webnovel

HIRAETH.

Mark yakin dialah pemeran utama dalam hidup ini. Setelah didesak bertahun-tahun, dia berhasil menikah dan membangun rumah baru bersama dengan Adora, seorang wanita tangguh di sisinya. Kehidupan pernikahan yang berjalan terlalu lancar jelas menghasilkan tepuk tangan meriah dan rasa hormat tinggi dari seluruh anggota keluarga. Tapi apakah memang semudah ini? Mark adalah seorang pianis dan Adora sejak dahulu hadir sebagai penikmat seninya. Mereka yang sama-sama jatuh cinta melalui sebuah pertunjukan musik pun mulai dilanda kegelisahan hebat. Hidup dalam satu atap yang sama ternyata tidak menjamin mereka akan mati pada perasaan yang sama. Semakin lama, tepuk tangan yang Adora berikan mulai terdengar penuh kehampaan. Iris hitam istrinya itu tidak lagi mengarah pada panggung utama, melainkan bergulir dan jatuh tepat ke arah sosok seorang lelaki asing di bangku penonton paling depan. Malam di musim gugur akhir tahun, Mark akhirnya menyadari bahwa tidak hanya daun-daun saja yang jatuh berguguran, tapi juga hatinya sendiri. Dia kembali kerumah untuk menemukan perabotan-perabotan di dalamnya masih tersusun rapi, jelas berbanding terbalik dengan perasaannya sendiri. Rumah yang selama ini dia bangun di atas pujian dan rasa hormat semakin lama semakin terasa jauh. Mark padahal yakin sudah berdiri di depan pintu masuk, tapi dia merasa belum juga disambut kehangatan. Hanya gelap dan dingin yang dia dapat-tentu tanpa Adora. "Kembalilah. Rumah terasa asing tanpa dirimu." Adora mendongak pelan mendengarnya. "Sejak awal aku memang tidak pernah ada disana, Mark."

beemaibi · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Bab 1 "MELLIFLUOUS"

mellifluous🥀:

suara merdu dan lembut yang begitu indah untuk didengar.

**

"Kau berlatih lagi?"

Mark menoleh, terpaksa harus menghentikan tarian jari-jemarinya di atas barisan tuts hitam dan putih tersebut. Dia memutar kursi, menoleh ke arah asal suara dan menemukan sosok Jeffrey sudah berdiri di depan pintu masuk.

Malas menjawab, Mark akhirnya memilih untuk kembali berhadapan dengan sebuah grand piano yang memang sejak awal menjadi kesibukannya. Lantunan nada dari Beethoven berjudul moonlight sonata pun pelan-pelan terdengar memenuhi ruangan. Jeffrey melangkah mendekat, bersama wajahnya yang beribah penuh gurat kewaspadaan.

"Sesuatu sudah terjadi, kan?"

Kemudian tiba-tiba saja Mark menekan salah satu tuts putih keras-keras, menyebabkan nada nyaring menembus tepat ke arah pendengaran mereka. Mark tetap tidak acuh, tapi Jeffrey langsung berjengit ngeri.

"Kenapa, sih?!"

"Sejak awal kau seharusnya sudah mulai menebak, bodoh!" teriak Mark marah.

Jeffrey mengulum bibir ketakutan. Kemarahan Mark jelas bukan hal yang main-main lagi. Tujuh tahun kebersamaan mereka dalam agensi musik yang sama tentu memaksa Jeffrey mengenal perilaku lelaki itu. Setiap kali Mark marah, dia selalu mengurung dirinya sendiri di ruang orkestra lalu menghancurkan setiap telinga manusia yang masih berani melewati ruangan tersebut. Nada dari dawai pianonya memang tidak pernah terdengar buruk, tapi kerasnya benar-benar dapat membuat telinga terasa tuli sekejap.

Satu pesan masuk mengalihkan fokus Jeffrey dari kelakuan sahabatnya. Dia mencuri lirikan singkat ke layar ponsel dan menemukan sebuah pesan tidak asing sudah tertera disana.

APA YANG SUDAH TERJADI PADA MARK?

hari ini pukul 12.34

"Agatha mendengar suara musikmu!" Jeffrey berteriak susah payah. "Kau bermain sampai menganggu ruang rapat di lantai lima!"

"Lalu?! Masalahnya dimana?!"

"Oke, kau putus lagi kan kali ini?"

Barulah setelah ucapan tersebut terlontar dari bibir Jeffrey, seluruh nada keras yang membisingkan akhirnya mendadak hilang tanpa jejak. Kedua tangan Mark masih ada di atas permukaan grand piano, tapi untungnya dia tidak lagi menyentuh tuts-tuts disana.

"Ini bukan gedung milikmu!" tegur Jeffrey memberanikan diri. "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak membawa masalah pribadi ke tempat kerja?"

"Bagus sekali. Kau baru mengeluh setelah tujuh tahun?"

Jeffrey menggerutu tidak terima. "Kau sudah semakin tua, Mark! Masalah tentang wanita seharusnya menjadi hal biasa untukmu!"

"Aku didesak menikah lagi, sialan!" balas Mark menggeram. "Awalnya aku yakin tahun ini Yuja yang akan menerima lamaranku, tapi ternyata gadis itu malah mengatakan bahwa dia belum siap terikat dalam sebuah komitmen!"

"Oh, jadi kakekmu sudah kembali dari Manhattan?"

Mark mengangguk mengiyakan sebelum menutup lid piano dengan hati-hati. Tangan kanannya yang bebas langsung menerima sebuah cup kopi panas dari genggaman Jeffrey. Mereka berdua melangkah menuju sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan jalan kota Jenewa, Switzerland di tengah derasnya hujan. Jalanan di tengah malam biasanya selalu ramai, tapi Mark juga tidak pernah ada di antara kerumunan itu.

Menjadi salah satu pianis terkenal di bawah naungan agensi Muse.ic membuatnya mau tidak mau hanya berkutat pada permainan musik, apalagi kalau tanggal konser musik sudah ditetapkan. Setiap hari Mark hidup untuk bertemu orang-orang yang sama dan melakukan kegiatan yang sama pula. Semakin keras suara musiknya, maka itu berarti Mark semakin merasa frustasi.

Dan hari ini, suara musik dari permainan jarinya terdengar sangat keras.

"Kau selalu frustasi. Intinya begitu saja," komentar Jeffrey tanpa menoleh sedikit pun.

"Tanggal delapan dua tahun lalu aku tidak."

"Seumur hidup aku bergabung disini, kau hanya pernah tenang selama dua hari. Satu saat kau berhasil mengencani Yuja, lalu yang kedua saat kalian merayakan hari jadi."

Mark mendesah pasrah. Dia duduk di pinggiran jendela tanpa peduli kemejanya akan basah tersentuh embun dari permukaan kaca. "Aku merasa tidak punya waktu lagi untuk mengulang semuanya. Kau tahu bagaimana kakekku. Kau tahu ketika dia mengatakan satu hal, maka itu harus benar-benar terwujud."

"Kalau aku boleh jujur, kau terlalu memilih."

"Memilih?"

"Gadis," sahut Jeffrey cepat. "Standarmu terlalu tinggi. Yuja adalah seorang model papan atas, Mark. Wajar jika dia tidak ingin cepat menikah."

Mark mengusap ujung keningnya yang mendadak berdenyut nyeri. Dia melirik sebuah bingkai foto besar yang terpajang di sisi tembok. Itu foto keluarganya, lengkap bersama sang kakek dan nenek yang mengambil peran sebagai raja dan ratu sejak dahulu. Semua keputusan ada di tangan mereka, bahkan sampai tanggal pernikahan Mark sekalipun. Bukan tanpa alasan, tapi karena Mark adalah si cucu sulung. Dia anak lelaki di antara keempat gadis lain. Cucu terakhir keluarga Adams juga seorang lelaki, sayangnya Aaron baru menginjak umur yang kesepuluh tahun ini.

Cucu kedua merupakan seorang gadis remaja berumur dua puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari Mark, kakak kandungnya. Alexa namanya. Selain Mark, dialah yang menjadi target kedua sang kakek. Dia satu-satunya cucu Adams yang berhasil menembus universitas kedokteran di John Hopkins, Baltimore, Maryland.

Cucu ketiga adalah Rose, adik sepupu Mark yang juga berumur dua puluh tahun. Rose mungkin adalah yang terpintar diantara cucu-cucu lain, tapi penyakit jantung sejak dulu selalu menahan langkahnya maju. Jadi atas segala pertimbangan besar, Rose akhirnya memilih untuk bekerja sebagai pengajar di sebuah taman kanak-kanak kota Manhattan, kota kelahiran kakek mereka.

Cucu keempat bernama Natt, adik kandung dari Rose. Hampir sama dengan Alexa yang memilih melanjutkan pendidikan di bidang kedokteran, Natt pun merupakan seorang mahasiswa tahun kedua di Universitas Princeton.

Cucu kelima adalah Alice, adik bungsu dari Mark. Dia tidak lagi bersekolah, melainkan lebih aktif pada sebuah klub musik di kota tempat tinggalnya, Jenewa. Permainan harpa gadis itu benar-benar tidak tertandingi, yang mana langsung membuatnya ikut serta menjadi anggota kelompok orkestra milik agensi Muse.ic. Satu-satunya anak yang tidak dialiri darah seni ternyata memang hanya Alexa seorang.

Lalu cucu kelima dan terakhir ialah Aaron, anak tunggal dari putra kedua keluarga Adams. Menjadi lelaki diantara para gadis membuat dia paling dekat dengan Mark. Walaupun tidak terjun juga ke dalam dunia musik, kemampuan Aaron dalam bidang teknologi informasi setidaknya masih mampu menarik perhatian Mark.

Intinya, keluarga Adams memang selalu berusaha menonjolkan kekeluargaan mereka. Berpuluh-puluh bingkai foto mewah yang menampilkan seluruh foto keluarga besar wajib terpajang di seluruh sudut rumah. Di rumah Alexa dan Aaron, di ruang kelas tempat Rose mengajar, di asrama putri tempat tinggal Natt, dan tentunya juga di ruang latihan Mark dan Alice. Bukan hanya masalah pemajangan foto, mereka pun wajib berkumpul dan menginap di Manhattan setiap musim dingin awal tahun. Karena alasan konyol inilah Mark kerap kali harus mengatur ulang jadwal konser musiknya di Switzerland. Beberapa cucu lain tidak jarang ikut mengeluh, tapi pada akhirnya mereka akan tetap saling bertemu pandang di meja besar keluarga, dikelilingi lilin putih dan lantunan lagu klasik dari sebuah gromofon tua.

"Kakekku terlalu perfeksionis," gumam Mark tanpa sadar.

"Ya, menurun padamu, kan?"

**

"Jadi kapan kau akan menikah?"

"Uhuk!"

Alexa langsung memaksa seulas senyum lebar. Diam-diam tangan kanannya yang paling dekat dengan tubuh Mark bergerak menepuk-nepuk paha kakaknya itu panik. Sadar benar jika bukan Mark yang akan menjawabnya, maka dialah yang dipaksa membuka suara.

"Ma-maaf," sahut Mark di terbata. Dia menerima gelas penuh air putih dari uluran Aaron dan menghabiskan semuanya hanya dalam satu kali tegukan.

"Kak, kau baik?"

Mark mengangguk cepat. "Aku hanya tidak suka musim dingin."

"Aku juga tidak suka musim dingin," tambah Rose tiba-tiba. "Karena setiap musim dingin, aku harus duduk di meja yang sama dan mendengar seluruh omong kosong dari kakek. Mark menikah atau tidak tahun ini, itu adalah urusan pribadinya."

Mark menggeleng pelan, mengisyaratkan gadis itu untuk segera berhenti. Rose mungkin lemah dalam urusan fisik, tapi dialah satu-satunya cucu Adams yang berani melawan perkataan kakeknya itu. Jika dia sedikit saja menyadari bahwa saudara-saudaranya yang lain mulai merasa tidak nyaman, maka Rose tidak akan segan balik menyerang.

"Kalau bukan Mark, lalu bagaimana dengan Alexa?"

"Alexa juga tidak ingin menikah," sahut Rose lebih dulu. "Dia baru menginjak tahun kelima di universitasnya, kakek! Astaga, apa yang sebenarnya kakek berusaha kejar?"

"Kakek hanya berusaha untuk dapat melihat kalian menikah satu persatu."

Rose menjatuhkan sendok dan garpu dari tangannya keras-keras. "Lalu setelah menikah kakek juga akan memaksa kami segera memiliki anak? Setelah itu kakek akan memaksa anak-anak kami menikah?"

"Kalau begitu, setidaknya hanya satu dari kali-"

"Aku yang akan menikah tahun ini, kakek," sela Mark tegas. "Pernikahan di musim apa yang kakek inginkan?"

"Musim gugur," sahut Kakek Adams tanpa beban sedikit pun. "Kalau begitu kakek akan mulai mengatur dekorasinya hari ini."

Setelah itu, Kakek Adams beranjak bangun dari bangku, seolah-olah berkumpulnya mereka hari itu memang hanya untuk mendesak Mark mengiyakan permintaannya. Sebelum bangkit berdiri, Kakek Adams seperti biasa selalu akan menepuk kursi kosong di sebelah kirinya, tempat dimana sang istri dulu duduk. Melihat hal itu, keenam cucu disana mau tidak mau langsung mengalihkan pandang mereka, diam-diam berharap si nenek masih ada diantara mereka.

"Semoga harimu besok menyenangkan, Rose," ucap Kakek Adams sambil mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Maafkan kakek."

Seperginya Kakek Adams dari tempat santap malam tersebut, Rose sontak menelungkupkan kepalanya ke atas meja dan menggerutu marah. "Inilah yang tidak aku sukai! Kakek selalu berakhir minta maaf dan malah membuatku terlihat buruk!"

Aaron tertawa geli. "Sudahlah, kak. Seharusnya kakak sudah membiasakkan diri."

"Tapi tunggu!" jeda Alexa seraya perlahan-lahan menolehkan kepala ke arah Mark yang masih duduk tegap di sebelahnya. "Kau serius tentang ucapanmu tadi?"

"Kau akan menikah?" tanya Natt kaget. "Maksudku, benar-benar menikah?"

"Kalian berpikir aku sempat berbohong di waktu-waktu seperti ini?" Mark membalik pertanyaan tidak percaya. "Aku berusaha keras menyelamatkan Alexa."

Alexa meringis. "Maaf kak, tapi aku tidak mungkin menikah tahun ini. Kuliah sedang sibuk-sibuknya sekarang. Lagipula kalau Kak Mark yang menikah, kau tinggal memilih calon saja, kan?"

"Kalau aku menikah bukan di hadapan Tuhan dan boleh berakhir hanya dalam hitungan beberapa tahun, aku akan menunjuk gadis secara acak, Lexa."

**

"Kau sudah berlatih keras selama ini! Tenang saja, semua pasti berjalan lancar!"

Mark mengaitkan kancing terakhir pada jas hitamnya sebelum beralih memandangi setiap sudut ruangan Konzert Theater Bern. Gedung itu merupakan gedung opera dan teater yang dibangun sejak tahun 1930 di Kota Bern. Mengadakan pagelaran musik disini jelas merupakan salah satu mimpi Mark. Bukan hanya karena dia akan bermain di sebuah gedung mewah, melainkan juga karena dia akhirnya dapat berkunjung ke kota tersebut.

Bern disebut-sebut sebagai kota yang memiliki pesona abad masa lampau. Dia memiliki banyak sekali bangunan kuno bersejarah dan juga menara gereja tua yang sangat mampu memanjakan mata. Ketika pagi tadi Mark sampai di kota tersebut, suhu musim dingin ternyata sudah sampai menyentuh titik -2 derajat celcius. Jeffrey saat itu langsung dengan sigap menyerahkan sebuah mantel berbulu tebal ke dalam pelukan sahabatnya. Selama menempuh perjalanan panjang menuju Hotel Bellevue Palace pun, bibir Mark yang terus bergemelatuk kedinginan tanpa henti menggumamkan kalimat penuh ungkapan rasa kagum akan pemandangan kota Bern yang diselimuti salju agak tebal.

"Kenapa kau memilih Bern untuk pagelaran seni musik kali ini?" tanya Jeffrey setelah agak lama hening. Dia sibuk mempersiapkan detail ruangan, sedang si tokoh utama sendiri masih menerawang kosong ke arah beberapa orang yang baru datang dan duduk di kursi penonton.

"Bern adalah kota kelahiran nenekku dulu. Semenjak beliau meninggal, tidak ada lagi alasan bagiku mengunjungi tempat ini. Beliau sempat mengatakan ingin sekali hadir pada salah satu pertunjukkan musikku, tapi dia pergi lebih dulu. Karena itulah aku bertekad untuk setidaknya satu kali saja tampil disini."

"Syukurlah. Jadi sekarang kau sudah tenang?"

Bukannya balik menyahut, Mark tiba-tiba membekap mulut Jeffrey dengan telapak tangan kirinya. Kepala lelaki itu terjulur lebih jauh ke arah barisan bangku penonton. Netranya mengerjap takjub, setia mengikuti pergerakan anggun dari seorang gadis asing yang memakai long dress berwarna biru tua di barisan bangku paling belakang.

"Kau mengenalnya?"

Jeffrey mengintip dalam diam lalu menggeleng.

"Kau mengenalnya?"

Salah satu kru panggung yang tidak sengaja lewat pun sampai harus berhenti melangkah begitu Mark menepuk pundaknya berkali-kali, terkesan sangat tidak sabar. Si kru mengikuti arah pandang Mark dan tersenyum tipis sebelum memberikan sebuah anggukan ramah.

"Siapa?"

"Adora Hills," sahut kru itu. "Dia seorang penikmat seni. Apapun itu, bahkan teater sekalipun."

"Dia tinggal di kota ini?"

"Setahuku begitu. Setiap aku menyiapkan panggung pertunjukkan di kota ini, kehadirannya memang selalu menjadi yang paling menarik mata."

Jeffrey berdehem menyela. Dia tersenyum pada kru tersebut dan mempersilahkannya kembali bekerja sambil menarik tubuh Mark pelan-pelan untuk menjauh dari pemandangan bangku-bangku merah disana.

"Apa?"

"Mulai berdoa! Kau akan tampil sebentar lagi tapi malah sibuk mencari jodoh?" sindir Jeffrey kesal. "Kalau pertunjukkanmu gagal, apa gadis itu yang akan bertanggung jawab?"

"Pertunjukanku tidak pernah gagal."

Sayangnya apa yang dikatakan Mark kali ini tidak terjadi juga di kehidupan nyata. Ketika salah satu jemarinya meleset dan gagal menekan salah satu tuts putih, nada dengan cepat langsung terdengar berbeda. Memang tidak terlalu buruk tapi tetap aneh. Beruntung Mark selalu hadir dalam ketenangan. Daripada panik, dia malah mulai mencoba melakukan improviasi melalui tarian jemarinya yang terkenal kuat dan lincah.

Lantunan lagu klasik berjudul La Campanella dari Liszt dipilih Mark sendiri sebagai penutup pertunjukan pianonya. Dia benar-benar ingin membuat kesan luar biasa bagi para penonton sekalian. Efek suara lonceng dari étude ini konon digadang-gadang mampu membuat pendengarnya semakin tergila-gila, sama halnya seperti yang dirasakan Mark dahulu ketika sang Ibu memainkan lagu ini di ulang tahun Alexa yang ketujuh belas.

"Luar biasa!" Jeffrey bertepuk tangan heboh setelah Mark kembali melangkah ke belakang panggung. "Aku yakin bos akan menghadiahi tim kita tiket berlibur seminggu penuh."

"Nadamu tadi sempat melesat kan, kak?" Alice yang juga ada disana bertanya ragu. "Ketika aku membuka pertunjukkan bersama tim orkestra lain, kupikir kau sudah sangat pandai karena tidak lagi berlatih."

Jeffrey menaikkan sebelah alis heran. "Iyakah? Aku tidak mendengar ada yang aneh."

"Bukan aneh, tapi salah," balas Alice gemas. "Kebiasaan Kak Mark hampir sama seperti Ibu. Kalau sudah salah atau terlambat menekan tuts, maka mereka akan mengulum bibir diam-diam."

"Iya, nadaku sempat meleset tadi," aku Mark akhirnya. "Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu sebelum pertunjukkan dimulai."

Jeffrey berdecak sembari menepuk pundak kawannya itu agak keras. "Tidak apa. Penampilanmu tetap luar biasa di telinga banyak orang."

"Sudah sudah," sela Alice. "Cepatlah bersiap untuk sesi berfoto, kak. Wartawan sebentar lagi pasti datang berkunjung."

"Ah benar! Aku harus pergi dulu ke toilet."

Di bawah sorotan lampu kekuningan, Mark membawa langkah mengitari gedung sambil melirik tanda mana yang akan membawa dirinya masuk ke ruangan yang benar. Dia sudah nyaris berbelok ke kanan sebelum tiba-tiba saja seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya dari sebuah ruangan berdinding kaca yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Bahu Mark jatuh lemas, enggan menolak panggilan tersebut. Bukannya ada di dalam toilet seperti bagaimana tujuan awal, pada akhirnya Mark pun turut serta bergabung bersama para penikmat seni asing disana.

"Selamat karena telah menampilkan musik yang luar biasa!"

Seluruh undangan terhormat dengan pakaian formal mereka lantas mengangguk setuju dan mengangkat gelas berkaki tinggi di tangan masing-masing, bersulang sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan Mark dan kawan-kawan Muse.ic lainnya. Mark hanya mampu tersenyum pelan, masih merasa sungkan untuk membanggakan diri sendiri, lebih-lebih ketika dia menyadari Adora juga berdiri di tengah kerumunan.

Gadis itu memegang gelas wine, tapi terlihat tidak tertarik sedikit pun. Tangan sekurus rantingnya memutar gelas dengan pelan tanpa berniat menyentuhkan cairan dalam gelas tersebut pada ujung bibirnya. Dia menoleh, sadar sedang diperhatikan lamat-lamat oleh seseorang. Tatapan keduanya bertemu pada satu titik yang sama. Mark luluh semudah itu.

"Hai?"

Mark menelan ludah susah payah. Dia terlalu kalut sampai tidak menyadari Adora kini telah berdiri tepat di hadapannya. Rambut hitam si gadis yang tergelung rapi dihiasi jepit bunga-bunga kecil berhasil membuat Mark merasa semakin kagum.

Bern memang luar biasa, tapi Adora ternyata lebih luar biasa.

"Oh, hai!"

"Kau lelaki yang bermain piano tadi, kan? Yang membawakan lagu dari Liszt itu?"

Mark mengangguk antusias. "Mark Adams."

"Adora Hils."

Sambil saling berjabat tangan ringan, Mark tersenyum simpul. "Menarik sekali. Aku sempat melihatmu di bangku barisan belakang tadi."

"Maaf, pandanganku sebenarnya tidak terlalu baik untuk cepat mengenali wajah seseorang," kata Adora lembut. "Penampilanmu memang luar biasa. Ini kali pertama aku mendengar seseorang membawakan lagu itu dengan begitu rapi."

"Terima kasih," balas Mark sungguh-sungguh. "Tapi kalau kau menyadari pandanganmu kurang baik, kenapa masih memilih duduk di barisan belakang?"

Adora tertawa, mengalunkan suara yang merdu di telinga si lawan bicara. "Aku menikmati musik melalui telinga, bukan mata. Bahkan jika aku harus duduk di dekat pintu masuk, aku masih bisa menikmatinya."

"Jadi kau menikmati penampilanku?"

"Tentu saja," sahut Adora sambil mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Aku bahkan tahu alasan apa yang membuatmu memilih lagu La Campanella sebagai lagu penutup."

"Kenapa?"

"Karena nadamu sempat meleset di lagu sebelumnya. Iya, kan? Kau berpikir dengan memainkan La Campanella, maka atensi penonton akan menjadi netral kembali."

Mark menganga. "Kau menyadarinya."

"Tristesse karya Frederic Chopin adalah lagu klasik favoritku sampai hari ini, jadi mustahil aku tidak menyadarinya. Lagu itu tidak hanya sedih, tapi juga mengingatkanku pada Bern. Dia mencintai Polandia sejauh aku mencintai tempat ini."

"Aku akui Bern memang menakjubkan. Dulu saat nenekku masih ada disini, aku kerap pergi diam-diam dari Jenewa hanya untuk datang berkunjung."

"Jadi sekarang kau butuh alasan agar tetap dapat berkunjung kemari?" tanya Adora yang entah mengapa malah lebih terkesan seperti berusaha menawarkan sesuatu.

Mark menggeleng sesaat setelah berhasil menyesap kembali wine dalam gelas di genggamannya. Dia meletakkan gelas itu ke atas meja dan mengulurkan tangannya pada Adora ketika sayup-sayup lantunan nada Eine Kleine Nachtmusik karya Mozart didengungkan pada seluruh penjuru ruangan.

"Kita tidak sedang ada dalam pesta dansa!" bisik Adora memprotes. Kakinya sudah akan melangkah mundur, tapi tangan Mark ternyata sudah bergerak lebih cepat untuk menahan pinggangnya.

"Jadi alasan apa yang sebenarnya ingin sekali kau tawarkan padaku?" tanya Mark tidak sabar. "Sejak awal berbincang kau terlihat sangat terdesak."

"Kenalkan aku pada Jeffrey Wenn, dan aku bersedia menjadi alasan untukmu agar tetap dapat berkunjung ke kota ini."

tbc