1 Desahan di Studio Itu

Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.

Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.

Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.

Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.

Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini diketahui Tuan dan Nyonya Benson.

"Asley."

"Hem?" 

Gadis itu menoleh dengan turut puas pula atas perbuatan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

"Aku berjanji tak akan menikmati tubuh wanita lain selain dirimu. Asalkan kau sendiri pun berjanji tak akan berhubungan dengan pria lain selain aku."

Asley tertawa. "Kalau pada akhirnya aku berhubungan."

"Aku akan membunuh pria itu demi mendapatkanmu."

Mereka berdua tertawa menggelitiki perut ramping dengan beberapa garis urat terpancar jelas dari kulit mulus seorang Asley Brianna. Gadis itu tergelak, berusaha menutupi setiap bagian yang akan tersentuh untuk menggodanya.

"Aw, haha. Stop, Paul! Kau menyiksaku."

"Benarkah? Aku lihat kau menyukainya."

"Aw, Paul. Haha ...."

Tubuh itu akhirnya tertutupi selimut tebal berbahan lembut menghangatkan tubuh Asley. Rasa perih masih tersisa ketika tangan halus Paul membersihkan cairan cinta mereka pada area yang agak membengkak itu.

Paul tersenyum sendiri membayangkan jika ia menyaksikan seorang bayi mungil keluar dari area itu. Dirinya pasti akan sangat merasa bahagia karena telah membuktikan jika dirinyalah pria sejati.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Aku menjadi seorang ayah, dari bayi mungil yang nanti keluar dari sini."

"Kau gila!" Asley melempar sebuah bantal yang baru saja menjadi alas kepalanya.

"Haha, aku sendiri mengerti. Kau tidak mungkin hamil dalam keadaan usia seperti ini. Terlebih dirimu masih SMA."

"Kau memang gila, Paul."

"Asley."

"Hem?"

"Tiga tahun aku menunggumu sampai saat ini."

"Maksudmu?" Mengenakan kembali pakaiannya.

"Aku tahu ini gila, tapi ... semenjak kau pindah ke sini, aku menyukaimu. Entah bagaimana pada awalnya, tubuhmu selalu menggoda."

Asley tersenyum simpul sambil mengancingkan kembali pakaiannya.

"Kenakan kembali pakaianmu! Jika tidak, Om dan Tante akan segera membunuhmu setelah tahu."

Binar mata indah itu membuat Paul tersenyum mendengarnya.

Sebuah pil ia sodorkan bersama air hangat di depan Asley yang kini sedang fokus menonton dengan camilan keripik kentang dalam genggamannya.

"Apa ini?"

"Segera minum jika kau belum siap untuk hamil."

Paul mereguk jus yang seharusnya tak ia minum.

"Aarrgghh ... apa ini? Uwek ...!"

"Aku baru saja datang bulan, kau tak perlu merasa khawatir aku akan hamil."

Paul mereguk air hangat kemudian setelah ia tahu Asley tak membutuhkan pil itu.

"Ini ramuan pelancar menstruasi, di Indonesia, aku biasa meminumnya."

"Aarrgghh ... rasanya aneh sekali. Bahkan lebih baik aku meminum anggur."

"Paul."

"Hem?"

"Kenapa kau lakukan ini padaku? Tidakkah kau sadar tindakan kita ini?"

Sorot kebiruan itu tak ingin lepas dari mata yang tak kalah biru. Ya, Asley memiliki darah Indonesia pula. Ia turut tinggal bersama keluarga di Inggris demi untuk meneruskan sekolah yang lebih baik.

Dia yang cerdas dan selalu berpakaian modis itu tak pernah membuat Paul memalingkan wajah ketika mereka saling bersama dalam satu ruang.

Jika saja kesempatan itu tidak datang, mungkin kejadian barusan tidak akan pernah terjadi.

Tanpa sengaja Asley melihat Paul yang bertelanjang dada sambil memainkan senar gitar membentuk melodi keras memuakkan. 

Niat awal ingin mengajak Paul untuk makan malam, hingga dirinya mengulum bibir yang seksi membuat Paul menyadari jika gadis itu pun menyukainya.

"Karena aku tahu, kau pun menginginkanku."

Asley terdiam, kembali sorot itu bararah pada tayangan record konser Paul di sebuah stasiun televisi.

"Kau menyukainya?" tanya Paul meraup keripik kentang.

"Kenapa kau selalu memamerkan tubuhmu ketika tampil di hadapan umum?" Wajah itu merengut.

"Ya, karena tubuhku bagus, juga ... wangi. Kau sendiri menyukainya."

"Hem, terlalu percaya diri."

"Kenapa? Ku tahu kau cemburu, honey."

"Siapa yang cemburu?"

"Ayolah ... itu memang karakterku supaya mereka menyukainya. Kau lihat, betapa para gadis itu berteriak aaaa ... aaawww ... Pauuul I LOVE YOU ...."

Paul memperagakan dengan gaya histeris.

"Ish, menjijikan!"

"Aku akan menghangatkan makanannya. Kau lapar?"

"Ya, sedikit. Setelah apa yang kau lakukan padaku." Asley tersenyum.

"Keep stay tone, honey."

"Haha, kau kira aku radio."

Bau harum barbeque tercium memenuhi rongga hidung. Hingga kedua suami istri itu tampak mengendus ketika mereka baru saja tiba.

"Waw, siapa yang memasak makanan seenak ini?" Ariana Benson memasukan belanjaan ke dalam lemari esnya.

"Aku hanya menghangatkan, Mom. Asley yang memasaknya, tanpa sengaja aku menggodanya hingga makanan menjadi dingin." Paul mencium pipi ibunya dan mengedipkan sebelah mata ke arah Asley tersenyum.

"Kau ini, tak puas selalu mengganggunya." Delbert Benson turut membantu istrinya.

Paul hanya tersenyum sambil menata makanan di atas piring saji tersiap di atas meja bundar berputar.

"Apa dia mengganggumu lagi, sayang?" Ariana menarik Asley untuk turut duduk di depan hidangan.

"Tidak, Tante. Dia baik hari ini." Asley tersenyum.

"Kau pasti sudah lapar. Dalam keadaan seperti ini belum satu pun makanan masuk ke perutmu. Sini, segera isi perutmu, nanti kau sakit."

"Terima kasih, Tante."

"Bagaimana ujiannya? Om dan Tante selalu sibuk akhir-akhir ini. Paul tidak kurang ajar padamu, kan?"

"Tidak, Tante." Asley merunduk.

"Jika dia kurang ajar padamu, katakan saja, biar kami yang menghajarnya."

"Tidak, Paul baik."

"Begini, kami di sini mendapat tanggung jawab untuk menjagamu. Bukan hanya kebutuhan saja, tapi juga kesehatan serta kesuacianmu." Delbert turut menimpali.

"Mom, Dad. Kalaupun terjadi sesuatu, aku tak akan lari."

"Tetap saja kami harus menghajarmu jika ketahuan kau kurang ajar padanya." 

Ariana mengepalkan tangannya ke arah Paul hingga tercipta gelak tawa.

***

Next ....

avataravatar
Next chapter