webnovel

HIRAETH.

Mark yakin dialah pemeran utama dalam hidup ini. Setelah didesak bertahun-tahun, dia berhasil menikah dan membangun rumah baru bersama dengan Adora, seorang wanita tangguh di sisinya. Kehidupan pernikahan yang berjalan terlalu lancar jelas menghasilkan tepuk tangan meriah dan rasa hormat tinggi dari seluruh anggota keluarga. Tapi apakah memang semudah ini? Mark adalah seorang pianis dan Adora sejak dahulu hadir sebagai penikmat seninya. Mereka yang sama-sama jatuh cinta melalui sebuah pertunjukan musik pun mulai dilanda kegelisahan hebat. Hidup dalam satu atap yang sama ternyata tidak menjamin mereka akan mati pada perasaan yang sama. Semakin lama, tepuk tangan yang Adora berikan mulai terdengar penuh kehampaan. Iris hitam istrinya itu tidak lagi mengarah pada panggung utama, melainkan bergulir dan jatuh tepat ke arah sosok seorang lelaki asing di bangku penonton paling depan. Malam di musim gugur akhir tahun, Mark akhirnya menyadari bahwa tidak hanya daun-daun saja yang jatuh berguguran, tapi juga hatinya sendiri. Dia kembali kerumah untuk menemukan perabotan-perabotan di dalamnya masih tersusun rapi, jelas berbanding terbalik dengan perasaannya sendiri. Rumah yang selama ini dia bangun di atas pujian dan rasa hormat semakin lama semakin terasa jauh. Mark padahal yakin sudah berdiri di depan pintu masuk, tapi dia merasa belum juga disambut kehangatan. Hanya gelap dan dingin yang dia dapat-tentu tanpa Adora. "Kembalilah. Rumah terasa asing tanpa dirimu." Adora mendongak pelan mendengarnya. "Sejak awal aku memang tidak pernah ada disana, Mark."

beemaibi · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Bab 7 “REDAMANCY”

Redamancy🥀:

mencintai seseorang yang juga mencintai kita.

**

Musim panas yang ditunggu-tunggu Mark akhirnya tiba juga. Bukan suasana musim itu yang sesungguhnya Mark nantikan, melainkan kedatangan Adora kembali ke Jenewa, kota tempat tinggalnya. Hampir terhitung sudah tiga minggu mereka berpisah dan melakukan hubungan jarak jauh. Semua berjalan lancar dan terkendali. Kakek Adams pun mulai tidak sungkan menghubungi Adora guna membahas rencana pernikahan mereka. Foto-foto kecil yang menjadi bukti kegiatan masing-masing terpajang rapi di kolom pesan ponsel mereka.

Sambil merebahkan diri lelah di atas ranjang putihnya, Adora menghabiskan waktu untuk berbincang bersama Mark melalui panggilan telepon. Malam ini adalah malam terakhir Adora menetap di Bern sebelum sebuah acara pernikahan digelar besar-besaran. Thomas dan Paulina akan ikut serta, memastikan putri mereka agar tidak tinggal satu rumah bersama Mark sebelum hari pernikahan tiba.

"Jadi aku akan menguasai kamarmu nanti?"

Di seberang sana, suara tawa berat Mark terdengar sayup-sayup. "Kuasai saja semuanya semaumu, Adora, tapi tolong jangan sentuh lukisan di dalam kamarku. Itu hadiah nenek yang terakhir."

"Aku bercanda, bodoh! Aku juga tidak ingin menggunakan kamarmu."

"Huh, kenapa? Terlalu gelap, ya?"

"Bukan, bukan dekorasi dan warnanya yang sedang aku bahas disini."

"Lalu apa?"

"Aromanya. Suasananya."

Mark tergelak geli. "Maksudnya kamar itu akan banyak mengingatkanmu tentang aku?"

Walaupun Adora tahu Mark tidak dapat melihat ekspresi dan bahasa tubuhnya, dia tetap mengangguk sendu. "Iya, benar sekali. Kalau aku rindu bagaimana? Lagipula ruangan kamarmu terlalu luas. Aku jadi merasa tidak terbiasa tidur sendirian."

"Bagus kan malah?"

"Bagus apanya?" sinis Adora sambil mengerat giginya gemas ke arah layar ponsel yang hitam, seakan-akan itu adalah wajar Mark. "Kau memang paling bahagia jika melihatku sudah sengsara."

"Bahagia apanya? Aku malah ikut tersiksa disini," sahut Mark nyaris berbisik. "Hah, aku rindu sekali. Rindu sekali melihatmu."

"Lupa ya aku menawarkan panggilan video di awal?"

"Dan nantinya aku akan semakin dilanda kerinduan? Kalau aku melihat wajahmu saat ini juga, rasanya jariku gemas sekali ingin memesan tiket pesawat."

"Kalau begitu aku akan menyalakan fitur videonya sekarang."

"Tidak!" Mark berteriak sampai menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Meski begitu, dia tetap kelihatan sengaja mengintip dari celah jari-jemarinya. "Oh, kau baru selesai bekerja?"

Adora mengangguk, meletakkan ponsel di tumpukan beberapa bantal tinggi dan kembali memeluk gumpalan selimutnya. Wajah Mark yang terpampang jelas di layar ponsel membuatnya nyaris memekik tertahan. Sudah terbiasa memang mereka bersama, tapi Adora masih sering kaget begitu melihat penampilan sempurna lelaki itu.

"Kau pulang terlambat ya hari ini?" tanya Mark dengan kening yang berkerut heran.

"Tahu darimana?"

"Kemejamu belum diganti."

"Ah ini?" Adora merunduk, mengikuti arah pandang Mark yang jatuh pada bagian kemeja putihnya. "Aku baru pulang dari pagelaran musik yang diadakan salah satu alumni universitasku."

"Pagelaran musik mantan mahasiswamu?"

"Iya."

"Hati hati. Ingat kan bagaimana kita pertama kali jatuh cinta?"

Memutar matanya jengah, Adora sontak menyahut, "Dengar baik-baik ya, Mark Adams yang terhormat. Aku jatuh cinta padamu, bukan pada musikmu. Jangan semata-mata karena aku penikmat seni, kau mengira aku akan jatuh cinta pada semua bentuk kesenian."

Mark membekap mulutnya pura-pura terkejut. "Kau tidak cinta pada musikku? Tapi kau hafal hampir seluruh komposisi klasik yang aku mainkan?"

"Suka dan cinta itu berbeda," sahut Adora tenang. "Aku merasa baik-baik saja jika harus hidup tanpa seni di masa depan. Tapi jika aku berpikir kau mungkin akan pergi, entah kenapa itu terasa buruk sekali."

Berbeda dari dugaan Adora yang menyangka bahwa Mark akan tertawa geli mendengarmya, ternyata lelaki itu malah membisu tanpa kata. Garis wajah Mark yang teduh perlahan menampilkan seulas senyum tipis menawan, yang secara tidak langsung membuktikan bahwa dia benar-benar meyakini ucapan Adora barusan. Dia kemudian terlihat menumpukkan tangan kanannya di bawah dagu, sibuk memperhatikan pesona Adora yang kini habis tenggelam dalam rona malu-malunya sendiri.

"Apa Kakek Adams sempat menghubungimu lagi?" tanya Mark tiba-tiba mengalihkan topik. "Aku merasa dia memutuskan kontak padaku."

"Ya, dia membahas rencana pernikahan siang tadi. Seperti biasa."

"Tidakkah kau risih?"

Adora tertawa pelan. "Untuk apa? Aku sudah lama sekali merindukan sosok seorang kakek yang perhatian."

"Kalau lama-lama dia membuatmu merasa terganggu, katakan saja lebih dulu padaku. Kakek Adams sangat sensitif masalah perasaan anggota keluarga. Dia tidak marah, tapi akan sedih berlarut-larut," beritahu Mark iba. "Aku tidak ingin dia sakit hati."

"Hei, aku bukan gadis yang arogan begitu. Aku menghormati Kakek Adams seperti kedua orang tuaku sendiri."

"Baguslah kalau begitu."

Bersamaan dengan jatuhnya ponsel Mark, Adora dapat melihat seluruh ruangan di gedung agensi Muse.ic sekilas. Dia pikir Mark sudah pergi beristirahat di dalam dorm miliknya, tapi ketika sebuah grand piano hitam terlihat disana, Adora tahu bahwa ternyata Mark masihlah berada di ruang latihan.

"Mark, ini sudah hampir tengah malam, dan kau ada di ruang latihan? Bukankah tadi kau mengatakan ada di kamar dorm?"

Mark mengalihkan pandangannya gugup. Dia buru-buru mengangkat kembali ponselnya lalu menatap Adora penuh rasa bersalah. "Maaf sudah berbohong, tapi malam ini rasanya aku tidak mengantuk lagi."

"Setiap hari kau tidak pernah tidur," decak Adora marah. "Sekarang matikan panggilannya  dan lekas tidur!"

"Kau saja, aku benar-benar tidak mengantuk."

"Mark."

"Baik, satu lagu sebelum aku pergi tidur. Kau ingin mendengarnya juga? Anggap saja sebagai lullaby dariku. Mau, ya?"

Tahu dia tidak memiliki pilihan lain selain setuju, Adora pun mengangguk. Sembari membaringkan tubuhnya lebih nyaman di atas permukaan tempat tidur, dia menarik selimut putih tebalnya diiringi lantunan nada piano dari Mark yang menghantarkan Melting karya Nico Cartosio sebagai lagu pengantar tidurnya.

Malam itu, ditemani sinar terang dari chandelier yang tergantung di tengah ruangan kamarnya, Mark menyelesaikan sebuah permainan piano kecil. Dia menyempatkan diri membisikkan ucapan selamat tidur pada layar ponsel yang sudah hanya menampilkan atap kamar Adora. Setelah memastikan gadis itu terlelap dalam tidurnya, tangan Mark langsung menekan tombol matikan panggilan. Menutup lid pianonya dan pergi meninggalkan ruangan serta ponselnya dalam keadaan mati total, Mark ternyata gagal menyadari setetes air mata jatuh dari salah satu kelopak mata Adora yang terpejam rapat.

**

"Kau akan menikah."

Mark tersenyum kecil, mengacuhkan wajah Jeffrey yang masih menganga di sebelahnya. Dengan satu tangan yang membawa banyak lembaran partitur lagu, dia melangkah terus menjauh dari ruang petinggi agensi.

Pagi ini kota Jenewa diterpa kabar romansa besar-besaran yang tentunya melibatkan sosok Mark Adams dan gadis asing dari Bern. Nama Adora yang belum terungkap ke kalangan publik membuat Mark setidaknya merasa sedikit agak lega. Dia tahu bagaimana cara media massa bekerja. Mereka selalu mengirim banyak wartawan untuk mengerubungi gedung agensi Muse.ic dan menunggu si tokoh utama angkat suara. Mark mungkin sudah terbiasa akan segala tindak-tanduk persembunyian yang disiapkan pihak agensi, tapi sayang Adora tidak. Adora hanya seorang dosen universitas biasa tanpa naungan agensi. Keselamatan dan kenyamannya tidaklah dapat terjamin di saat-saat begini.

"Kau benar-benar serius," gumam Jeffrey lagi.

"Kapan memang aku pernah pernah membawa masalah percintaanku ke dalam sebuah lelucon?"

"Tapi ini terlalu mendadak," renggut Jeffrey kesal. "Setidaknya bawa dulu kekasihmu ke gedung ini satu kali. Kenalkan padaku dan Alicia dulu."

Mark mengernyit. "Huh? Alicia sudah mengenal Adora, bodoh! Bukankah kau juga sudah? Kalian sempat bertemu di depan penthouse hotel Perancis, kan?"

"Jadi calonmu itu Adora Hils? Yang kau kenal lewat pertunjukkan di Bern?"

"Iya."

"Astaga, ini berarti sama saja kau menikahi orang asing! Musim dingin bahkan baru hadir beberapa bulan yang lalu!" seru Jeffrey sambil menepuk jidatnya frustasi. "Yuja pasti akan terkejut mendengar beritamu sekarang!"

Mendengar nama Yuja kembali disebut-sebut, entah kenapa perasaan Mark langsung turun drastis. Dia membuka lid piano keras sampai Jeffrey menghentikan langkahnya waspada.

"Maksudku siapa yang tidak terkejut memang? Sejak dulu kau adalah salah satu tokoh pianis yang paling berhati-hati dalam masalah cinta. Hubunganmu dan Yuja saja baru dipubliskan secara luas setelah kalian berkencan nyaris dua tahun."

"Dipubliskan hati-hati tidak menjamin kita akan berakhir di atas altar. Benar, bukan? Aku rasanya sudah terlalu berhati-hati hingga tanpa sadar membiarkannya semakin terikat pada kontrak modelingnya," sahut Mark ketus.

"Mungkin Yuja hanya memintamu menunggu sedikit lagi." Jeffrey berbisik takut-takut. "Aku bukan ingin ikut campur, tapi Yuja kelihatan sekali masih mencintaimu."

Mark menghela nafasnya berat kemudian menolehkan kepala ke arah sahabatnya itu. "Aku tidak butuh seseorang yang mencintaiku kalau dia tidak ingin berkomitmen selamanya. Antara model dan menikah di mata Yuja itu adalah hal yang sama. Sama-sama akan dia tekuni seumur hidup."

"Tapi kau yakin Adora juga mencintaimu? Untuk apa susah payah berkomitmen tanpa perasaan yang jelas? Di mataku, antara tidak menikah dan menikah asal-asalan itu sama saja. Sama-sama akan melukaimu seumur hidup," balas Jeffrey lebih tenang.

"Kau tahu apa yang lebih asal-asalan daripada rencana pernikahanku?"

"Apa?"

"Omonganmu."

Jeffrey langsung bungkam, sibuk merutuki bibirnya yang cepat sekali memberikan respon sebelum sempat dipikirkan baik-baik. Takut pertengkaran lain akan meledak jika mereka tetap berada dalam satu ruangan yang sama, Jeffrey akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan latihan Mark.

Menyadari dia sudah ditinggakan sendiri, Mark lantas menghentikan permainan acak pianonya lalu menjatuhkan kepala lelah ke atas permukaan piano, menyebabkan nada tidak beraturan terdengar karena beberapa tuts piano tidak sengaja tertekan. Mendengar kata-kata Jeffrey tadi ternyata memberikan dampak luar biasa bagi ketenangan Mark. Kepalanya mendadak pening dan rasanya dia ingin jatuh terlelap dalam alam mimpi. Padahal kemarin malam Mark memiliki waktu tidur yang cukup, hanya saja dia malah memilih menonton siaran televisi tengah malam sendirian dengan pikiran yang penuh bayang-bayang romantis tentang hari-harinya bersama Adora di Bern.

Jatuh cinta memang serumit itu.

Setelah hubungannya dan Yuja kandas, Mark tidak berpikir bahwa dia akan bertemu sosok dewi yang lain. Standar pendampingnya yang tinggi menjadi semakin tinggi ketika dia mengencani Yuja. Selain karena lemahnya komitmen gadis itu, Mark akui Yuja adalah gadis yang luar biasa. Dia anggun, aktif dalam berbagai kegiatan pelayanan, hidup di bawah garis keluarga yang terhormat dan tentunya selalu haus akan perhatian. Mark dan Yuja menyadari jika mereka memiliki banyak sekali perbedaan tentang sifat masing-masing. Intinya, Mark terbiasa berperan sebagai sosok mandiri yang tidak pernah sedikit pun merasa keberatan akan segala sikap manja Yuja.

Yuja itu-

Brak!

"Mark!"

Mark terkesiap, sontak menegakkan kembali tubuhnya kemudian berbalik ke arah asal suara bantingan pintu yang ternyata disebabkan oleh Jeffrey. Sosok itu masih menempelkan tangan di permukaan pintu, seperti belum berhasil menenangkan dirinya sendiri. Nafasnya turun naik tidak beraturan, menyebabkan Mark mau tidak mau ikut merasa kalut.

"Bibimu sudah kembali."

"Apa? Bibi sia-"

"Mark Adams!"

Mark meringis. Hal yang sama juga dilakukan Jeffrey ketika seorang wanita paruh baya masuk tanpa permisi ke dalam ruang latihan pribadi Mark. Bergaya seolah-olah dia adalah seorang artis kelas papan atas, Deborah menjinjing tas hermes mahalnya tinggi-tinggi. High heels putih yang dia kenakan sengaja ditekankan ke lantai agak kuat sehingga membuat bunyi-bunyi berisik di ruangan itu.

Anak perempuannya, sekaligus cucu Adams yang tidak pernah Mark anggap, mengikuti pelan-pelan dari arah belakang. Poppy adalah anak angkat Deborah yang berumur sebaya dengan Natt. Dia memang bukan gadis jahat, kadar menyebalkannya bukan main-main. Bahkan cucu Adams yang lain kerap kali menjauh secara terang-terangan. Poppy selalu senang bermain playing victim. Dia berbuat ulah, dijauhi, lalu malah mengaku sebagai korban. Deborah dan suaminya, Kevin Carter, juga tidak jauh berbeda. Dulu mereka selalu membela Poppy habis-habisan dengan alasan bahwa putrinya adalah cucu tunggal yang paling kesepian, padahal kenyataannya Aaron pun memiliki nasib yang sama persis.

"Oh, siapa lelaki yang satu ini?" Deborah tiba-tiba menyentuh ujung kemeja hitam Jeffrey. "Bibi tidak pernah melihatnya."

Walaupun sudah terlihat sangat tidak nyaman, Jeffrey tetap membungkuk sopan. "Selamat siang, Bibi. Saya Jeffrey Wenn, manajer pribadi keponakan anda."

"Poppy, kemari dan kenalkan dirimu juga!"

Poppy tersenyum seraya membungkuk tepat di hadapan Jeffrey. "Poppy Adams."

"Adams? Sejak kapan ayahmu menjadi bagian keluarga besarku?" sindir Mark sinis. "Lupa ya namamu itu mengikuti garis ayah, Poppy Carter?"

Deborah menutup mulutnya pura-pura tertawa. Dia menjulurkan tangan untuk menyentuh surai hitam keponakannya, tapi Mark lebih dulu bergerak menghindar.

"Atas dasar apa kalian berani datang ke gedung agensi?" Mark bertanya marah. "Aku senang sekali karena akhir-akhir ini kalian tidak pernah hadir dalam pertemuan keluarga, jadi tolong tetaplah buat aku senang."

"Kenapa kau sangat sensitif hari ini, Mark?"

Mark mendecih. "Karena kedatangan kalian tepatnya."

"Bibi datang karena mendengar berita terbaru darimu, Mark. Berani-beraninya kau meninggalkan Yuja menikah. Tidak ingat apa saja yang sudah kalian lewati bersama?"

"Aku tidak meninggalkan Yuja menikah, tapi dia yang meninggalkanku. Keluarga besar Carter ternyata memang tidak ada yang pantas diharapkan."

"Kak Yuja sempat bercerita padaku sebelum kabar romansa ini tersebar. Katanya Kak Mark terburu-buru menikah karena keinginan Kakek Adams, bukan dirinya sendiri. Benar?" selidik Poppy sambil memperlihatnya senyum tipis yang kelihatan begitu palsu. "Karena itu Kak Yuja menolak lamaranmu."

Mendengar kalimat tersebut, raut wajah Mark langsung berubah total. Dia ikut melukiskan seulas senyum keterpaksaan lalu berdehem singkat. "Poppy Carter."

"Hm?"

"Kau tahu kenapa cucu Adams tidak pernah menyukaimu?"

Satu-satunya gadis disana menggeleng, diam-diam mencengkeram pegangan sofa kuat sampai buku-buku jarinya memutih gemetar.

"Berbohong saja kau bodoh. Lantas apa lagi yang dapat kami lihat dari dirimu?"

"Aku tidak berbohong!"

"Kalau bukan kau, berarti Yuja. Tahu sesuatu?" Mark bertanya lembut, mencondongkan tubuh ke arah kedua mata Poppy yang berkilat penuh amarah. "Kau tetap saja bodoh karena gagal menyadari kebohongan dalam setiap ucapan saudari sepupumu itu."

**

"Kau dimana?" Suara panik Jeffrey dari arah seberang malah membuat Mark terkikik geli. Dia mengambil ponselnya dari phone holder di mobil dengan acuh lalu melangkah keluar menuju pintu masuk Bandara Internasional Cointrin Jenewa.

"Kenapa kau selalu sibuk mencariku, sih?"

"Petinggi agensi memanggilmu ke ruangannya, bodoh! Di dorm tidak ada, di ruang latihan juga tidak ada!"

Mark berdecak, spontan menjauhkan ponsel dari telinganya begitu suara Jeffrey terdengar semakin keras. "Aku memang tidak ada di gedung sekarang ini. Aku di bandara."

"Hah? Untuk apa?!"

"Adora datang hari ini, jadi aku sebagai lelaki yang baik harus menjemputnya," sahut Mark di tengah tawa pelan. "Gantikan dulu aku seperti biasa, Jeff. Paling-paling petinggi hanya akan membicarakan tanggal konser kelompok orkestra."

"Jadi aku harus melakukan apa sekarang? Memanggil Alicia?"

Mark mengangguk. Dia sudah ingin membuka suara untuk menjawab sebelum tiba-tiba saja matanya menangkap sosok Adora di tengah ruang tunggu. Panggilan Jeffrey sontak dia acuhkan. Tangan Mark terbuka lebar, menyambut tubuh Adora yang kini berlari masuk ke dalam pelukan. Entah karena terjangan Adora yang terlalu keras, atau mungkin Mark yang sebenarnya belum siap, ponsel lelaki itu berakhir jatuh menghantam lantai di bawah mereka.

Adora meringis kaget. Dia merunduk hendak mengambil kembali ponsel milik Mark, tapi si lelaki lebih dulu menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.

"Biarkan aku," cegat Mark lalu meraih ponsel tersebut dan menyimpannya dalam saku celana, tidak mempedulikan nama Jeffrey yang masih terpampang disana. "Kau pasti lelah."

"Rindu aku tidak?" tanya Adora ketika Mark mengeratkan pelukan di antara mereka.

Kepala Mark merunduk, menghadiahi satu kecupan lembut di puncak kepala gadis itu. "Rindu sekali. Sudahlah, lagipula kau tidak akan tahu bagaimana rasanya."

Adora merengek saat merasakan beberapa kecupan lain mendarat di keningnya. Dia berusaha mendorong tubuh Mark menjauh, tapi anehnya Mark seperti tidak terganggu sedikit pun. Si lelaki masih memeluk kepala Adora di depan dadanya sambil sesekali memggoyangkan tubuh mereka ke arah kiri dan kanan. Butuh waktu agak lama sampai akhirnya Mark melepaskan pelukannya pada tubuh mungil Adora.

"Cantik sekali hari ini," gumam Mark memuji. "Sengaja ya pasti?"

Adora merenggut kesal. "Kau pikir aku peduli bagaimana responmu?"

Mark tertawa puas. Kemudian dia mengambil alih koper maroon Adora dan menjulurkan telapak tangan kanannya yang bebas untuk gadis itu genggam. Walaupun masih mencibir, Adora tentunya menerima tawaran Mark dengan penuh senang hati. Mereka berjalan beriringan sembari sesekali Adora memeluk lengan Mark untuk menyampaikan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak begitu penting.

"Aku melihat berita tadi pagi," kata Adora ketika mereka sudah duduk nyaman di kursi mobil masing-masing. "Kau mendapatkan masalah?"

"Kalau aku mendapat masalah karena kasus percintaanku diungkap ke publik, lebih baik aku keluar saja dari agensi," sahut Mark tenang. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya tentang masalah ini padamu? Kau hidup tanpa pengawalan agensi. Mudah sekali para wartawan mengganggumu."

"Sampai sekarang, sepertinya mereka belum mengetahui identitas asliku. Aku membaca banyak artikel yang mengarahkan opini publik kepada salah seorang model terkenal di Bern."

Mark mengerutkan wajahnya risih. "Itulah yang aku tidak suka. Mereka hanya ingin membuat berita yang digemari publik. Berkaca dari pengalaman kencanku bersama Yuja sebelum ini, para wartawan tahu bahwa banyak kalangan masyarakat yang mendukung hubungan kami, jadi setelah Yuja, mereka berpikir aku pasti akan jatuh hati pada model lainnya."

"Tapi kau tidak berpikir ini sedikit aneh, ya? Maksudku, mereka yang mengambil foto, kan? Semestinya mereka sempat melihat wajahku sekilas," heran Adora.

Bukannya ikut merasa bingung, Mark ternyata malah tertawa keras. Saking lucunya, dia bahkan beberapa kali sampai memukul stir mobil. Adora yang ada di sebelahnya beringsut ketakutan sembari diam-diam mencengkeram sabuk pengamannya.

"Apa yang lucu, huh?"

"Maaf kalau nanti kau jadi tersinggung, tapi aku memang lupa mengatakan hal ini padamu. Foto kita yang tersebar itu bukanlah hasil dari kamera seorang wartawan. Jeffrey yang mengambil dan menyebarkannya ke publik," jelas Mark susah payah menahan tawa. "Aku kan sudah pernah bertanya padamu, kau siap tidak kalau media mengetahui hubungan kita? Kau menjawab siap waktu itu."

Adora berdesis tidak percaya. "Tapi untuk apa, Mark?"

"Tidak ada. Aku malas saja mendengar banyak berita palsu tentang diriku dan Yuja. Lagipula aku tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita berdua."

"Aku tidak keberatan, sih. Tapi kau juga tidak menyebarkan berita ini ke publik hanya untuk sekedar membuat Yuja merasa menyesal, kan?"

Mark menggeleng cepat tanpa menolehkan kepalanya guna memastikan respon dari Adora. Fokusnya yang sejak awal terpaku pada jalanan Jenewa di tengah malam mendadak buyar seketika. Dia memang sudah mengelak pernyataan Adora tadi, lantas kenapa rasanya seperti dia sedang berbohong?

**