1 Satu

Aku tidak sedih, tidak juga iri ketika melihat teman-teman bisa bepergian bersama untuk bsrsenang-senang, atau menghabiskan waktu di sekolah untuk kegiatan ekatrakulikuler mereka. Aku malah beruntung dengan kekuranganku ini yang membuat pihak sekolah memberikanku keringanan untuk tidak mengikuti ekstrakulikuler. Berkat itu, aku bisa pergi ke toko buku untuk memenuhi hobiku.

"Aya!"

Langkahku terhenti di ambang pintu lobi. Seorang wanita memanggilku dengan agak berseru. Aku membalikkan badan dan mendapati Bu Maya, guru Biologi kelas 10 Sains, yang merupakan wali kelasku. "Iya, Bu?" tanggapku, seraya melangkah menghampirinya.

"Senin depan ada latihan untuk OSN. Bisa, ya?"

Aku mengangguk. Tak punya alasan untuk tidak bisa, dan jadwal kontrolku tak pernah jatuh di hari kerja. "Baik, Bu." Dan, karena tidak ikut ekstrakulikuler, juga karena prestasi akademikku, sekolah menunjukku untuk mewakili sekolah pada OSN Biologi. "Pulang sekolah, 'kan?"

"Iya. Biar nggak ganggu pelajaran," jawabnya.

"Baik."

Bu Maya tersenyum. "Kamu pulangnya dijemput, 'kan?" tanyanya, terdengar basa-basi.

"Nggak, Bunda ada kerjaan, jadi saya naik taksi," jawabku. "Kalau gitu, saya pamit pulang duluan." Aku mendekat dan menyalimi punggung tangan kanannya, kemudian bergegas pergi sebelum berbasa-basi lebih lama lagi. Bu Maya sangat hobi berbincang-bincang, sementar aku sebaliknya.

Sebenarnya, aku berbohong dengan mengatakan aku pulang dengan taksi. Kebenarannya, aku tidak langsung pulang dan aku menaiki busway dari halte yang tak jauh dari sekolah. Aku perfi berlawanan arah dengan rumah menuju Pasar Senen. Sekarang adalah hari Jumat, dan ini waktuku untuk mengeluarkan sedikit uang tabunganku demi membeli buku.

Jika dibandingkan dengan buku baru yang kekinian, aku lebih suka dengan buku-buku lama. Aku suka aroma kertas tua, tapi aku juga suka kesastraan yang terkandung di tulisannya, khas dan menentramkan perasaan. Toko Buku Tua Lim, nama toko buku bekas langgananku di Pasar Senen. Mereka mau disusahkan pelanggannya demi memenuhi kepuasan hati. Mereka akan mencari sampai ke ujung dunia buku yang pelanggan pesan. Kadang, mereka menjual barang antik yang mahal dan mereka cukup terkenal di pelelangan.

Aku punya daftar buku yang ingin kubeli, ada lima totalnya. Tapi, saat kelima buku sudah kudapatkan, aku tak langsung pergi ke kasir untuk membayar. Aku berkeliling lagi hanya untuk menikmati suasana toko buku tua klasik ini dan aroma buku tua yang khas. Dan, aku menemukan sebuah buku yang entah kenapa sangat menarik perhatianku.

"Historia?" gumamku lirih, sambil membolak-balikkan buku itu. "Nggak ada sinopsis atau penulisnya? Gimmick, ya?" Sayang, aku tidak bisa membuka sampul plastik yang menbungkus dan melindunginya. "Kayaknya fantasi. Mungkin seru." Lalu, aku memasukkannya ke dalam tote-bag besarku. Dan, aku mengakhiri jalan-jalanku.

"Enam buku, ya? Tumben. Biasanya cuma lima maksimal," kata Ko Kevin, dia anak pemilik toko ini dan akan menjadi penerusnya. Dia tak suka buku, tapi ia suka barang-barang antik. "Gue kasih lo kalung, deh, buat bonus. Gue nemu kalung ini di tumpukan barang-barang antik dari Inggris."

"Hah?! Serius? Ini mahal, 'kan?" seruku. Aku mengambil kalung dengan bandul batu berwarna hitam itu. "Emang Ko Kevin nggak rugi?"

"Nggak, lah. Gue ambil setumpuk barang antik dengan harga satu juta dolar, dan kehilangam satu barang nggak akan kerasa. Barang lainnya bisa gue jual dua kali lipat." Ia tergelak puas dengan otak bisnisnya itu.

Aku pun dengan senang hati menerimanya. Kalung ini cantik, unik, dan antik. Aku suka. "Thanks, Ko."

"Sure." Ia mendorong tote-bag milikku. "Pulang hati-hati. Naik taksi aja, jangan busway. Ini berat, loh. Kalau lo sakit, kita nggak bisa ketemu lagi."

Aku tergelak mendengar godaannya. "Iya, deh, iya." Aku tahu ia hanya bercanda. Ia memang selalu begitu "Thanks, Ko. See ya!" Aku pun pergi dari toko buku itu.

Sejak awal, aku memang tidak berniat untuk naik busway begitu pulang dari Pasar Senen. Sejak dulu, aku selalu naik taksi. Bukan karena bsrang bawaanku yang berat, tapi untuk mempersingkat waktu perjalanan, dengan begitu aku bisa tiba di rumah lebih cepat dan membaca buku yang baru aku beli. Aku selalu tidak sabar untuk membuka bungkus plastik buku pertama dan mencium aroma kertas tua yang menyeruak keluar saat membuka halaman pertamanya.

Aku sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi online yang kupesan datang. Aku tahu ada beberapa orang di sekitarku yang juga menunggu, entah menunggu angkutan umum, entah menunggu taksi atau ojek online sepertiku, entah menyeberang jalan. Jelasnya, aku tidak sendirian. Namun, aku merasa terancam. Bahkan, tatapan aneh itu rasanya bisa melubangi kepalaku.

Saat jalanan sepi, orang-orang meninggalkan sisiku untuk menyeberang jalan. Saat ada angkutan umum yang berhenti di depanku, sebagian menaikinya. Dan, kini tersisa aku bersama dua orang lelaki di kedua sisiku. Aku tak nyaman, berpikir mereka akan berbuat mesum padaku. Jadi, aku melangkah mundur dan berpura-pura mencari tempat teduh.

Aku mencoba mengabaikan mereka dengan menundukkan kepala sambil menatap layar ponsel, mengamati pergerakan taksi online yang aku pesan. Lalu, bayangan mendekat dan menutupiku. Perlahan-lahan, aku mengangkat kepala dan menatap apa yang menutupiku. Benar, dua lelaki yang tadi mengapitku.

"Ka-Kalian mau apa?" tanyaku seberani mungkin. Jujur, aku tak punya pengalaman bela diri, tak bisa, tak mungkin. Bahkan aku tak bisa berlari secepat perempuan seumuranku pada umumnya.

"----"

"Hm?" Aku menatap mereka bergantian. Aku tak tahu apa yang mereka ucapkan, bahasanya aneh, dan aku tak yakin itu bahasa yang ada di dunia ini. Bahkan, itu terdengar seperti Bahasa Latin. "Kalian siapa?" tanyaku dengan Bahasa Inggris. Setidaknya, bahasa itu adalah bahasa internasional yang harusnya mereka tahu.

"----"

"Aku nggak tahu kalian ngomong apa," ujarku dengan bahasaku. Mereka sepertinya tidak mengerti Bahasa Inggris. "Kalian siapa? Mau apa?" tanyaku lebih berani.

GREP!!

"Akh!" Tangan besar lelaki di kananku menyambar leherku, mencekikku cukup kuat untuk bisa membawaku pergi ke dunia lain. "Le-pas." Aku meronta, tapi tak bisa. Tangannya tak bergeming sedikitpun meski aku bergerak. "Le-pas!"

DUAKH!

Aku mengayunkan kaki kananku yang mengambang untuk menenang selangkangannya. "Aargh!" seru lelaki itu dan spontan ia melepaskanku. Aku tak ada waktu untuk lemas, jadi aku berlari ke arah berlawanan dengan lelaki satunya. Aku tahu aku akan kalah.

"Tolooong!!" seruku sambil berlari, meski napasku sudah tinggal beberapa persen saja.

Sambil berlari, sesekali aku menoleh ke belakang meski katanya hal itu tak boleh dilakukan karena akan menurunkan kecepatan berlariku. Tapi, kalau tidak begitu, aku tidak akan tahu seberapa dekat jarak mereka denganku.

"Hah?!" Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Jelas-jelas tadi yang mengejarku adalah dua lelaki kekar dengan tinggi tubuh yang berbeda. Tapi, ketika aku melihat ke belakang untuk ketiga kalinya, yang kukihat bahkan tak bisa disebut manusia. "The hell!! Apa-apaan mereka?" gumamku berseru, dan aku pun menambah kecepatanku.

Ada tangga jembatan penyeberangan. Aku rasa, itu pilihan aman untukku meski berlari sambil menaiki tangga adalah hal yang sulit. Tapi, tangga itu berbahan logam yang akan licin untuk kaki seperti banteng dan kambing. Jadi, aku akan punya cukup waktu meski aku akan mati karena kehabisan napas.

"Haha!" tawaku sarkas ketika melihat dua makhluk mitologi itu terjatuh saat menaiki tangga. Bentuk tubuh mereka, kuku mereka, itu menyulitkan mereka menaiki tangga ini.

Aku melambatkan langkahku, karena kini tungkaiku mulai terasa kehilangan semua massa ototnya. Oksigen yang mengalir ke sana seakan terhambat di perutku. Napasku sudah satu-satu. Aku hanya tinggal menunggu waktu untuk jatuh pingsan. Oh, tapi tentunya aku tak akan pingsan begitu saja di jembatan. Aku harus tiba di seberang, di halte yang ramai oleh orang-orang.

Saat tinggal selangkah lagi aku mendarat di tanah, mataku berkunang-kunang dan seketika menggelap. "Oh, no," gumamku, tepat sebelum kegelapan merenggut seluruh kesadaranku. Aku yakin tubuhku tak akan merasa sakit saat terjatuh, karena saat pingsan rasa sakit seakan menghilang seluruhnya.

avataravatar
Next chapter