari Raiden Mei sudah duduk di tempatnya.

Namun menyadari sesuatu, Elias segera mengerutkan keningnya dan berjalan lebih cepat untuk sampai di kelasnya.

Dan benar saja, seperti dugaan dan perkataan instingnya, di dalam kelas yang masih sepi dan sangat sedikit siswa itu, Mei dirundung oleh beberapa siswa, dua laki-laki dan tiga perempuan lebih tepatnya.

Sementara tiga perempuan sedang merundung Raiden Mei, kedua laki-laki hanya menonton dan menunggu seolah-olah sebuah pertunjukan televisi.

"Hei, apa yang kalian lakukan!" seru Elias.

Kelima siswa itu terkejut bukan main dan membeku di tempat. Itu guru. Salah satu dari mereka bergumam dan berbalik, sebelum menenangkan dirinya.

"Oh, itu kamu, Elias-kun. Kami hanya melakukan hal-hal yang selalu kami lakukan bersama, sekarang kamu bisa pergi." Salah satu gadis bergaya gal berkata, melambaikan tangannya dengan gaya memerintah.

Elias tidak meresponnya, melirik ke arah dua laki-laki yang ada di sana, "Kenapa kalian hanya diam saja dan tidak menghentikan mereka."

Salah satunya memiliki ekspresi jengkel, "Hyde, mereka hanya bergaul dan kami tentu saja melihatnya dari samping."

Laki-laki yang terakhir menyetujuinya, "Benar," dia mengerutkan keningnya, "Sekarang, pergilah orang barat!"

Elias terdiam, salah satu siswa menunjukkan perlawanan yang agak rasis. Sial, penampilannya memang lebih seperti blasteran Asia-Eropa karena efek dari organ sihirnya, tapi dia adalah seorang Asia bonafit di dalam jiwanya!

Tapi itu bukan masalah lagi, dia mengabaikan mereka berlima dan berjalan mendekat ke arah Mei. "Hei, jangan abaikan kami, Elias-kun. Kami duluan yang kesini! — sialan, jalang ini benar-benar suka menarik perhatian." Satu siswa perempuan berkata ke arah Elias, lalu bergumam ke arah Mei yang hanya bisa diam mendengar caci-maki dari mereka itu.

"Jangan abaikan kami! —Tunggu, Saito, jangan!" Satu lagi siswa perempuan berbicara, tapi dia segera mendapatkan kejutan saat siswa laki-laki yang pertama melayangkan pukulan dari belakang Elias.

Siswa Saito, kehilangan seringai dan menjadi terkejut ketika melihat pukulan tangannya ditahan oleh Elias ketika dia menggunakan lengannya sebagai tameng.

Yang lain juga begitu terkejut melihat refleks luar biasa milik Elias, padahal mereka melihat Elias masih berjalan santai dan sekarang sudah diposisi bertahan, sementara Mei yang tenang tanpa sadar memiliki ekspresi gelap ketakutan karena itu.

Mei yang berada dalam tekanan batin —yang bukan dari para pelaku perundungan itu— berpikir dalam diam, 'Aku mengerti kenapa ketidaktahuan bisa menjadi sebuah berkah sekarang.'

Sejujurnya, tidak ada efek yang ditinggalkan oleh siswa Saito itu di tangan Elias, bahkan dia sama sekali tidak bergerak seincipun dari tempatnya berdiri—itu jika keadaannya normal, tapi sekarang dia harus bertindak cerdas untuk membuat mereka setidaknya berhenti mencaci-maki Mei secara langsung.

Dia mengurangi kekuatan ketahanannya dan membiarkan tangannya mendapatkan memar dari serangan siswa Saito.

"Ini hanyalah pertahanan diri oke," kata Elias, sebelum sebuah pukulan dengan cepat melayang ke arah wajah siswa Saito, membuat siswa Saito kehilangan kesadarannya saat itu juga.

Hanya masalah waktu sebelum temannya ikut menyerang—

"Saito!" Dan sepertinya sekarang adalah waktunya.

Teman Saito memberikan pukulan ke arah Elias, dan yang terakhir menghindarinya, memberikannya uppercut yang indah sebelum teman Saito juga kehilangan kesadarannya.

"Huft," Elias membuang nafas, menepuk tubuhnya membersihkan kotoran halus dari pakaiannya. "Kamu baik-baik saja, Mei?" Dia bertanya kepada gadis bermata indigo yang tengah menatapnya.

Mei mengangguk padanya, "Terima kasih," katanya singkat.

"Itulah gunanya teman," Elias tersenyum kepada gadis muda itu. Dia melihat ke meja yang penuh coretan yang berisi banyak makian yang sangat kasar. Kriminal… putri penjahat… dan pendosa.

Elias menghela nafas pelan dan berpikir, jika ini di dunia asalku dan di negara asalku, ini akan menjadi sebuah mahakarya di atas meja kayu… Elias menggelengkan kepalanya, mengabaikan kekonyolan masa pubertas.

"Kalau begitu aku akan mengambil lap… harusnya ada lap di loker belakang."

Sebelum Elias bisa berjalan menuju loker yang menyimpan alat kebersihan di belakang kelas, ujung lengan pakaiannya ditarik oleh Mei.

"Ada apa—" Elias bertanya, sebelum berhenti ketika melihat ziplock berisi lap yang kotor dengan tinta ditangan Mei.

Dia melihat kearah luar kelas sebelum kembali ke gadis itu, dia menghela nafas, "Ini bukan pertama kalinya bukan?"

Mei mengangguk, tersenyum kecut.

"Um, Elias-kun, bagaimana dengan tanganmu?" Mei menyadari memar di lengan Elias, di bagian yang dia gunakan untuk menahan pukulan sebelumnya, saat dia melipat lengan pakaiannya.

Elias memeriksa lukanya. "Yah aku sengaja melakukan ini untuk jaga-jaga, tapi sepertinya itu tidak perlu, sejujurnya ini agak sakit, maukah kamu membantuku mengobatinya, Mei?" Elias bertanya dengan senyuman.

Mei mengangguk, dia tersipu dan menjawab dengan pelan, "Tentu saja… kita teman 'kan."

Ya. Mereka adalah teman sekarang. Mei akhirnya menerima identitasnya sebagai temannya.

Elias tersenyum, sepertinya usahanya tidak gagal ya.

Raiden Mei, seorang gadis yang kesepian memiliki teman pertama yang mendukung dirinya.

[15/4/23]

Skarthacreators' thoughts